Filosofi Aceh dalam Seni Rapaie


Tabuhan alat musik tradisional yang disebut Rapaie (sekaligus nama seni itu sendiri). Gerak tubuh sedemikian rupa, terkadang membentuk gelombang, terkadang menoleh kiri, kanan, menunduk. Dibarengi syair-syair berisi pesan-pesan reliji dan moral. Kombinasi tari, alat musik tabuh, dan gerak yang kemudian memberikan efek magis yang kuasa membuat tubuh bergidik, terpukau dan bahkan terpaku. Harmoni yang ternyata menyimpan nilai filosofi yang teramat kaya. 

Menyebut Aceh, nyaris tidak bisa dipisahkan dari seni yang dikenal dengan Rapaie. Salah satu kesenian rakyat yang mengtradisi dan dikenal luas dan masih membudaya di kalangan masyarakat Aceh.

Rapaie, bagi masyarakat Aceh tidak sekadar menjadi kebanggaan etnik. Tetapi itu juga menjadi media untuk mempertahankan nilai-nilai yang secara turun temurun menjadi pegangan masyarakat di ujung Sumatra tersebut.

Dalam seni Rapaie, pesan-pesan keagamaan disampaikan lewat lirik-lirik syair. Tak terkecuali, juga muatan pesan moral dan bahkan kritik sosial. Bahkan, persoalan-persoalan yang sepintas terlihat sepele bisa menjadi syair menarik dikemas, yang terkadang terkesan demikian spontan saja dialirkan menyertai gerak anggota Rapaie lainnya.

Menarik secara garis besar dimensi yang terdapat dalam kesenian rakyat tersebut, akan terketemukan 3 (tiga) komposisi dimensi:

1. Syair atau kata-kata; di sini terdapat ekspresi dari hati dan pikiran yang dilahirkan ke dalam bentuk kata. Dengan kata tersebut, berbagai pesan disampaikan Syekh (orang yang menyanyikan syair) kepada anggota Rapaie, agar mereka bisa sesuaikan bentuk tarian dengan content (isi) syair, juga pesan ke khalayak yang menjadi penonton.

2. Alat tabuh yang disebut Rapaie; menyimbolkan sesuatu yang dimiliki dan dibanggakan. Bahan untuk alat tersebut terbuat dari kulit ternak, kambing/kerbau. Mengisyaratkan yang ada di tangan adalah sesuatu yang tidak lebih dari kulit saja. Sebagai sesuatu yang hanya untuk mempengaruhi mata dan telinga orang-orang.

Dalam beberapa gerakan nantinya, alat tersebut terkadang diletakkan begitu saja. Isyarat bahwa memang benda yang ada di tangan tersebut bukanlah sesuatu yang harus selalu dibanggakan. Terdapat tuntutan-tuntutan lain yang harus dipenuhi.

3. Gerak; baik gerak tangan saat menabuh Rapaie, maupun gerakan-gerakan lainnya. 

Gerakan-gerakan tersebut seperti memberi pesan bahwa, ada keniscayaan penyesuaian antara kata-kata yang diwakili oleh syair yang dilagukan oleh Syekh dengan gerak itu sendiri. Pesan yang terdapat di sana adalah keselarasan antara kata-kata dan tindakan (action). Terkombinasi dengan suara tabuhan Rapaie sendiri, selain sebagai media untuk memperdengarkan eksistensi, juga untuk menyemangati, diri sendiri dan semua yang mendengar suaranya.

Kombinasi dari ketiga dimensi itu yang kemudian mengerucut menjadi harmoni. Petunjuk, di dalam perbedaan banyak hal, ketika satu sama lain bisa disesuaikan dengan arif justru akan membawa keindahan. Tidak terhenti pada keindahan tetapi ia seyogianya harus mampu memberi pengaruh positif pada orang-orang di sekitar.  [Sumber]