Merajut Asa di Tikar Pandan

SESEKALI sepasang matanya ia arahkan ke orang yang mengajaknya bicara, tapi jejari tua itu terus saja bergerak teratur. Helai demi helai memadu rapat dan akhirnya terbentuklah motif-motif indah seperti yang dimauinya.

”Sewaktu ada NGO, harga tikar bolehlah buat beli beras dan pakaian anak cucu,” ujar Umi Salamah, 74 tahun, sambil tersenyum.

Tikar yang sedang dikerjakannya kombinasi tiga warna: putih (tidak diberi warna), merah, dan ungu. Butuh kesabaran ekstra untuk membuat tikar dari daun pandan. Menurut Umi Salamah, satu tikar berukur 2 x 1 meter saja membutuhkan waktu 10 hari.

”Dulu, hampir semua rumah tua-muda (perempuan) berkumpul dan semua menganyam tikar. Kami melakukannya di kolong Rumah Aceh. Sekarang sudah jarang. Di kampung ini hanya beberapa orang lagi yang masih menganyam tikar,” ujarnya.

Umi Salamah adalah warga Gampông Teupin Pukat, Meurah Dua, Pidie Jaya. Maryani, 46 tahun, yang ditemui di tempat terpisah, menuturkan hal tidak jauh berbeda soal proses pembuatan tikar pandan. Pertama, setelah daun pandan dibawa dari kebun, duri yang ada di ruas tengah dan pinggir daun dibuat. Setelah itu, daun dibelah 5 atau 6 dengan jangka asoe (jangka isi) dan jangka lapeh (jangka lapis).

Mengenai jumlah helai per daun, kata Maryani, ditentukan oleh besarnya daun dan keinginan dari si penganyam. Daun-daun itu direbus dalam kuali besar sampai airnya mendidih dan daunnya lembek. Selanjutnya, direndam lagi sehari semalam di air tawar.

Maryani melanjutkan, daun-daun tadi dijemur sehari penuh dan diluruskan dengan alat yang diberi nama peujingk’uet. “Ini dilakukan pada malam hari. Esoknya, daun pandan itu baru dianyam,” ujar dia.

Pemberian warna menurut selera orang. ”Harga satu tikar Rp150 ribu. Tapi, sudah jarang ada orang yang memesan tikar ini. Sekarang, kalau butuh tikar, orang-orang langsung beli tikar yang dijual di kedai,” ucap Umi Salamah pula.[Sumber]