Rateb Meuseukat: Penghargaan Ureueng Aceh Terhadap Perempuan Lewat Kesenian


Di atas panggung berukuran sekitar 3×4 meter, duduk bersimpuh perempuan muda berusia jelang dewasa. Mereka menyuguhkan gerak tubuh yang membentuk tarian. Berawal dengan gerakan-gerakan ringan dan pelan, biasanya lebih banyak gerakan tangan dan kepala, sampai kemudian menjadi lebih cepat. Di tengah tarian tersebut, terkadang mereka berhenti mendadak seketika di saat orang-orang yang menonton terhanyut dengan gerakan-gerakan yang cenderung mistis.

Selain gerakan-gerakan tersebut, tak ketinggalan syair-syair bernuansa keislaman menyertai semua gerak tari dimaksud. Syair yang di dalamnya berisi berbagai macam nasehat, petuah, sampai dengan pesan-pesan bernada dakwah yang menjadi kekhasan kesenian Aceh. Syair tersebut dilantunkan dalam bentuk nyanyian oleh seorang perempuan yang biasanya lebih tua, disebut dengan Cahi. 

Namun begitu, meski muatan yang dibawa lewat syair cenderung bernuansa keagamaan, pesan moral, dan muatan serius lainnya. Akan tetapi, pada cara Cahi menyampaikannya, tak jarang dikemas dengan bahasa yang bahkan bernaga guyon. Tak ayal, cara penyampaian demikian membuat kita yang menonton akan tergelak di sela- sela kekaguman pada tarian yang mereka bawakan.

Terkait dengan kapan biasanya tarian tersebut dipertontonkan pada khalayak, biasanya dihadirkan dalam acara-acara pesta pernikahan, khanuri khitan, juga berbagai acara rakyat lainnya. Tak terkecuali dalam menyambut seremoni peringatan hari kemerdekaan, atau pada pekan kebudayaan.

Nah, tarian tersebut tidak sekadar menjadi hiburan semata. Tetapi ia juga menjadi media yang memberi ruang pada perempuan Aceh untuk menyuarakan aspirasinya, ekspresi seninya, dan kemampuannya sebagai manusia yang diberikan rasa dan karsa oleh Yang Mahakuasa.

Lewat kesenian ini juga, perempuan leluasa menunjukkan potensi yang mereka miliki dalam hal berkesenian. Di samping, ini juga menjadi cara masyarakat Aceh dalam menunjukkan apresiasi atau penghargaan mereka terhadap perempuan. [Sumber]