Tradisi Keujruen Blang, Pang Ulee Meugoe


Keujreuen blang, memegang peranan penting dalam bidang pertanian di Aceh. Di desa-desa, perangkat ini masih berfungsi untuk mengatur jadwal tanam dan tata cara bertani yang serentak.
Bagi masyarakat Aceh, pertanian merupakan punca dari segala usaha. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan peng ulee buet ibadat, pang ulee hareukat meugoe.
Mungkin karena itu pula, sejak dulu masyarakat Aceh mengatur tata cara bertani dengan baik, sesuai dengan musim dan masa tanam. Dalam urusan ini, keujruen blang memegang peranan penting.
Musim tanam pun disesuaikan dengan iklim. Ini seperti tercermin dalam sebuah ungkapan, musim tanam itu dalam bahasa Aceh dikenal sebagai keuneunong atau keunong, yakni penanggalan yang diseuaikan dengan iklim. Aturan bertani dalam keunong digambarkan, keunong siblah tabu jarueng. Keunong sikureung rata-rata, keunong tujoh jeut chit mantong, keunong limong ulat seuba.
Maksudnya, pada keunong siblah (sebelas) tabur benih padi harus jarang-jarang. Keunong sikureung (sembilan) tabur rata. Keunong tujoh (tujuh) juga masih bisa tabur, keunong limong (lima) ulat mulai muncul pada tanaman muda. Keunong limong ini biasanya sudah mulai turun hujan.
Jadwal-jadwal tersebut diatur sepenuhnya oleh keujruen blang. Selain itu keujruen blang juga bertugas mengatur irigasi. Pengaturan irigasi ini mencakup pembersihan tali air (lueng) secara bersama yang dikoordinir keujrueng blang. Seorang keujruen blang juga memegang tugas peutupat atueng, yakni menyelasikan sengketa di sawah, semisal memperlurus pematang.
Permulaan turun ke sawah dimulai dengan kenduri turun ke sawah (khanduri blang). Sebelum kenduri dilaksanakan, keujruen blang akan memberitahukan kepada setiap petani untuk melakukan kenduri di tempat-tempat tertentu, seraya mengutip biaya untuk acara kenduri tersebut.
Biasanya uang yang terkumpul dipakai untuk membeli lembu atau kambing, yang akan disembelih pada acara kenduri. Sementara nasi dibawa sendiri oleh petani. Nasi yang dibawa biasanya bu kulah atau nasi bungkus, yang akan dimakan setelah acara verdoa bersama untuk kemakmuran, mengharapkan hasil pertanian yang baik dilaksanakan.
Setelah kenduri dan berdoa usai, keujruen blang akan menaikkan pupanji (bendera atau umbul-umbul) sebagai tanda bahwa turun ke sawah dimulai. Untuk permulaan turun ke sawah dipasang pupanji warna hijau.
Setelah sawah selesai digarap pupanji berwarna hijau tadi diganti dengan warna merah. Pupanji warna merah itu bermakna top blang, yakni tanda atau aba-aba dari keujruen blang bahwa semua sawah harus sudah ditanami. Hal itu dilakukan agar masa panen padi di sawah serentak.
Sementara untuk menjaga suplai air yang lancar ke setiap sawah, keujruen blang bersama petani akan melakukan meusueraya (gotong royong) untuk pembersihan. Gotong royong ini dilakukan pada masa tak bulee atueng.
Menariknya, keujreun blang tidaklah digaji. Tapi ketika panen dia berhak mendapatkan pajak dari hasil tani. Pajak suka rela itu disebut bruek uméng. Tapi bruek umeng yang terkumpul itu tidaklah semuanya diambil untuk keujreun blang, tapi dikumpulkan terlebih dahulu di meunasah.
Imam meunasah dan keuchik setempat kemudian akan membaginya. Ada sebagian yang diambil untuk kas meunasah, yang akan dikelola untuk kemakmuran dan pembangunan meunasah. Sementara sebagian lagi akan diserahkan kepada keujruen blang sebagai imbalan mengatur urusan pertanian ditingkat desa.***
Sumber : AcehMagazine.com