Aceh: The Absurd Mysticism Society


Insya Allah, barangkali tidak salah, jika dikatakan bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memiliki karakter budaya yang cenderung menempati titik-titik ekstrim, fanatik, unik dan sekaligus anti teori.
Banyak logika teoritis dan rasionalitas ilmu-ilmu pengetahuan sosial yang tidak segera compatible dengan karakter sosiologis masyarakat Aceh yang unik itu. Sehingga muncullah semacam kesulitan metodologis bagi para peneliti dalam membedah, menganalisa, dan lantas mampu mengkonstruksi suatu pemahaman yang baik, jelas dan utuh tentang tentang struktur kesadaran psikologis masyarakat Aceh.
Marilah kita coba memahami masyarakat Aceh melalui pendekatan bedahstrukturalis- nya Claude Levi Strauss (lihat Ino Rossi, eds., The Unconscious in Culture, 1974). Pendekatan ini telah sukses diaplikasikan untuk membongkar dan memahami struktur-struktur indah, yang terdapat dibalik kerancuan tata-pikir dan tata-kesadaran masyarakat primitif Indian di Amerika Selatan. Kesadaran sosiologis mereka, masih sangat dipengaruhi berbagai mitologi, legenda dan tentu saja banyak terdapat anomaly (aneh) dan absurdity (ganjil) yang menarik untuk dipelajari (Armahedi Mahzar, Rekonstruksi Filsafat Islam, 1983 : 2).
Dalam mistis yang unik, dan bersifat retorikmitologis atau romantik-historis, spirit mistis orang Aceh terbaca pada semboyan “Udep Saree, Mate Syahid” yang tentu mengandung semangat hidup atau mati bersama yang egaliter dan bernuansa mitologis-sakral. Semboyan ini mendorong setiap orang Aceh siap tampil menjadi martir dalam mempertahankan, membela, menjaga dan membebaskan struktur egalitarianisme masyarakatnya, dari penindasan, penghinaan dan penjajahan struktural yang datang dari pihak manapun.
Pada sisi yang lain, masyarakat Aceh secara struktural juga tersusun atas kesadarankesadaran fenomenal formalis dalam bangun piramida feudalisme-aristokratis, yang niscaya merindukan suasana glamorous (kehidupan mewah bergengsi). Implikasinya, setiap strata sosial yang dibangun di atas mitos feudalisme itu yang secara awami menempatkan kesadaran bahwa unsur material sebagai sumber gengsi sosial dan kemuliaan yang sakral.
Kesadaran ini tampak pada pertimbangan kuantitas atas anggapan tradisional masyarakat Aceh bahwa, semakin mahal mas kawin, semakin banyak tanah yang dikuasai, semakin sering frekuensi naik haji, maka seseorang semakin merasa mulia dan dimuliakan.
Dampak negatif dari pencapaian kemuliaanmaterialistis semacam itu, muncullah sikap primitif berupa prilaku subordinatif yang “nge-boss” atau “nge-raja” terhadap para bawahannya, segera setelah ia punya harta dan kekuasaan. Di sini tampak, ada struktur kesadaran ekonomi-politik dan kekuasaan yang kental mengendap dalam benak dan dalam setiap aktifitas kehidupan masyarakat Aceh. Sikap feudalistic-ekonomis dan kekuasaan seperti ini dapat saja diidapi oleh para awam sampai seorang ulama sekalipun, ketika mereka memiliki harta dan kuasa.
Di seberang realitas kesadaran struktural ekonomi-politik itu, masyarakat Aceh juga merupakan masyarakat yang tergolong antistruktur. Karena, ada semangat egalitarianisme yang tinggi, baik secara laten maupun manifest.
Ini bersemayam dalam karakter budaya keacehan, yang satu individu dengan lainnya cenderung saling menganggap sederajat. Sehingga, seorang bibit Aceh sangat responsif dan reaktif kepada setiap tindakan pelecehan atau penghinaan, dari siapapun datangnya.
Jadi tampaklah, bahwa ada dua karakter keacehan yang berseberangan secara diametral, yakni antara struktur abstrak tentang adanya piramida kekuasaan feudalistik yang berorientasi material dengan struktur konkrit kesadaran egalitarianisme yang berorientasi immaterial, yakni berupa gengsi dan harga diri, yang siap mati untuk membelanya.
Dari sini muncullah karakter budaya “manok agam” (ayam jantan) dalam khasanah kelakuan keseharian masyarakat Aceh. Implikasinya, karakter politik orang Aceh adalah sama seperti karakter “ayam jantan” yang siap berlaga jika ada dua ekor “pejantan” dalam satu kandang. Akibat historisnya, masyarakat Aceh selalu cenderung untuk bersaing dan menjegal antar sesama, jika kedua “ayam-jago” tersebut ada dalam satu “kandang” kekuasaan. Dan, perseteruan pun akan semakin sengit, jika ada lebih dari dua “ayam-jago” dalam satu kandang (kantor), yang akan sangat sulit untuk diselesaikan. Karena keduanya bertahan dalam gengsinya masing-masing, dimana dimensi ilmu dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok-ukur tentang siapa yang seharusnya mengalah.
Jika realitas sosiologis di atas kita hubungkan dengan konteks ajaran Islam, dimana Aceh dikenal cukup fanatik, maka terlihat Islam baru ditempatkan pada posisi yan marginal dan simbolik. Sehingga, nilai egalitarianisme Islam baru mampu dihayati sebatas menanamkan perasaan sederajat pada dirinya sendiri dan dalam relasi sosialnya dengan siapapun secara terbatas. Semangat persamaan derajat ini terkadang cenderung merubuhkan struktur dan penghormatan atas relasi struktur piramidal itu sendiri.
Aneh dan uniknya adalah, jiwa-jiwa lamiet penghambaan sekaligus jiwa-jiwa besar perlawanan terhadap struktur aristokrat-feudalis dapat dimiliki sekaligus oleh satu entitas pribadi yang sama. Di sini terlihat, ada kekacauan struktur sosial dalam watak egalitarianisme masyarakat Aceh, yang muncul sebagai pribadi yang siap menghamba dan siap pula memberontak. Ia dapat sangat menghamba pada atasannya jika kebutuhan materialistisnya dapat terpenuhi dengan lancar. Namun ia pun bisa segera memberontak kepada atasannya, jika terjadi tindak atau sikap menghina, menjajah dan menindas.
Sementara egalitarianisme Islam adalah lebih bersifat substansial dan tidak bermaksud membangun masyarakat tanpa struktur (kelas). Karena struktur dalam konteks sosiologis adalah sunnatullah. Ini tersusun, dikelola dan dijaga lewat upaya pengayoman, pemamongan dan penghormatan, terhadap lapis dan derajat struktural dari struktur hirarki piramida sosial kemasyarakatan, yang didasarkan pada mobilitas vertikal derajat keilmuan dan keshalehan.
Di seberang fenomena egalitarianisme Aceh yang anti-struktur dan berkarakter “ayam-jago” itu, ada efek negatif terhadap sisi psycho-politis masyarakat Aceh. Yakni, setiap orang yang menempati lapisan elite, ia selalu cenderung punya gengsi dan kebanggan berlebihan pada kedudukannya. Sehingga yang bersangkutan sangat sulit untuk rela menerima dan menghargai kritik atau sekedar perbedaan pendapat sekalipun. Maka, adanya kritik dan perbedaan pendapat di kalangan orang Aceh, seringfkali dipahami sebagai hadirnya “lawan” atau bahkan “musuh” yang cepat atau lambat harus dikalahkan.
Akibat lanjutannya, karakter kesabaran religiositas keislaman orang Aceh, nyaris tak mencakup konsep-konsep dan terma-terma “sabar”, “taubat” atau “maaf”. Karena memang, ada semacam tingkat kesulitan tertentu yang selalu membuat dirinya tidak mampu untuk merasa bersalah, dan perlu segera ditaubati. Sulit pula memberi dan meminta maaf karena memang mereka punya semacam keangkuhan “manokagam”. Ke-maaf-an hanya akan diberikan, jika seseorang bisa menghamba lewat prosedur aristokrasifeudalistik. Inilah wilayah-wilayah “ s e n t u h a n – h a t i ” yang seringkali disarankan orangorang untuk disentuh jika ingin rakyat Aceh tidak lagi memberontak.
Lantas, oleh karena karakter religiositas yang taqlidi, simbolis dan cenderung bersikap menutup diri, maka terbataslah informasi dan insight yang justru menyebabkan keangkuhan yang tidak beralasan. Maka wajar bila kemudian mereka menjadi grasagrusu, tidak sabaran atau tergesa-gesa dalam berusaha mewujudkan cita-cita aristokratikfeudalistiknya. Uniknya, berbagai karakter masyarakat seperti itu, tampak banyak diperankan hanya antar sesama orang Aceh.
Terhadap orang luar, orang Aceh menghadapinya dengan tiga alternatif sikap, tergantung bagaimana seseorang mengapproach- nya. Yakni: pertama sikap ramah layaknya menerima dan memuliakan tamu, jika anda berkenan menggunakan pendekatan aristokratis.
Kedua, sikap cuek, ngedumel, dan angkuh tanpa kompromi, jika ia berhadapan dengan keangkuhan orang lain.
Dan ketiga, sikap inferior, namun tulus, tunduk, menghamba dan setia, jika ia berhadapan dengan sikap-sikap keilmuan yang penuh kearifan.
Ini bisa terjadi jika mereka merasa dirinya masih sangat terbatas dalam banyak hal dibanding orang-luar yang dipandang berilmu dan arif tersebut, walau kesimpulan keberilmuan seseorang itu juga belum tentu benar prediksinya. Karena banyak juga orang yang terlihat arif dan santun, tapi ternyata hanya suatu kemunafikan untuk kepentingan kelancaran eksploitasi belaka.
Pada karakter asli (genuine) Aceh, yakni sebelum dipola oleh sistem orba, kita barangkali masih sangat kesulitan menemukan orang Aceh yang munafik. Karena orang Aceh lebih senang blakblakan (pakiban crah, meunan beukah, sebagaimana retak, begitulah pecahnya). Namun, sifat ini seringkali malah menjadi sesuatu yang kontra-produktif bagi dirinya sendiri, khususnya pada zaman orba yang kemunafikan disebarkan secara nasional, dan sekaligus mengancam orangorang yang berkata benar dan terus terang.
Akhirnya, dalam pandangan saya, masyarakat Aceh sesungguhnya adalah masyarakat yang saya sebut sebagai : “The Absurd Mysticism Society“ yakni masyarakat yang menyimpan banyak misteri, anomali, irrasionalitas, absurditas (keganjilan) dan kecenderungan kepada kehidupan yang lebih bernuansa spekulatif, untung –untungan, nasibnasiban, namun uniknya, selalu masih punya harapan agar Tuhan akan berpihak padanya. Harapan kepada Tuhan itu tampak hanya percikan keinginan yang imaginatif dan bersifat mistis, karena sebenarnya mereka memang enggan berdo’a kepada-Nya secara ikhlas, khusus, khusyu, dan intens.
Mengakhiri renungan kritis ini, ada ilustrasi menarik menyangkut orang Aceh. Yakni, kenapa banyak orang Aceh, baik muda ataupun tua, yang lebih senang “main domino” (batu) ketimbang main-catur. Karena, memang mainnya lebih mudah, banyak sisi spekulatifnya dan tak butuh strategi tertentu untuk mengalahkan lawan, kecuali kenekadan. Disamping itu, dalam permainan domino ini besar peluang dakwa-dakwinya. Maka jarang setelah main domino bisa kembali terjalin keakraban.
Makanya, orang Aceh sangat tidak suka main catur, karena tentu lebih sulit memainkannya, perlu ngulik berfikir keras untuk membangun strategi, dan perlu pula kesabaran tinggi, agar lawan secara “cantik” dapat ditundukkan. Sehingga kemudian, diakhir permainan, kedua belah pihak siap bersalaman.
Inilah Aceh yang sesungguhnya sangat memiliki potensi kecerdasan multi-etnik, karena memang, ia secara geneologis adalah berasal dari percampuran berbagai etnik besar (Arab, Cina, Eropah, Hindi?). Namun sejauh ini, sentuhan pendidikan yang dialaminya masih sama sekali belum berperan mematangkan keunikan, kemistikan, kepahlawanannya (heroisme) yang tergolong maniak itu. Jika pendidikan mampu berperan untuk itu, orang Aceh akan mampu mencapai suatu derajat kearifan perennialisme dari sumber kebesaran dan keunikan tradisinya yang unik.
Kiranya, ada ruang uji-sosial melalui pendekatan ethno-struktural metodologis yang akan menjadi lahan menarik, dalam upaya menemukan solusi arif dan tuntas atas konflik vertikal Aceh-pusat, untuk menuju kehidupan yang cerdas, santun, bermartabat dan penuh akan cinta kedamaian. Wallahu ‘alam bish-shawab…
Sumber : iloveaceh.blog.com