Ketika Kerajaan Samudera Pasai Menaklukkan Kerajaan Majapahit

Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Acheh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan ”Kronika Pasai”, bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gadjah Mada yang telah menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh dalam proses Islamisasi di Nusantara.

Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Acheh telah berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal sebenarnya ”Puteri Champa” yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa. 

Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih konfius dengan keberadaan Kerajaan ”Champa”, negeri asal ”Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu” yang dianggap memiliki peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan ”Champa”, ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kambodia-Vietnam sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Acheh dalam Islamisasi Nusantara.

Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kambodia-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah di Acheh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh. Namun ada teori lain tentang Champa ini.

Teori yang akan dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java. Teori Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh. [60]

”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.[61]

”Sang Putri Penakluk” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah dengan Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan para wanita pejuang agung Acheh lainnya. Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya.

Dengan takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak dikenal dengan Raden Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya........
Dari negeri manakah gerangan ”Sang Puteri Penakluk” yang telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, sebagai seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran bangsa Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu.

Tradisi dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya sebagai seorang wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan kemerdekaannya demi kejayaan Islam agamanya. Pendidikan apakah yang diterimanya sehingga berani menerjang medan laga menghadapi benteng super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?

Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk Majapahit”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Acheh maupun Kambodia.

Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392.[62] Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim, atau memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377.

Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.[63]
Sementara catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M.

Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.

Jadi Raja Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.[64]

Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.

Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.[65]

Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.

Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia.

Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.[66] Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.[67]
Populeritas Jeumpa (Acheh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Acheh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Acheh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen.

Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.

Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Acheh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.

Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina, kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab, India atau Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama yang dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan karya Abu Ishaq, kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.

Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah, khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara.

Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Acheh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J.

Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.

Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.

Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa ”Champa” yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.

Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.

Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.

Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Puteri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Puteri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu Palembang.

Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.

Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.


Sumber : http://meukeutop.blogspot.com/2011/10/ketika-kerajaan-samudera-pasai.html