Mengintip Museum Aceh


Jam telah menunjukkan pukul tiga sore ketika saya memasuki gerbang Museum Aceh. Suasana di dalamnya terlihat begitu sepi. Hanya ada seorang lelaki paro baya yang duduk sambil melepas penat di tangga Rumoh Aceh, dua orang pelajar SMA yang sedang menaiki tangga, dan sepasang muda-mudi duduk sambil bercengkrama di bawah pohon di tengah-tengah museum. Memang, hari terasa sangat panas karena matahari begitu bersemangat memancarkan sinarnya. Mungkin inilah yang menyebabkan museum sepi meski hari ini adalah hari Minggu. Tetapi semangat saya untuk mengunjungi tempat dimana asal usul sebuah daerah dapat diketahui sama panasnya dengan udara siang ini. Saya begitu menggebu-gebu untuk dapat masuk ke dalamnya.

Setelah memasuki gerbang, saya langsung disambut oleh lonceng Cakra Donya. Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Lonceng ini  merupakan hadiah dari Kerajaan Cina yang dibawa oleh Laksamana Ceng Ho kepada Sultan Aceh. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus.

Pada dasarnya Cakra Donya adalah nama sebuah kapal perang Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Kapal Cakra Donya di mana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis di Malaka. Pada masa lalu Lonceng dari Kapal Cakra Donya tersebut, digantung dengan rantai jangkar pada pohon kuda-kuda dekat Mesjid Baiturrahnim dalam kompleks kraton untuk dibunyikan apabila penghuni kraton harus berkumpul guna mendengarkan pengumuman Sultan. Akan tetapi, sejak tahun 1915 M Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam kubah tersebut.

Di depan Cakra Donya terdapat Rumoh Aceh, rumah tradisional masyarakat Aceh yang konon merupakan bangunan pertama di museum ini. Rumoh Aceh ini didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Sebenarnya, Rumoh Aceh tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus – 15 November 1914.
Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh.  F.W. Stammeshaus menjadi kurator pertama.

Ketika Indonesia merdeka, Museum Aceh menjadi milik Aceh sepenuhnya. Atas gagasan T. Hamzah Bendahara, di tahun 1969 museum dipindahkan ke samping Meligoe (pendopo) Gubernur yaitu di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2.

Sebelum menaiki tangga yang tersusun rapi untuk memasuki Rumoh, saya tergoda untuk melihat Jeungki, Geureubak/Peudati, Geupok, Meuriam, Peureulak Boom, dan Kohler Boom yang dipajang di bawahnya.

Jeungki merupkan alat tradisional yang digunakan untuk menumbuk padi. Dulu, setiap keluarga petani Aceh memiliki Jeungki yang digunakan untuk mengolah padi menjadi beras. Tak hanya padi, Jeungki juga digunakan untuk menumbuk kopi, tepung, sagu, atau untuk menumbuk bumbu masak. Namun sekarang keberadaan Jeungki sudah sangat langka di kalangan masyarakat Aceh.

Di depan Jeungki ada Geureubak/Peudati. Kayu beroda ini adalah sejenis angkutan tradisional berupa gerobak yang digerakkan dengan tenaga lembu atau kerbau untuk mengangkut barang.

Saya pun beranjak ke Geupok yang terletak samping Geureubak. Geupok  merupakan tempat untuk menyimpan padi yang telah dipanen. Geupok itu mampu memuat lebih kurang satu ton padi. Di samping Geupok ada dua kayu besar ; Peureulak Boom dan Kohler Boom.

Peureulak Boom atau pohon Peureulak adalah jenis kayu keras hasil hutan Aceh yang menjadi kayu andalan untuk pembuatan kapal tradisional Aceh. Sedang Kohler Boom atau pohon Kohler adalah potongan kayu pohon Geuleumpang yang tumbuh di sisi utara halaman Mesjid Raya Baiturrahman. Kohler Boom ini merupakan julukan yang diberi oleh Belanda karena di bawah pohon inilah Panglima Perang Belanda yang pertama di Aceh, Jendral Kohler mati di tangan para pejuang Aceh.

Di depan potongan kayu itu berjejer tiga meriam peninggalan zaman perang dahulu.

Ketika hendak menaiki tangga, lelaki paro baya  yang terkantuk-kantuk karena hembusan angin memintaku untuk mengambil tiket dahulu sebelum memasuki Rumoh Aceh.

“Ambil tiket dulu ya, Dek. Di gedung pameran temporer  di belakang sana,” tunjuk lelaki itu ke arah bangunan yang terletak sekitar seratus meter dari Rumoh Aceh.

Pergilah saya ke gedung yang dimaksud. Ternyata gedung itu adalah tempat pameran temporer dan perpustakaan. Gedung itu terletak dekat dengan gedung pertemuan. Gedung-gedung tersebut rupanya dibangun tahun 1974 setelah biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh.
Setelah membayar tiket yang harganya hanya Rp.1 000 per orang, saya tak langsung kembali ke Rumoh Aceh. Kerbau berkepala dua membuat saya berhenti sejenak di sana. Dan ternyata tak hanya binatang itu yang ada di dalam gedung tersebut. Masih banyak satwa khas Aceh yang telah diawetkan dan disimpan di sana.

“Di sini juga ada perpustakaan, Maket Mesjid Raya dari masa ke masa, kepingan emas pada zaman Kerajaan Aceh, prasasti-prasati, dan batu nisan raja-raja di Aceh. Itu semua dipajang di ruang tengah.” Bu Zuhra, salah satu pegawai yang bertugas pada hari itu menjelaskan panjang lebar.

Saya jadi semakin tertarik. Tak sabar ingin melihat semua koleksi di museum ini.Namun,  jam di dinding menunjukkan pukul empat kurang lima. Alunan bacaan ayat suci Alquran mulai terdengar dari pengeras suara di Mesjid Raya Baiturrahman.

“Museumnya sudah mau tutup, Dek.” Bu Zuhra mengingatkanku, “maunya datang hari kerja. Jadi bisa nanya-nanya ke pegawai lain tentang museum ini.”

Saya hanya tersenyum. Sebenarnya ingin berlama-lama di sini. Tapi apa hendak dikata. Museumnya akan ditutup. Datang di hari kerja? Ah, belum ada waktu untuk dapat ke sini di hari kerja. Jadwal koass di rumah sakit yang padat membuat saya harus berpuas hati walau hanya libur satu hari. Yaitu hari ini. Hari Minggu.

Ketika liburan nanti, saya bertekad untuk mengunjungi kembali Museum Aceh ini. Saya ingin memasuki ruangan-ruangan yang tak sempat saya kunjungi hari ini.

Alamat Museum Aceh :
Jl. S.A Mahmudsyah, No.12 Peuniti Banda Aceh

Sumber : liza-fathia.com