Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris, James I

Banda Aceh – “Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang”.

Demikian mukadimah surat yang ditulis Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris James pada tahun 1615 silam. Surat yang disebut sebagai golden letter itu kini baru bisa disaksikan masyarakat Aceh sejak Selasa (27/2/2007) kemarin di Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam (NAD) setelah duplikatnya dibawa dari perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.

Surat berbahasa Melayu dengan aksara Jawi ini disebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selain panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli ini ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas oriental.

Dari surat yang tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, jelas terekam kemegahan Kerajaan Aceh. Dan di bawah kekuasaan sultan yang berjuluk Sultan Perkasa Alam ini, Kerajaan Aceh memang mencapai puncak kejayaannnya.

Tak hanya surat Sultan Iskandar Muda ini saja yang dipamerkan Museum Negeri Aceh, tapi juga berbagai surat dari Sultan Aceh lainnya, jauh sebelum Sultan Iskandar Muda berdaulat. Seperti surat Sultan Aceh, Alaaddin Syah al-Kahhar untuk Sultan Sulaiman Agung di Kesultanan Usmani, Turki, yang bertarikh 1566 M.

Disebutkan Prof Anthony Reid, sejarawan terkemuka, yang banyak menulis buku tentang Aceh dari National University of Singapore, sepanjang abad 16 hingga awal abad ke-19, Aceh telah memiliki hubungan diplomatik yang luas, sesuatu yang jarang dimiliki oleh sebuah kerajaan kepulauan.

Pameran ini juga dinilainya untuk memberikan informasi yang selama ini kurang banyak diketahui, pertukaran diplomatik antara Sultan Alauddin Riayat Shah al-Kahhar (1539-1571) dan Sultan Turki Usmani di sepanjang tahun 1566-1568.

“Aliansi luar biasa ini, pertama-tama merupakan hasil dari perdagangan lada yang secara langsung menghubungkan Aceh ke Laut Merah untuk menyaingi kapal lada bangsa Portugis di sekitar Afrika. Aliansi ini juga dalam rangka menggalang kekuatan sekutu-sekutu kaum muslim guna melakukan perlawanan militer dan keagamaan menentang Portugis,” jelas Prof.Anthony Reid dalam pengantarnya di katalog pameran.

Aliansi ini berdasarkan surat-surat diplomatik, dibalas Turki dengan mengirimkan beberapa meriam besarnya ke Aceh. Meriam-meriam itu sendiri kini disimpan sebagai ‘tanda mata perang’ di Museum Bronbeek, Belanda.

Ditambahkannya, kebangkitan Aceh, salah satunya dipicu oleh rasa ketidaksukaan banyak saudagar muslim dan saudagar lainnya terhadap campur tangan Portugis pada urusan kerajaan mereka. Salah satunya adalah surat yang berbahasa Arab, besar kemungkinan adalah teks asli. Sayang, dokumen yang lain hanya tersedia dalam terjemahan Portugis.

Gambaran lainnya, dikatakan Prof Anthony Reid terlihat jelas dalam koleksi-koleksi surat yang dipamerkan, yang belum pernah dipublikasikan dan dipertontokan sebelumnya. Seperti surat para Sultan Pasai dan Pidie yang sudah berkirim surat dengan Bangsa Portugis sejak awal 1512 dan 1520, jauh sebelum Aceh mendominasi pantai utara Sumatera.

Meski demikian, dia menyimpulkan, surat-surat ini memberikan sekilas pandangan kepada kita mengenai gaya penulisan surat diplomatis bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain pengguna bahasa Melayu (Malay-speaking World).

Selain itu, juga menggambarkan betapa pentingnya kesultanan Aceh sebagai sebuah kekuatan utama di duniadan menunjukkan bahwa kesultanan Aceh sejajar dengan para monarki Samudra Hindia lainnya yang menerima surat-surat seperti- Mughal India, Siam, Turki, seperti tak ubahnya bangsa-bangsa Eropa.

Pameran surat-surat Sultan Aceh prakolonial yang bertajuk Diplomasi Aceh ini adalah rangkaian dari Konferensi Internasional Pertama Mengenai Studi Aceh dan Kawasan Samudera Hindia. Surat-surat yang dipamerkan berupa duplikat yang berasal dari Turki, Portugis, Perancis, Inggris dan Denmark.

Gubernur Aceh Irwandy Yusuf berharap, lewat konferensi internsional dan juga pameran ini, sejarah Aceh dapat ditulis ulang dan lebih komperhensif. Meski disayangkannya, kita tidak bisa mendapat koleksi dokumen-dokumen aslinya, karena belum ada museum yang cukup layak di Aceh yang bisa menjaga keawetan dokumen-dokumen itu seperti di Eropa.

“Tapi kita akan mendapat duplikatnya dalam bentuk digital. Khususnya, dokumen yang kini ada di Belanda,” ungkapnya pada wartawan. Dan untuk ini, Belanda sudah merogoh koceknya sedikitnya 300 ribu Euro atau sekitar Rp 3 miliar untuk membuat dokumen-dokumen tersebut kedalam bentuk digital.

Dari pameran ini, tentunya tak hanya gambaran kejayaan Aceh masa lalu saja yang bisa kita dapat, tapi juga bagaimana membuat kejayaan kembali di negeri yang telah luluh lantak dihantam konflik dan juga gempa serta tsunami ini.

Selain menampilkan surat-surat, pameran ini juga menampilkan sejumlah lukisan dan foto-foto. Sayangnya, pameran yang jarang-jarang dilakukan ini, kurang dapat diakses masyarakat luas. Seperti diutarakan Michelle, salah satu pekerja NGO asal Perancis yang datang berkunjung.

“Saya baru melihat lima menit, pamerannya sudah ditutup karena jam istirahat. Padahal, pekerja-pekerja seperti saya itu hanya punya waktu luang ketika jam istirahat. Dan kata petugasnya tadi, pameran ini dibuka lagi jam dua, itu saya sudah harus kerja lagi,” katanya kesal sembari menambahkan pamerannya sore hari akan ditutup jam empat, dan lagi-lagi sepulang kantor dia tidak bisa berkunjung, karena baru usai kerja sekitar pukul 5 sore.

“Sayang sekali, pameran langka seperti ini terlalu sulit diakses,” katanya tak habis pikir.

Sumber : http://vhourkhanrasheed.blogspot.com/2011/09/surat-sultan-iskandar-muda-kepada-raja.html