Saat Konflik Dulu Desa ini Penghasil Kakao

"Saat konflik berlangsung, semua masyarakat di desa ini terpaksa mengungsi ke daerah lain, sehingga perkebunan yang telah kami tanam harus ditinggali tanpa bisa mengambil hasil,"
Udara dingin dan gumpalan kabut senantiasa mewarnai keseharian masyarakat dataran tinggi di lintasan Sigli-Meulaboh. Jalanan terjal dan berliku juga telah menjadi pemandangan yang biasa bagi mereka yang bermukim di daerah ini.

Daerah yang bertempat di lereng pengunungan ini tergolong salah satu daerah yang subur dan produktif untuk pengembangan potensi pertanian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Ulee Gunong, begitulah sebutan desa yang terletak di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. Masyarakat yang bermukin sekitar 60 Km dari kota Beureunun ini setiap hari memulai aktifitasnya dengan bekerja sebagai petani di perkebunan milik mereka.Desa yang terdiri dari tiga dusun dan memiliki 215 kepala keluarga (KK) ini, merupakan masyarakat yang homogen (sama). Dimana hamper keseluruhannya sebagai petani tanaman tahunan (perkebunan).

Coklat (kakao), kopi, pinang, dan durian merupakan tanaman yang paling digemari penduduk setempat. Selain hasilnya lebih bagus, perkebunan ini juga telah menjadi tradisi turun menurun sejak mereka mendiami daerah dingin ini.

Hampir keseluruhan masyarakat yang tinggal di Desa Ulee Gunong adalah pendatang yang merantau dari berbagai wilayah di Aceh, mereka segaja mendiami daerah ini untuk membuka lahan tidur dan dijadikan perkebunan serta tempat tinggal yang baru.

Saat ini, jenis perkebunan yang paling diminati masyarakat Ulee Gunong adalah tanaman coklat, mereka beranggapan tanaman ini lebih menjanjikan serta perawatannya juga terkesan lebih mudah.

Sebelum bertani coklat, masyarakat setempat merupakan petani kopi, dan ini telah digeluti masyarakat sejak dari tahun enam puluhan. Namun pada akhir sembilan puluhan masyarakat beralih untuk lebih memilih menanam coklat.

Mulanya tanaman coklat di derah ini dibawa oleh H Abu Bakar dan M Yusuf Ali, mereka mendapatkan bibitnya dengan membeli di kota Sigli seharga Rp 500/batang. Dari bibit inilah kemudian dibudidayakan menjadi lebih banyak, dan dibagikan pada masayarakat lainnya.

"Mulanya hanya saya dan H Abu Bakar saja yang menanam coklat di desa ini, kemudian barulah masyarakat yang lain mulai berminat menanamnya juga," ujar Yusuf Ali.

Namun kini perkebunan coklat (kakao) telah menjadi pertanian komoditas masyarakat Desa Ulee Gunong, dan menjadi sarana perekonomian utama dalam memenuhi kebutuan hidup penduduk yang kian lama kian meningkat.

Saat perkebunan coklat memasuki musim panen, masyarakat setempat mampu menghasilkan produknya dalam setahun sebanyak 2 ton/ha. Dan hasilnya mereka jual pada pedangang pegumpul Rp 10.000/kg, bahkan pada harga saat harga melonjak, mereka bisa menjualnya dengan harga 15.000/kg.

Ketika berlangsung konflik Aceh, para petani di derah ini terpaksa untuk mengungsi ke daearah lain dan meninggalkan perkebunan mereka. Hal ini dilakukan masyarakat secara berulang kali.
"Saat konflik berlangsung, semua masyarakat di desa ini terpaksa mengungsi ke daerah lain, sehingga perkebunan yang telah kami tanam harus ditinggali tanpa bisa mengambil hasil," tambahnya.

Pernyataan tersebut dibenarkan Muhammad, kepala Desa Ulee Gunong. Dia menyatakan, saat konflik berlangsung desanya menjadi daerah yang paling sering terjadi kontak tembak, hingga dia dan seluruh masyarakat Desa Ulee Gunong mengambil kesimpulan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

“Hampir setiap hari di sepanjang jalan ini selalu terjadi kontak tembak dan penghadangan. bahkan korban yang berjatuhan pun tidak sedikit,” ungkapnya meyakinkan sembari menunjuk beberapa wilayah yang dianggap rawan.

Perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah yang tertuang dalam MoU Helsingki 15 Agustus 2005 yang lalu, merupakan salah satu titik cerah penyelesaian konflik Aceh. Demikian pula halnya yang dialami masyarakat desa Ulee Gunong.

Beberapa saat setelah perjanjian damai tercapai, keteika itulah masyarakat Ulee Gunong mulai berani untuk kembali ke kampung halaman mereka untuk kembali menggarap perkebunan yang telah lama terbengkalai.

Sementara itu, saat masyarakat mulai kembali ke desanya, mereka kembali dihadapankan dengan persoalan lainya. Mereka harus berpikir dari mana mendapatkan modal untuk memperbaiki perkebunan yang sekian lama tidak terawat.

"Saat kami kembali dari pengungsian, kebun milik masyarakat di desa ini sudah tidak terawat lagi, bahkan banyak juga tanaman yang mati dan diserang hama penyakit," ungkap Yusuf.

M. Nur, ketua kelompok tani desa setempat mengungkapkan, sejak mereka kembali mendiami daerah ini, sampai saat ini mereka belum pernah mendapatkan bantuan pertanian seperti halnya modal bagi masyarakat tani di derahnya. Padahal menurutnya mereka sangat membutuhkannya.

Selain modal, petani di desa ini juga mulai di resahkan dengan banyaknya penyakit dan jamur yang menyerang perkebunan coklat yang mereka garap, bahkan sampai saat ini mereka belum mendapatkan obat/vaksin untuk menanggulanginya.

“Banyak sekali hama dan penyakit yang menyerang perkebuanan kami, salah satunya penyakit busuk buah, yang hingga kini kamitidak tahu cara menanggulanginya,” ujar pria setengah baya itu ketika dijumpai di kebunnya.

Menanggapi telah terpilihnya Gubernur dan Bupati/Walikota baru di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, para petani berharap. Pemerintah terpilih agar mampu memberikan perhatiannya bagi masayarakat desa setempat, dan jangan hanya melihat dan memperhatikan daerah yang mudah dijangkau saja.

"Kami mengharapkan pemerintah baru Provinsi Naggroe Aceh Darussalam bisa memberikan perhatiannya pada petani di desa ini, karena profesi ini telah menjadi penopang kehidupan bagi masyarakat di sini," kata M Nur dengan penuh harapan. [Rizha / bangcut.blogspot.com]