Tempat Bersejarah di Aceh Tengah


Sekitar tahun 1904 kedatangan kolonial Belanda, hal ini tidak terlepas dari potensi perkebunan tanoh Gayo yang sangat cocok untuk budidaya kopi Arabika, tembakau dan damar.

Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh,  Sigli sebagai ibukotanya. Pada saat itu kota Takengon di dirikan sebuah perusahaan pengolahan kopi dan damar. Baru kemudian kota Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya sayuran dan kopi.

Pada masa penjajahan Jepang tahun (1942-1945), sebutan Onder Afdeeling Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun, dipimpin oleh Gunco.  Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus  1945, sebutan tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah  lagi menjadi kabupaten. Aceh Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-oendang No. 10 tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten.

Pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun 1956, wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu:
  • Kewedanaan Takengon,
  • Kewedanaan Gayo Lues dan
  • Kewedanaan Tanah Alas.
Dikarenakan sulitnya transportasi dan di dukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara melalui undang-undang No. 4 Tahun 1974. Dan kemudian pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah  dengan undang-undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah tetap  beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota  di Simpang Tiga Redelong.

Situs Sejarah Kabupaten Aceh Tengah

1. Umah Pitu Ruang Museum Makam Reje Linge
  

Ada beberapa Umah Pitu Ruang di Aceh Tengah di antaranya di Kampung Kemili Kecamatan Bebesen, Kampung Toeren Kecamatan Lut Tawar, dan di Kampung Buntul Linge Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.

Umah Pitu Ruang yang berada di Kampung Buntul  Linge Isaq adalah salah satu obyek wisata sejarah yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan di situlah bukti sejarah kerajaan besar yang pernah ada di daerah Gayo yang sangat terkenal dengan nama Reje Linge.

2. Radio Rimba Raya
Monumen  Radio Rimba Raya adalah sebuah tugu yang dibangun untuk  mengenang  sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam   mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan   oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987   pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di kampung Rime Raya,   kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain   menjadi tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang   menarik untuk dikunjungi.

Menurut sejarahnya, perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli pada Jhon Lee   (seorang blasteran Manado-China) yang menjadi perantara pembelian   perangkat radio tersebut. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di   Malaysia dan dibawa ke kota Juang Bireuen. Dari kota Bireuen, perangkat   itu dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai   komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat   mengudara, oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke   kampung Rime Raya yang saat itu masuk kecamatan Timang Gajah, Aceh   Tengah.

Sebelumnya,  perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung  Burni Bius,  kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di  kawasan itu  tidak aman, penjajah Belanda sedang memantau proses  pengiriman  perangkat radio itu, maka peralatan tersebut ditempatkan di  kampung  Rime Raya.

Setelah  melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya,  akhirnya  awal Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara untuk  memberitakan bahwa  Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar.  Dari Radio Rimba  Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan  kepada  pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang  mempertahankan  negara dari penjajahan Belanda.

3. Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan   ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali.  Adi Genali  (Kik Betul) mempunyai 4 (empat) orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak  Linge, Merah Johan dan  Merah Linge.   Reje  Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan  sebentuk   cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum  Berdaulat Mahmud Syah Syekh  Sirajuddin yang bergelar Cik Serule  (1012-1038   M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri  Linge   pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri  yang   bernama Syekh  Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.

4. Umah Edet Pitu Ruang
Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo,   adalah peninggalan raje  Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah  berdiri sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu adalah bukti sejarah orang Gayo yang masih ada, tapi sayang tampaknya tidak ada yang peduli dengan peninggalan sejarah tersebut.

Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar tepatnya di Kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa saja boleh melihatnya, tetapi rumah tesebut warnanya mulai pudar  bahkan nyaris hilang dimakan waktu seakan akan tidak ada yang perduli,  padahal rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang benar-benar asli peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang hanya copyan dari bentuk aslinya.

Beberapa bagian lantai rumah  adat tersebut sudah mulai lapuk. Begitu juga dengan 27 tiang penyangga  dari kayu pilihan dan diukir dengan pahatan kerawang Gayo sudah mulai bergeser dan tidak lagi tegak lurus. Beberapa batu gunung  dipakai sebagai alas tiang utama agar posisi rumah tetap stabil. Beberapa warga (Petua Kampung)  Toeren tersebut mengatakan, Rumah adat Umah Pitu  Ruang Toweren memang dibuat dari kayu pilihan. Diameter tiang  penyangganya pun seukuran dekapan dewasa. Tidak diketahui tahun berapa  rumah itu dibangun, tetapi menurut cerita, bangunannya sudah berdiri  sebelum kolonial Belanda masuk ke Dataran Tinggi Gayo.

Umah Edet Pitu Ruang Gayo  tersebut tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu  dan   bermacam-macam ukiran di setiap kayu. Ukiran tersebut bentuk nya  berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan ada yang berbetuk seni  kerawang Gayo yang di pahat khusus.

Walaupun tidak mengunakan paku  tapi kekuatan rumah adat pitu ruang tersebut sangatlah kuat apalagi  bahan kayu yang sangat bermutu pada zaman duhulu, tetapi bagaimana pun  kuatnya tanpa adanya perawatan bangunan tersebut akan roboh dengan  sendirinya di makan zaman.

Luas Umah Edet Pitu Ruang itu,  panjangnya 9 meter dengan lebar 12 meter. Berbentuk rumah panggung  dengan lima anak tangga, menghadap utara. Sementara di dalamnya terdapat  empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di  arah timur dan barat.

Semua sambungan memakai ciri  khas tersendiri menggunakan pasak kayu. Hampir semua bagian sisi dipakai  ukiran kerawang yang dipahat, dengan berbagai motif, seperti puter tali  dan sebagainya. Di tengah ukiran kerawang terdapat ukiran berbentuk  ayam dan ikan yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Sementara  ukiran naga merupakan lambang kekuatan, kekuasaan dan kharisma.  Peninggalan Raja Baluntara, bukan hanya bangunan tua yang bertengger  usang di Kampung Toweren Uken, tetapi aset bersejarah lain masih  tersimpan rapi oleh pihak keluarga seperti Bawar.

Bawar adalah sebuah tanda kerajaan yang diberikan oleh Sultan Aceh kepada Raja Baluntara. Selain  Bawar yang masih disimpan oleh keluarga keturunan raja itu, ada piring,  pedang, cerka dan sejumlah barang peninggalan yang sangat bersejarah.  Di belakang rumah adat tersebut dahulunya ada rumah dapur di bagian  Selatan yang ukurannya sama dengan ruang utama yang berukuran 9 x 12.  Ruangan dimaksud telah hancur. Selain itu, juga ada mersah, kolam dan  roda, alat penumbuk padi dengan kekuatan air yang semuanya juga sudah  musnah.

Reje Baluntara merupakan seorang  raja yang juga mengusai kawasan hutan sehingga disebut sebagai Reje  Baluntara (raja belantara- red). Menurut cerita yang berkembang foto  Reje Baluntara, ditemukan oleh salah seorang keluarga Reje Baluntara  yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje Amat Banta.

Dalam sebuah kesempatan ke  Belanda, Reje Amat Banta menemukan foto Reje Baluntara yang dibuat oleh  Belanda, kemudian dibawa pulang ke Takengon, kemudian dibuat lukisannya  sesuai foto aslinya. Sekeliling  rumah pitu ruang tersebut pada tahun 1990 di buat pagar kawat oleh Suaka  Sejarah dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh, kini rumah itu tidak  lagi di tempati oleh keluarga reje baluntara.

5. Mata Uang Linge
Mata  uang Kerajaan Lingga, Mata uang Pa berupa uang emas. Sisi pertama  tercantum gambar seorang laki-laki memegang tombak. Disisi sebelah lagi  tercantum tulisan dalam bahasa arab: Allah, Muhammad, Abubakar, Umar,  Usman dan Ali serta ditengahnya tertulis PA Lingga, artinya uang Pa  Kerajaan Lingga. (galleryaceh.info)