Tradisi Lepat Gayo


Tradisi masyarakat Gayo begitu banyak. Unik dan menarik. Jikalau ingin menlihat sebuah kehidupan budaya di Aceh, gayo menjadi salahs atu referensi utama.
Dataran tinggi Gayo, memiliki iklim yang dingin, terletak di ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut. Kehidupan masyarakat disana tentu begitu menarik untuk di telisik. Walaupun, sebagian tradisi itu sudah mulai punah. Namun tetap masih ada, dan tidak sulit untuk menemui berbagai tradisi di Gayo.
Salah satunya adalah tradisi lepat gayo.
Lepat gayo adalah sebuah makanan khas di Gayo. Lepat tersebut biasanya dibuat saat menyambut hari-hari besar Islam. Seperti menjelang Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Lepat Gayo kini tidaklah seperti dulu. Dahulu, lepat gayo sering dijadikan bahan makanan tambahan, sehingga setiap rumah masyarakat akan selalu ada lepat gayo, walau lebaran telah berlalu hingga empat bulan.
Lepat gayo di gantung diatas perapian atau para-para dapur. Lepat gayo itu tidak membusuk, dan tetap terbungkus rapi oleh daun pisang. Perubahan utama hanya pada warna daun dan lepat yang sudah mengeras.
Nah, Lepat Gayo itu, sering menjadi hidangan utama masyarakat gayo di kala pagi, malam atau sore hari, ditemani segelas kopi khas gayo yang mahsyur.
Lepat gayo yang telah lama disimpan itu, tidak langsung dimakan, melainkan di bakar di atas perapian atau tungku api di dapur. Hal ini tidak sulit, karena, sebagian besar masyarakat gayo memiliki perapian di dapur sebagai tempat penghangat tubuh. Selain dibakar, lepat gayo juga dapat di goreng.
Lepat yang sudah mengeras itu pun menjadi lunak, dan begitu nikmat untuk dimakan, apalagi saat secangkir kopi panas menjadi pasangannya. Lengkap sudah rasa lepat gayo dan kopi.
Apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan lepat gayo, berikut bahan dan cara pembuatannya.
Bahan yang yang digunakan untuk membuat lepat ini antara lain adalah : Beras, Ketan putih, Kelapa yang  tua,  Gula merah, dan daun pisang muda
Cara Pembuatannya, Beras dan ketan ditakar terlebih dahulu beberapa liter (bambu) sesuai dengan kebutuhan. Lalu, beras dan ketan ini dicampurkan menjadi satu dan simpan kedalam karung ukuran kecil. Berikutnya beras dan ketan ini direndam kedalam air yang telah disediakan didalam ember atau baskom yang sesuai dengan kapasitas bahan yang dibutuhkan. Selanjutnya, tunggu beberapa jam sampai beras dan ketan yang sudah dicampurkan ini menjadi lembut agar mudah menumbuknya sampai menjadi tepung. Setelah itu tepung di ayak sehingga menjadi lebih halus.
Lepat ini merupakan suatu kesatuan dalam masyarakat Gayo. Terutama bagi kaum muda atau anak-anak gadis yang di kampung-kampung atau pedesaan. Apabila sudah mulai menumbuk beras ketan, anak-anak gadis ini mulai turun ke kampung menuju tempat penumbuk padi yang disebut dengan ”Jingki” atau penumpuk padi yang menggunakan kincir air pada waktu itu. Dulu setiap desa mempunyai satu jingki. Pada zaman serba modern ini orang sudah mulai menggunakan mesin penggiling tepung yang memakai Listrik atau dinamo tidak seperti dulu lagi.Namun sayang, kini, lepat gayo sudah jarang kita temukan di rumah-rumah. Masyarakat seperti enggan memasaknya karena alasan kerumitan dan proses pembuatannya. Ada juga sebagian masyarakat yang lebih memilih makanan siap seperti kue bolu dan lain-lain.
Padahal, tradisi lepat gayo menjadi bagian dari kehidupan masyarakat gayo itu sendiri, selain kopi. Mungkinkah lepat gayo akan hilang? [mp3gayo.wordpress.com]