Yang Gila Di Rimba Aceh


Tentara marsose Belanda, kerap mengalami kelaparan dan tersesat di rimba Aceh. Ribuan mereka dikuburkan secara terpisah dalam perjalanan operasi ke hutan-hutan belantara. Tak terkira juga jumlah pekerja paksa (beer) yang dikuburkan di relung-relung rimba Aceh. Kisah Willen Van Lueven, seorang marsose yang pandai memasak salah satunya. 

Willem memiliki bakat yang tak ternilai di dalam hutan. Dia anak seorang tukang potong hewan di Holland, dan mahir dalam pekerjaan itu. Terlebih-lebih memotong babi, dia sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Dan di depan bivak di mana dia berada bersama pasukannya dahulu, kini masih ada bau dendeng bakar. Anak buahnya selalu ada saja yang dibanggakannya dan Willem sebagai penasehatnya. Kebolehannya itu telah diperlihatkannya dengan memotong seekor babi gemuk tidak jauh di utara Kutacane, di Lembah Alas.

Binatang besar itu sebenarnya bukanlah seekor babi hutan liar, melainkan babi peliharaan yang gemuk dan terawat baik. Kepunyaan seorang Cina yang memiliki sebuah kebun dan peternakan babi. Cina ini sangat bangga dengan binatang-binatang peliharaannya yang diberi makan sebaik-baiknnya itu.

Pernah terjadi di mana Mosselman, seorang perwira sedang berjalan di daerah itu, kemudian kembali ke pasukannya, dan tiba-tiba di sebuah kebun tebu, ia mendengar suara kemersik, kemudian melihat ada seekor babi yang besar langsung menuju kepadanya, sehingga terpaksalah ia menembaknya. Babi itu di gotong ke bivak, lalu di panggilnya Willem van Leuven. “Willem, ini ada seekor Celeng, “katanya. ”Coba, buatlah apa yang enak,” perintahnya.

Datanglah si Willem dan memperhatikan babi besar itu dengan mata setengah dipicingkan, kemudian dibukanya matanya lebar-lebar dan memandang kepada Mosselman. Mereka saling berpandangan bagaikan juru tenung. “Betul-betul seekor babi hutan,” kata Willem, lalu ia mengambil perkakas tukang jaganya. Pada hari itu juga pada pondok bivak itu tergantunglah seekor babi yang sudah disembelih, dikuliti dan dibersihkan dengan cermat. Binatang itu tergantung, kedua kakinya mengangkang, bagaikan orang yang hendak pergi ke pesta dan mau menarik perhatian orang.

Keesokan harinya lembaran-lembaran dendeng babi setebal beberapa jari bergantungan di bivak, dan beberapa potong paha sedang diasap. Sebagai seorang penjagal yang hemat, Willem selalu membersihkan tiap tulang babi dari dagingnya. Kemudian Kapten Murling datang sebentar untuk melihat-lihat. Dia tahu betul bahwa babi hutan tidak memiliki daging dengan lemak yang tebal dan putih warnanya, serta daging-daging paha yang gemuk-gemuk seperti itu. Di dalam hutan, Celeng pun tidak akan dapat memperoleh makan sedemikian kayanya.

Murling lalu memanggil Mosselman dan menayakan bagaimana ia mendapatkan babi itu. Mosselman mengatakan babi itu ditangkap dalam rumpun bambu. Namun seorang Cina kemudian datang dan menuntut ganti rugi kepada Mosselaman, si Cina mengatakan babi itu miliknya. Tapi si Cina itu diusir.

Sementara si Willem membuat worst dengan potongan yang panjang-panjang, induk keju, dan pada hari berikutnya ada pula dendeng asap, ham, dan kabonade, serta ini dan itu. Semua marsose dalam pasukan itu datang kepadanya meminta bekal dan dia tahu betul apa yang di perlukan mereka. Kalau ada seorang marsose yang datang minta bekal sambil berkat, “Karmenace por ampak orang”, maka ia sudah maklum bahwa dia mau korupsi sepotong carbonade, lalu yang diberikan hanya tiga potong saja.

Kemudian juru masak dari Muurling datang untuk meminta bagiannya, tetapi Willem memberikan potongan yang agak kecil, karena, katanya. ”Kapten itu orangnya kurus dan tidak banyak makannya.” Demikianlah Willem berhadapan dengan anak buahnya, kalau dia bekerja sebagai tukang potong hewan.

Willem kemudian dikirimkan bertugas ke Tripa-hilir, yang menurut istilah dia adalah “daerah busuk”, dan untuk tugas ini dia telah mengambil persekot yang lumayan banyaknya. Maka komandan –komandan brigade itu pun berusaha untuk membuat badan itu mengalami defisit, dalam menjaga kemungkinan yang buruk menimpa diri seseorang serdadu. Willem pun berbuat demikian tatkala ia harus berangkat menuju Tripa-hilir, dan berkata, “Andaikata saya tidak kembali lagi, maka mereka tidak dapat memperkaya diri mereka dari saya.”

Willem memang tidak kembali lagi. Dalam perjalanannya ia masih pula membuat beberapa cukilan-cukilan kalimat misalnya:”Pejalan-pejalan kaki harus jalan sebelah kanan” dan lain-lain, tatapi ini tidak berlangsung lama. Sesudah enam hari kemudian, pasukannya pulang kembali tanpa dia. Pasukan itu dalam keadaan sangat kebingungan dan berkata mengenai komandannya,”Dia ditinggal mati.”

Dengan segera dikirimkan pasukan kesana, dan sementara itu ternyata bahwa pasukan yang dipimpin Willem tadi telah mendapat seruangan kelewang di dalam hutan, dan serdadu-serdadu marsose itu menjadi panik. Orang-orang yang berhasil kembali, sangat mengalami demorakisasi.

Pasukan yang dikirim untuk mencari, menemukan bivak pasukan Willem yang terakhir, di mana mereka telah bermalam selama dua hari. Kemungkinan pada waktu itu mereka tidak cukup waspada, atau khayalan-khayalan tentang keadaan kampung di Holland, telah menyebabkan mereka lalai akan keadaan alam rimba Aceh yang nyata. Maka tibalah terjadi serangan kelewang itu, dan para marsose membalas dengan tembakan-tembakan yang sengit dan lama dalam keadaan panik. Willem mati terkena peluru di kepalanya dan di kuburkan di tempat itu.

Tibalah pasukan patroli yang menyusul tadi di tempat itu. Medannya sangat buas dan membosankan. Suatu lembah kecil dekat sebuah sungai, dan ada sebuah plateau agak di sebelah atas. Disanalah Willem terkena peluru. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk menemukan kuburan Willem. Ada bau mayat yang sudah membusuk, dia sudah mati tujuh hari yang lalu. Keluar dari tumpukan batu-batu pada kuburnya, karena liang mayat itu tidak dalam.

Para pekerja paksa (beer) kemudian menggali sebuah lubang yang dalam. Tubuh Willen Van Lueven, kemudian dipindahkan dan dikuburkan dalam lubang tersebut. Diatas kuburan itu diletakkan batu-batu besar sebanyak-banyaknya dan sesudah itu barulah pasukan bertolak pulang.

Terhdap peristiwa itu, penulis Belanda, H C Zentgraaff menulis dalam bukunya,“Siapakah kini yang dapat menemukan kuburan itu kembali? Siapakah yang dapat menemukan kuburan-kuburan lainnya yang tek terkira banyaknya yang tersebar di seluruh bumi Aceh itu kembali? terutama kuburan-kuburan pekerja-pekerja paksa (beer) yang begitu banyaknya yang dalam perjalanan patroli dan dalam pertempuran-pertempuran, telah memperlihatkan sikap dan tindakan-tindakan ksatria, sama seperti pasukan-pasukan kita. Mereka mengerjakan pekerjaan masal, merupakan bagian dari aparat juang yang besar, namun sama pentingnya dengan yang lainnya. Bagi mereka itulah kuburan-kuburan masal itu diperuntukkan. Bagi beberapa orang, adalah tumpukan-tumpukan batu besar di tengah hutan belantar, tempat yang sederhana, dan itu pun kadang-kadang tidak ada sama sekali.” Tulis Zentgraaff.


Limbar Yang Gila Pangkat

Konflik antar Marsose karena perempuan dan perang terus berlanjut. Sakit dan pura-pura gila jadi alasan jitu pasukan elit Belanda itu untuk mangkir dari tugas, lalu mencari perempuan untuk pelampiasan nafsu. Kebanyakan perempuan itu adalah istri dari para marsose itu sendiri. Kisah Limbar salah satunya.

Kisah yang lucu sekaligus unik menimpa Limbar, seorang kopral dari Brigade pimpinan Mosselman, yang dinilai cemerlang. Yang karena kecemerlangannya itu pula mendapat banyak tanda jasa setelah sekian lama ikut bertempur di pelosok-pelosok Aceh.

Limbar mulai menunjukkan gejala-gejala kelakukan aneh. Ketika berada di Padang Tiji, Pidie, ia sudah mulai menampakkan gejala gila dan pada pantolannya yang putih itu dijahitnya dua buah bies terbuat dari kertas parada, sedangkan pada jasnya dilekatkannya banyak tres-tres dan bintang-bintang. Pada topinya diberi jambul dari kertas dan sarung pedangnya begitu bagus, melebihi kedudukan seperti seorang Eropa berpangkat Hoofdcommissaris. Di Hinda Belanda dalam kepolisian dengan pakaian kebesarannya kiri-kira seperti seorang Admiral besar dan seorang Veldmaarshalk.

Begitulah saban hari ia bergaya di depan kaca. Sehingga kawan-kawannya dalam rangan menertawainya. Moselman selaku komandan brigade lalu masukmke barak tersebut dan menghardiknya. Limbar kemudian menjawab dengan santai. “Apa sersan tidak tahu bahwa saya sekarang jenderal?” katanya dengan santai kepada komandannya itu.

Mendengar itu, Moselman jadi emosi, ia pun terus menghardik serta memberi aba-aba pada bawahannya itu. “Siaaaaa…….ap grak,” perintah Moselman. Dengan sikap ragu-ragu Limbar pun melakukan perintah komandannya itu, kemudian pergi meninggalkannya.

Tatkala Mosselman bersama pasukannya pergi mengadakan suatu gerak patroli, dan tiba-tiba berserobok dengan sekumpulan gerombolan maka mereka berhasil lari pontang panting karena telah terlebih dahulu melihat kehadiran militer-militer tersebut. Karena itulah komandan menjadi marah sekali kepada pasukannya dan berkata bahwa ini tidak becus mereka harus pergi mencarinya sekarang dan tidak boleh kembali sebelum menemukan berkas jejak itu.

Limabar tidak di perkenankan ikut serta sebagai hukuman baginya dan putusan itu betul-betul tamparan keras baginya karena menyangkut rasa kehormatan dirinya. Tatkala para pencari jejak itu tiba kembali, dan Mosselman sedang duduk diatas sebuah batu rata sambil merokok tiba-tiba si Limbar berdiri tegak didepanya dengan senapan karaben siap ditangannya. “Kenapa sekarang kopral limbar tidak berlaku gila lagi?” tanya Mosselman, mengingat kejadian di barak Padang Tiji ketika Limbar berdandan dan bersolek di depan kaca dengan atribut di baju seperti jenderal.

Namun pertanyaan itu tidak di jawab Limbar, ia tetap memegang karaben dan mengarahkan ke komandannya itu. Ia memandang dengan sorot mata yang dingin dan aneh. Melihat geklagat aneh Limbar tersebut, Mosselaman memberikan aba-aba. “letakkan…….karaben!” perintahnya. Limbar pun meletakkannya, lalu Mosselaman kembali memberi aba-aba. “Sandang senjata, maju jala…..an grak.” Limbar pun menyandang kembalis enjata itu dan berjalan meninggalkan komandannya.

Tentang peristiwa itu, Zentrgraaff seorang penulis Belanda menulis, “Kegialaan yang mencengkam kopral itu membebaskannya dan dia dengan tepat mengikuti setiap komando. Seakan-akan di sedang berada didalam suatu adegan yang gelap, dan pada detik yang gawat, masih berhasil merasakan adanya tarikan dari suatu tangan yang perkasa untuk menahannya. Dalam kegelapan ini di mana semangat limbar menerawang telah kembali bercahaya kehidupan serdadu yang lama berlangsung dengan ketaatannya dan jiwa limbar kembali kepada kehidupan yang khas tersebut. Dimana seseorang tidaklah berarti apa-apa melainkan satu bagian dari 18 orang brigade itu, seper enam dari kelompok yang disebut drum, inilah yang berkuasa kembali dalam jiwa limbar, tatkala komando mosselman bergema.”

Tak lama kemudian, Limbar pun dibawa ke Kutaraja. Marsose yang stres akibat persoalan perang dan perempuan itu pun ditempatkan bersama orang-orang gila lainnya di sebuah penampungan. Namun atas prestasinya selama ikut berperang di seantero Aceh, kepadanya diberikan penghargaan berupa Miklitaire Willwimsorde.

Suatu ketika Mosselaman pergi mengunjunginya. Juru rawat disitu telah membuat sebuah bintang biasa yang besar dari tutup blek dan di pakai oleh limbar pada dada bajunya. Sekali-kali tangannya yang kurus itu membelai bintang primitif tersebut. Tersirat tanda-tanda mengingatnya kembali ketika komandan lama itu masuk kedalam dia mencium bau udara hutan-hutan cemara di Blangkejeren. Limbar pun berlagak seperti Jenderal dan bertanya kepada komandannya itu “Apa sersan sudah pulang dari Gayo?”

Sebelum Mosselman meningalkannya, Limbar pun mengajukan beberapa permohonan. Sebab menurutnya, namanya bukanlah Limbar tapi Graf Timbal dan menghendaki gelar yang sepadan menurut kedudukannya. Ia masih menganggap dirinya seorang jenderal. Tak lama kemuidan mantan kopral pemberani itu pun di kirim ke rumah sakit Jiwa di Bogor.

Zentgraaff menilai hal tersebut merupakan suatu akhir yang sangat menyefihkan bagi seorang Marsose cemerlang dan pemberani seperti Limbar. Dan kegilaan-kegilaan Marsose lain pun terus berlanjut setelah Limbar. Persoalannya masih jenuh berperang dan wanita (nafsu). Menurut Zentgraaff, dalam tahun 1909 dan 1910. di Blangkejeren terjadi berbagai peristiwa aneh diluar batas-batas normal.

(Iskandar Norman/vhourkhanrasheed.blogspot.com)