Pulo Rondo, Pulau Terluar Indonesia



NAMA Pulo Rondo tak setenar Pulau Weh, pulau induk dalam wilayah admistrasi Kota Sabang. Pulau di ujung Sumatera ini adalah salah satu dari empat pulau kecil di Sabang selain Klah, Rubiah dan Seulako.
Dibanding dengan tiga pulau kecil lain, Rondo posisinya paling jauh, sekaligus tempat pertemuan ombak Samudera India dan Selat Malaka. Inilah salah satu pulau terluar Indonesia yang namanya tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. 
Terletak pada koordinat 06.05.00 LU dan 095.07.00 BT, pulau Rondo berjarak 15 mil, atau 15,6 kilometer dari kota Sabang. Luasnya 42 hektar dengan lebar 400 meter dan panjang 1,2 kilometer. Dalam kondisi ombak tenang, pulau ini dapat dicapai dengan waktu tempuh 1,5 jam dengan kapal motor.
Rondo berasal dari bahasa Jawa. Artinya, janda. “Mungkin karena itu jadinya tidak terurus,” kata mantan Walikota Sabang, Sofyan Haroen ketika ATJEHPOSTcom bertandang ke sana pertengahan 2005.
Sebagian warga Sabang menyebut pulau itu dengan nama Pulau Bruek. Nama ini muncul lantaran bentuknya yang seperti tempurung kelapa.
Nama Pulo Rondo mulai masuk dalam dokumen negara sejak 1899, yaitu Besluit No.25 tanggal 18 September 1899. Arsip ini menguraikan kedudukan Gubernur  Belanda di Aceh beserta daerah di bawah kekuasaannya. Termasuk pulau Rondo yang menjadi bagian Kabupaten Sabang.
Meski terkesan dekat, perjalanan menuju pulau ini tak mudah. Nelayan setempat paham benar dengan ”prilaku” ombak sepanjang jalan menuju Pulo Rondo. Waktu paling tepat menuju ke sana adalah di pagi hari, ketika ombak laut masih tenang.
Pada Agustus 2005 lalu, ATJEHPOSTcom berkesempatan menyambangi pulau itu dengan menggunakan kapal patroli TNI Angkatan Laut bernama KAL Simeulue I.212.
Dengan kecepatan 15 knot, semestinya waktu tempuh menuju Pulau Rondo hanya satu jam. Namun, di tengah jalan, ombak besar menghantam kapal. Kapal sepanjang 10 meter itu berkali-kali oleng kiri kanan, dihantam ombak. Akibatnya, perut terasa dikuras. Barang-barang bawaan berupa tas, peta dan peralatan lain yang ditaruh di atas meja, terlempar ke lantai.
Beberapa prajurit yang sebelumnya nongkrong di geladak depan, terpaksa masuk ke ruang kemudi, mencari tempat pegangan. Wajah-wajah penghuni ruang kemudi tegang. Untunglah kondisi itu tak berlangsung lama. “Ini lagi musim barat, makanya ombaknya besar,” kata nakhoda kapal ketika ketegangan mencair.  
Seharusnya, dengan kecepatan 15 knot, hanya butuh waktu satu jam menuju Rondo. Namun, karena ombak tak henti menerjang, perjalanan pagi itu memakan waktu satu setengah jam. Mendekati Pulau Rondo, laut kembali tenang.
Tiba di Pulo Rondo, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Di puncak bukit, pada ketinggian 153 meter, hanya ada sebuah mercusuar. Di jalan setapak menuju mercusuar, dari kejauhan sehelai bendera merah putih yang diikat di tiang melambai-lambai diterpa angin. Selebihnya, hanya pohon kepala dan tumbuhan hutan perawan. Di tepian, ombak berkejaran, lalu memecah di hamparan pasir putih.
Karang-karang besar di sisi pulau membuat kapal tak bisa menepi, kecuali menggunakan perahu karet.
Posisi Pulau Rondo yang berbatasan langsung dengan perairan India, membuat pulau itu rawan pencurian ikan.  Pada 2002, Angkatan Laut Sabang menangkap 56 kapal Thailand berbendera Indonesia yang mencuri ikan di sekitar Rondo.
Salah satu jenis ikan yang banyak ditemui di sekitar Rondo adalah ikan hiu.
Kini, setelah walikota Sabang menyebut adanya temuan minyak bumi di sekitar Pulau Rondo, akankah “janda” di ujung Sumatera itu mengakhiri kesendiriannya?[atjehpost.com]