Semangat Fatimah Usai Diamuk Tsunami


Keganasan gelombang besar yang meluluhlantakan Aceh tidak membuat semangat perempuan ini redup. Meski kampungnya telah musnah diterjang ombak, ia tetap bertahan di tempat asal.
______________________________________
Rumah panggung itu hanya berjarak belasan meter dari bibir pantai. Kayu di dinding rumah sudah mulai lapuk. Di kolong rumah sebuah sampan tertelungkup disangga dua balok kecil.
Rumah itu terletak di tengah sebuah gundukan tanah layaknya pulau kecil. Laut dan sungai mengelilingi pulau itu. Tak ada jembatan atau jalan darat untuk tiba di sana. Jalan satu-satunya, menyeberangi sungai.
Pemilik rumah itu Fatimah. Usianya 53 tahun. Ia warga Gampong Baro, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.
Rumah Fatimah berada di bibir pantai Desa Neuheun, Kecamatan Masjid Raya. Dulu, pulau kecil yang dihuni Fatimah adalah lokasi Gampong Baro, yang disapu bersih tsunami sewindu lalu.
Dari ribuan warga yang tinggal di desa ini, hanya puluhan orang selamat usai gempa dan tsunami. Pemuka gampông akhirnya sepakat memindahkan lokasi desa ke dataran lebih tinggi. Kini, Desa Gampong Baro berada di atas Bukit Ujong Batee, dalam kecamatan yang sama.
Sementara Fatimah tetap bertahan di bibir pantai itu. Di lokasi itu, cuma ada ilalang, pohon kelapa, cemara, dan rumah harta warisan Adam, ayah Fatimah.
“Rumah ini tidak dibawa tsunami karena ada bukit kecil di belakang. Kami menjaganya dengan baik. Air tsunami cuma merembes hingga ke halaman, tetapi tidak sederas tsunami di sudut lain dalam desa ini,” ujar Fatimah.
Delapan tahun lalu, kata Fatimah, dia melihat langsung ganasnya gelombang raya itu datang dari arah kiri dan kanan rumahnya. Dia juga menyaksikan bagaimana ratusan orang digulung ombak besar.
Lakon itu dilihatnya dengan rasa ngeri luar biasa. Bibir Fatimah tidak henti-hentinya menyebut asma Allah. “Selesai tsunami, saya ditolong adik untuk menyeberangi sungai serta lari ke gunung. Kami berkumpul di sana bersama puluhan warga Gampong Baro yang selamat untuk membentuk posko,” ujarnya kepada The Atjeh Times, Jumat pekan lalu.
Setelah delapan tahun berlalu, nasib Fatimah belum juga berubah. Ia tetap sebagai wanita paruh baya yang bekerja serabutan. Sehari-hari, ia lebih banyak menghabiskan waktu di pabrik batu bata milik seorang toke di Desa Neuheun.
Suami Fatimah, M. Nasir, 65 tahun, sehari-harinya juga bekerja serabutan, mulai dari mencari tiram hingga memelihara ternak warga yang dititip kepada mereka. Sementara anak Fatimah, masih kecil dan duduk di bangku sekolah dasar.
 “Kalau tidak bekerja banting tulang. Anak nanti mau makan apa?“ ujar Fatimah dalam bahasa Aceh. Ia berharap anak semata wayangnya juga bisa bersekolah tinggi dan tidak mengalami nasib sama seperti dirinya.
“Saya kembali lagi ke sini karena hanya bisa bercocok tanam dan beternak. Saya tidak takut tsunami karena kalau kita bersahabat dengan alam serta pasrah pada Tuhan, Insya Allah akan diberikan perlindungan,” ujar Fatimah.[Atjehpost.com]