Wisata Bercorak Kehidupan Budaya Masyarakat Aceh Tempo Dulu Ada Di Desa Ini


Tidak terlalu rumit menemukan arah menuju destinasi wisata bercorak kehidupan dan budaya masyarakat Aceh tempo dulu.
Selain, penempatan papan nama petunjuk arah, akses masuknya hanya berjarak 5 meter dari jalan Nasional Medan-Banda Aceh. Setelah itu, kita terlebih dahulu menemukan jembatan penghubung sepanjang 100 meter yang membelah Krueng Aceh ke Desa Lubuk Sukun, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
Sesaat melewati jembatan, suasana sejuk nan asri mulai menghampiri setiap pengunjung. Siang itu, 29 Desember 2012, meski matahari kian tepat di atas kepala, namun panasnya tak begitu menyengat. Rindangnya perpohonan yang tumbuh disepanjang jalan desa itu, tak membuat sinar matahari langsung menjamah kulit.
Keramahan penduduknya kian menambah suasana menjadi akrab, beberapa pria yang sedang nongkrong di warung kopi tersenyum ramah, seorang di antaranya menghampiri Media IndonesiaM, Namanya Darzam, Ia adalah pramuwisata bagi wisatawan yang berkunjung ke desanya.
“Setelah dijadikan objek wisata, saya ditugaskan menjadi pemandu di sini,” ujarnya memperkenal diri.
Sejak Senin, 15 Oktober 2012, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh menetapkan Desa Lubuk Sukun itu menjadi gampong atau desa wisata budaya guna melestarikan adat istiadat dan kearifan lokal masyarakat setempat serta desa wisata percontohan di Aceh.
Setelah lolos seleksi dari empat kriteria dasar yang dinilai, yaitu asli, lokal, unik dan indah, perihal itu tidak terlepas dari dicanangkannya tahun kunjungan wisata ke Aceh pada 2013 mendatang.
“Untuk mewujudkan keinginan itu, perlu adanya kerja sama yang berkesinambungan antara pemerintah, swasta, masyarakat,
lembaga pariwisata dan pihak terkait lainnya,” ujar Mukhlis Basyah, Bupati Aceh Besar, saat peluncuran desa itu.
Sejauh mata memandang kita akan dimanjakan dengan pemandangan rumah-rumah khas Aceh yang masih kokoh berdiri, suasananya asri, bersih dan tidak ada hewan yang berkeliaran. Seakan kita kembali ke masa Aceh tempo dulu, rumah adat Aceh hampir tersebar di seluruh pelosok Aceh.
Namun, hal itu menjadi pemandangan yang langka sekarang. Masyarakat Aceh berlomba-lomba membangun rumah dengan interior dan ekterior modern, baik di pendesaan atau di kota.
Hingga saat ini, masyarakat yang masih mengunakan rumah Aceh sebagai tempat tinggal, hanya ada di beberapa titik, seperti di sebagian kecil daerah Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Selatan. Uniknya, di Desa Lubuk Sukun itu, hampir semua masyarakat masih menghuni rumah Aceh,
“Kesadaran masyarakat untuk mempertahankan rumah Aceh masih tinggi, namun ada juga yang telah memodifikasinya tapi miniatur Acehnya masih ada,” sebut Azwar Yusuf, Kepala Desa Lubuk Sukun.
Azwar mengatakan, Desa Lubuk Sukun merupakan bagian dari Mukim Lubuk dengan luas wilayah 112 ha dan terbagi dalam empat dusun, yaitu Dusun Darussalihin, Dusun Darul Makmur, Dusun Darul Ulum dan Dusun Darussalam,
“Ada sekitar 996 jiwa yang menetap di sini dengan total 191 bagunan berupa rumah dan lain-lainnya,” ujar Azwar.
Di balik itu, ada hal yang bersejarahnya lainnya yang menjadikan Desa Lubuk Sukun menjadi tempat yang layak dikunjungi, baik untuk mengenal adat istiadat Aceh atau wahana edukasi yang langsung dipertontonkan.
“Selain kewajiban mengaji setelah magrib untuk semua warga, kita juga sudah mulai belajar berbahasa Inggris dan Mandarin pada Sabtu dan Minggu. Ini semua untuk memudahkan komunikasi warga dengan wisatawan mancanegara,” ujar Darzam.
Darzam menceritakan, beberapa hari lalu desanya sempat dikunjungi wisatawan asal Jepang. Mereka semua takjub dengan kondisi alami yang dimiliki desa ini.
“Orang Jepang itu bilang, desa ini seperti Jepang setengah abad yang lalu, nyaman dan damai untuk ditinggali,” ujarnya
Darzam, yang hanya mengerti sedikit dari pembicaraannya dengan turis Jepang.
Selain itu, Desa Lubuk Sukun juga merupakan tanah kelahiran orang-orang besar di Aceh, seperti Cek Mat Rahmani, yang merupakan Duta Besar Indonesia era 1970-an di beberapa negara di Timur Tengah, mantan Gubernur Aceh A Muzakkir Walad yang berkuasa periode tahun 1967 – 1978.
Hebatnya, kedua rumah Aceh milik orang besar itu, masih berdiri kokoh sampai sekarang. Misalnya rumah milik Cek Mat Rahmani yang banyak dikunjungi wisatawan dan Muzzakir Walad yang masih terawat.
“Dulu kalau Bapak libur dinas, sering menginap di sini dan ia juga mengajak warga sekitar untuk pempertahankan warisan leluhur ini,” ujar Syahrul, penjaga rumah itu.
Salah seorang wisatawan lokal, Fadli mengatakan, Ia sangat terkesan dengan keistimewaan yang dimiliki Desa Lubuk Sukun,
“Konsep yang ditawarkan desa ini sangat bagus, selain suasana desanya yang masih alami dan indah, pelestarian rumoh Aceh oleh warga Lubuk Sukun juga patut dicontoh oleh desa-desa lainya. Yang paling berkesan, teryata orang-orang hebat banyak
berasal dari sini,” ungkap Mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh itu.
Rumah Aceh milik Cet Mat Rahmani sendiri menjadi ikon dan banyak menarik minat wisatawan yang mengunjungi Lubuk Sukun, baik dalam atau luar negeri,
“Artis Ibu kota, Seperti Cristine Hakim dan Cut Yanti sudah pernah ke sini, kalau turis asing, biasanya dari Asia, Eropa, Australia juga ada,” tutur Juni Rahmani.
Juni Rahmani yang juga putri dari Cek Mat Rahmani menceritakan bahwa umumnya rumah Aceh di sini telah dibangun sejak 1950 sampai 1980, dengan tiga konstruksi utama yaitu serambi keue (depan), serambi teugoh (tengah) dan serambi likot (belakang).
Dengan rincian, serambi depan itu tempat menerima tamu, tempat mengaji, dan tempat tidur anak lelaki. Serambi tengah terbagi dua yaitu rumoh inong yang berfungsi sebagai kamar tidur kepala keluarga dan rumoh anjong untuk kamar tidur anak gadis dan serambi belakang berfungsi dapur serta ruang makan keluarga.
Rumah Aceh layaknya rumah panggung biasa, disangga sekitar 12 tiang utama atau lebih seukuran batang kelapa, dindingnya merupakan pahatan kayu yang telah diukir sedemikian rupa, atapnya mengunakan daun rumbia dan dengan ketinggian sekitar 2-3 meter. Namun, itu tergantung letaknya,
“Kalau letak rumah di daratan rendah, rumahnya dibuat agak tinggi agar terhindar dari banjir,” ujar Juni.
Rumah ini masih sangat alami, setelah lantai tanahnya disemen dan dijadikan ruang tamu, Jingki (penumbuk padi tradisional Aceh) yang biasanya ada di bawah telah dipindahkan. Selain perawatan rutin, setiap 25 tahun sekali atap rumbianya kita ganti. Meski biayanya mahal, kita bangga masih mempertahankan warisan leluhur.
Di lain sisi, sebenarnya konsep membangun rumah Aceh yang dilakukan masyarakat dahulu sangatlah multiguna. Lubuk Sukun sendiri terletak di wilayah yang kurang baik secara geografis, berada di daratan rendah, dekat dengan pengunungan dan melintasi Krueng Aceh yang bisa mengakibatkan banjir di desa itu bila air sungai meluap.
“Maka para pendahulu kami merancang rumah Aceh dengan prinsip tahan gempa dan terbebas dari banjir,” sebut Darzam.
Meski Krueng Aceh yang lebar 30-50 meter dan bersisian dengan Lubuk Sukun, sejak 1990 ketika proyek Krueng Aceh dibangun menjadi dua alur muara yang langsung mengirimkan air sungai ke laut.
“Sejak luapan sungai bermuara ke Lampulo, Banda Aceh dan Alue Naga, Aceh Besar. Desa kami telah aman dari banjir tahunan itu,” ujar Darzam, ketika memperlihatkan area sisi sungai yang dimanfaatkan warga sebagai kebun.
Darzam juga sempat membawa Media Indonesia untuk mengunjungi tempat peternakan sapi di desa tersebut. Warga di sini memelihara hewan dengan cara dikurung jadi tidak ada hewan yang berkeliaran bebas,
“Semua hewan peliharaan dikurung, para perternak sapi juga membuat kandang khusus, yang hanya memuat empat ekor sapi dalam satu kandang,” sebutnya.
Selain menjadi peternak, masyarakat desa itu juga berprofesi sebagai petani, pegawai negeri sipil dan selebihnya wirawasta, “Mayoritas kami petani, meski letak pesawahan agak jauh dari permukiman warga,” tutur Darzam.
Warga Lubuk Sukun juga masih menjalankan adat dan tradisi yang dilakukan melalui ritual-ritual secara islami, seperti hari itu, sejumlah orang sedang mempersiapkan sebuah resepsi pernikahan salah satu warganya.
“Setiap ada kegiatan, kami selalu melakukannya secara gotong royong dan kekeluargaan, seperti Kenduri Blang (persiapan turun ke sawah), Maulid Nabi, Nuzulul Quran, Peusijuek (tepung tawar), dan Kenduri Meukawen (pesta perkawinan) seperti hari ini,” ujar Darzam.
Setelah lelah mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Lubuk Sukun, kami beristirahat sejenak di sebuah balee atau balai Putroe Phang yang dijadikan tempat musyawarah para pemuka desa itu, “Selain di Meunasah, di sini juga sering diadakan rapat desa atau musyawarah gampong,” sebut Darzam.
Maka, dengan segala keistimewaanya, Lubuk Sukun diharapkan mampu menarik minat wisatawan pada hajatan visit Aceh year 2013.
Lubuk Sukun juga akan membawa pengunjungnya merasakan kehidupan masyarakat Aceh pada ratusan tahun silam. Dengan persembahan adat-istiadat dan wahana ke-Acehan yang masih alami. Sekaligus, sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional. (koranbogor.com)