Menikmati Snorkeling Iboih ala Backpacker Banda Aceh


Bila akhir pekan, aku bersama teman-teman biasanya menghabiskan waktu ke tempat-tempat wisata yang tidak jauh dari kota Banda Aceh. Pantai Lampuuk, Brayeun, Ujong Batee, Ie Su uem Krueng Raya dan berapa obejek wisata lainnya menjadi andalan yang sering ku datangi setiap akhir minggu.
 Cuaca terlihat cerah pagi itu, Sabtu.
Begitu kubuka gadget-ku, ternyata ada tiga panggilan tak terjawab dari sepupuku yang kuliyah di Universitas Muhammadiyah Aceh, Munawar Qadri. Dengan empat orang lainnya mereka menungguku untuk mengajak ke sebuah tempat wisata yang eksotik.
Tujuan kami kali ini mencari objek wisata yang sedikit jauh dari kota Banda Aceh, yaitu sebuah pulau yang disebut Sabang. Pulau ini lumayan terkenal ke seluruh Indonesia, bahkan ke manca negara sekalipun banyak diketahui.
Tak ayal meskipun aku sudah mendatanginya beberapa kali, namun aku belum begitu hafal setiap jalan menuju tempat-tempat yang wisatan yang mempesona di kota kecil itu.
Bahkan ada di antara kami yang belum pernah sekalipun ke sana.
Jarum jam menunjukkan pukul 9.00 wib. Kami berenam berkumpul manuju ke pelabuhan Ulee Lheue. Kami menyertakan tiga sepeda motor.
Aku bersama Nasrul menggunakan motor Mio Soul hitam, Nawar bersama abangnya Nasrul dengan motor Satria F warna hitam, dan satu motor lagi Honda Bit putih yang dikendarai Jibran dengan abangnya Nasrul yang paling tua.
Di jalan terlihat ramai dengan sepeda motor berlalu lalang. Kami terburu-buru menuju pelabuhan karena berasumsi jangan sampai ketinggalan kapal yang berangkat pagi.
Ketika kami sampai di pelabuhan, justru tidak ada kapal yang berangkat pagi. Biasanya jadwal keberangkatan kapal dua kali dalam sehari, tetapi sekarang hanya sekali saja yaitu pukul 14.00 WIB.
Seorang petugas pelabuhan memberitahu kami bahwa perjalanan menuju Sabang menghabiskan waktu tiga jam. Tidak lagi satu jam setengah, karena kapal lambat tidak singgah lagi ke Balohan, sebab sedang ada perbaikan. Jadi, kapal harus berputar langsung ke dermaga dekat kota Sabang yang menghabiskan waktu satu jam lebih.
Meskipun masih lama jadwal keberangkatan kapal, kami tetap sabar menunggu. Biasanya kalau akhir pekan banyak pengunjung dari Banda Aceh yang berlabuh ke Sabang. Kami khawatir t kehabisan tiket atau tidak muat sepeda motor ke kapal karena banyak mobil dan truk yang juga ingin ke sana.
Kami memesan tiket lebih awal. Harga tiket Rp 18.000/penumpang, kami memesan enam tiket dan tiga tiket untuk sepeda motor Rp 23.000/sepeda motor.
Cuaca semakin panas, sambil berbicang-bincang tak terasa hari sudah siang. Kami berenam makan siang dan bergegas menuju mushalla untuk shalat Zuhur terlebih dahulu.
Pukul 13.00 wib, awak kapal membunyikan klakson bertanda kapal hendak berangkat. Setelah semua barang penumpang termasuk mobil dan truk dimuat, maka tepat pukul 14.00 wib kapal langsung bergerak menuju Sabang.
Dari lantai tiga kapal yang tak beratap itu terlihat hamparan laut yang luas. Pelan-pelan meninggalkan Kuta Raja (sebutan untuk Banda Aceh tempo dulu-red). Pelabuhan Ulee Lheue semakin tak terlihat.
***
Setelah tiga jam menghabiskan waktu dalam kapal, dari kejauhan, rumah-rumah warga di pulau yang terpisah dari dari daratan Sumatera itu mulai terlihat. Di pelabuhan bebas Sabang juga terlihat kapal-kapal pesiar dari Thailand dan negara lain berparkiran di bibir dermaga Sabang.
Semenjak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 ditetapkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Sabang, banyak kapal-kapal dari luar negeri yang berdatangan ke Sabang.
Begitu kami turun dari kapal, kami beristirahat sejenak di sebuah warung yang tak jauh dari tempat kapal mendarat sambil menikmati secangkir teh hangat untuk menghilangkan penat.
Penduduk kota Sabang terlihat sangat ramah. Ketika mereka melihat kami kabingungan di jalan, langsung disapa, “Mau ke Iboih ya,” tanya seorang penduduk di sana pada kami.
Pertanyaan itu lumrah, karena setiap pengunjung ke Sabang, tujuan utama itu ke tempat wisata bahari nusantara yang menjadi surga bagi para penyelam yaitu pulau Rubiah, yang terletak di Iboih.
Hari semakin sore, mentari mulai mengarah ke barat, diselimuti angin sepoi-sepoi tak terasa sambil jalan-jalan, terdengar suara kumandang azan, rupanya sudah magrib, sementara kami belum mencari penginapan.
Sementara itu kami shalat Magrib di Desa Cot Bak U. Usai shalat kami dihampiri oleh seorang jamaah laki-laki. Kami diberitahukan penginapan-penginapan yang terdekat dan murah-murah sekitar sana.
Akhirnya kami sepakat menginap di sebuah Mess Elang milik Lanud TNI AU yang disewakan. Harganya lumayan terjangkau Rp 100.000 / malam. Padahal kamarnya penuh AC, dan ruangannyan pun luas, pokoknya muat buat kami berenam. Kami ambil dua malam karena Senin pagi kami baru chek out.
*** 
Kebetulan bertepatan dengan malam Minggu, setelah mandi dan istirahat di penginapan, kami berencana dengan teman-teman untuk jalan-jalan dan menikmati suasana malam kota Sabang.
Menurut penjaga mess, Muslem, biasanya kalau malam Minggu orang paling ramai berkumpul di Sabang Fair. Setelah kami tiba di sana, sayangnya kami diguyuri hujan lebat, sehingga gagal menikmati indahnya malam di Sabang Fair yang terletak di pusat kota Sabang berpinggiran laut. Akhirnya kami kembali ke penginapan.
Kami sudah bertekat, esok hari Minggu akan berangkat ke Iboih. Hari itu pun tiba, setelah sarapan pagi di pinggir jalan, kami mengisi bahan bakar yang penuh, langsung bergegas menuju Iboih yang didambakan setiap pengunjung lokal dan asing. Dari tempat kami menginap jarak ke Iboih sekitar 23 KM.
Meskipun kami belum terlalu hafal jalan kanuju ke Iboih, tetapi kami tidak khawatir sedikitpun karena mulai dari kota Sabang, setiap persimpangan jalan ada penunjuk arah menuju ke sana.
Dalam perjalanan terlihat pemandangan yang indah yang mempesona . Eksotik laut yang dikelilingi hutan yang masih alami. Jalan sudah teraspal sepanjang perjalanan, monyet-monyet berloncat-loncat riya di pinggir jalan.
Sedikit kesulitan yaitu bukitnya sangat tinggi-tingi. Apalagi dengan motor matic yang dikendarai dua orang terasa sangat terbeban saat menanjak.
Motorku selalu ketinggalan di belakang, Nawar selalu menertawai kami karena selalu ketinggalan di belakang. Namun demikian alhamdulillah tidak terjadi apa-apa hinggap sampai ke tujuan.
***
Kami tiba di Iboih. Sebelum sampai ke KM 0, kami singgah di Gapang sejenak menikmati suasana pantai yang berpasir sehingga cocok untuk bersantai. Dari pantai Gapang semakin jelas terlihat pulau Rubiah di depannya. Rasanya tak sabar lagi ingin ke sana untuk snorkeling.
Namun teman-teman ingin ke KM 0 terlebih dahulu, pulang dari sana baru kami singgah di pulau Rubiah, begitu kesepakatannya.
Kami melanjutkan perjalanan ke KM 0 yang menghabiskan waktu sekitar 9 KM lagi dari Gapang. Tiba di KM 0, kami berfoto bersama dengan android milik Nasrul. Di sana terlihat sebuah tugu yang menjulang tinggi.
Di atasnya ada sebuah batu keramik yang terpahat warna hitam dibubuhkan tanda tangan mantan Pj Presiden Bj. Habibie yang diresmikan tugu tersebut pada tahun 1997.
Selain ada tugu, di sana juga ada seorang bapak-bapak dengan sebuah meja kecil di depannya. Bapak itu ternyata menjual sertifikat dengar harga Rp 15.000 yang telah distempel Pemerintah kota Sabang, bahwa menandakan kita sudah menginjakkan kaki di KM 0 yang berbatasan langsung dengan  tiga negara, yakni Malaysia, Thailand dan India.
*** 







Tidak lama di sana kami langsung kembali ke tujuan semula ke Gapang dan Iboih adalah lokasi spot snorkel dan dive yang terkenal di Aceh, bahkan dunia. Lokasi ini berada di teluk barat sangat dekat dengan Samudera Hindia.
Di depan Gapang dan Iboih disebut pulau Rubiah, tempat itulah destinasi kami saat itu. Untuk bisa tiba di sana harus menyewa bot dengan harga Rp 150.000 antar jemput.
Namun kami juga mendapatkan keringanan ketika ada tiga mahasiswa dari Medan ikut nyebrang satu bot bersama kami, alhasil mereka bayar sepertiga Rp 50.000 dari harga sewa bot. Jadi kami berenam cuma menggerogoh Rp 100.000 saja.
Sampai di sana, rugi rasanya kalau tidak snorkel. Kita bisa menemukan bermacam trumbu karang dan ikan bermacam warna.
Di sana dapat ditemukan jenis gigantic clams, angel fish, school of parrot fish, lion fish (ikan singa), sea fans, dan banyak lagi jenisnya.










Nah, untuk bisa snorkel, tentu harus menyewa perangkat alat selam, yang terdiri dari kacamata selam, jaket pelampung, dan sirip kaki seharga Rp. 40.000.
Awalnya saya tidak bisa menggunakan alat tersebut, namun penyewa perangkat tersebut mengajarkan cara penggunaannya.
Setelah puas snorkeling melihat bawah laut berjam-jam, kami istirahat sejenak untuk menyantap makanan. Kemudian, setelah siang kami sambung snorkel beberapa jam lagi. Tepat pukul 16.00 wib kami menghubungi pemilik bot untuk menjemput kami.
Setelah tiba di Iboih lagi, kami tidak langsung pulang, tapi Jibran mengajak keliling bungalow yang dipenuhi turis-turis asing. Melewati jalan setapak kami menemukan banyak pria dan wanita yang berambut pirang yang sedang bersantai-santai di atas ayunan yang diikat di depan tempat mereka menginap.
Seharian penuh kami menghabiskan waktu di Iboih dan pulau Rubiah, akhirnya kami pulang ke penginapan.
Kami semua kelelahan, bahkan ada di antara kami yang tidak sempat mandi langsung terkapar di atas tempat tidur. Keesokanya kami cepat-cepat siap-siap untuk chek out, karena kapal dari Sabang munuju Banda Aceh berangkat pagi, tentu kami harus antri sepeda motor terlebih awal bakda salat Subuh.
Setelah membeli tiket, kami semua menaiki kapal lambat, batinku merasa sangat puas dua hari berada di Sabang, lalu aku menoleh ke belakang.
Ku ucapkan dalam benakku “Selamat tinggal Sabang”.
Hayatullah Zuboidi | The Globe Journal