Rex, Surga Kuliner Yang Tak Pernah Goyah

Rex Peunayong Banda Aceh

“REX masih eksis, Bang?”
Pertanyaan itu menyelinap  dalam sebaris kalimat pendek di kotak masuk telepon genggam saya di hujan renyai,  pada sebuah sore  yang mendung,  pekan  kedua Januari lalu.
Saya tergagap ketika tahu siapa pengirim pesan itu. Saya hanya bergumam sembari membisikkan pada diri sendiri, ”Inilah orangnya yang melambungkan nama pusat jajanan Banda Aceh itu ke langit nusantara setelah tulisan  “feature”nya, bergaya “human interest,” yang amat menarik  di kolom “sosok” surat kabar terkenal “Kompas, ” berjudul, “Sang Presiden Rex” menyebar bagaikan virus di memori pembaca.
Saya  “heng” dalam hitungan detik mengenang semua yang menjalar diingatan saya tentang Rex. Tentang si pengrim pesan,  kisah perjalanan Rex dan kelebat bayangan ketika pusat jajanan itu merangkak dari satu dkade ke dekade berikut untuk kemudian menjadi sentra kehidupan malam di pojok lahan yang “mendunia” itu.
Setelah “siuman”  saya membalas pesan pendek itu,”Masih eksis, Mas.” Yang spontan dibalasnya sangat cepat dengan kalimat antusias,”kita ketemu bulan depan Bang!”
Saya sengaja menyapa lelaki itu dengan  Mas, karena saya tahu ia anak Gunung Merbabu nun di Jawa Tengah sana. Saya tahu juga  ia kepincut dengan Rex dan tak pernah melekangkan nama itu dalam memorinya selama puluhan tahun, sejak ia diamuk romantisme pasca bercerai dengan pusat jajanan itu,  dan  terakhir ia mengadopsi  nama Rex  itu melalui  renungan spontan  dalam novel terbarunya “Blues Merbabu”  terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Dan ketika disuatu hari saya dikirimi novel “dwilogi”  itu, dan membaca dalam salah satu  episodenya yang panjang tentang sebuah bioskop Rex di “kotanya,”  saya tergoda bertanya dengan nada “bloon,” apakah ada nama bioskop Rex di sana?  Ia tertawa ngakak, khas tawa Mas Don yang unik, dan menjawab, “Rex itu yang ada di Penayong. Bukan di kaki Merbabu.”
Ya, Rex memang ada di Penayong. Rex yang sudah beberapa kali bersalin rupa dan ketika saya memulangkan kenangan ke ujung tahun 70-an pusat jajanan itu  masih sejumput lahan bekas reruntuhan sebuah bioskop milik seorang “keling” yang  kumuh dan dipagari kios-kios koran serta barang kebutuhan pokok.
Saya dan Mas Don, begitu saya memanggil Don Sabdono,  yang di Kompas memakai nama Bre Redana sebagai identitas kewartawanannya, menjadi pengunjung tetap Rex di ujung tahun 80-an ketika kami  menghabiskan malam dengan kongko-kongko di sana hingga menjelang azan subuh usai menyudahi  “deadline” pra cetak sebuah koran lokal, yang kini berkibar sebagai surat kabar “terlaris” di Aceh.
Rexnya Mas Don adalah generasi kedua setelah ia dipasangi pagar besi setinggi pinggang setelah rencana membangun bundaran  dengan taman kota oleh pemerintah kota di demonstrasi oleh para penjual makanan dan minuman yang  didukung oleh mahasiswa yang terusik  rasa keadilannya. Kios-kios yang menyemak  diseputaran Rex pada dekade kedua ini di usir dan Rex pun,  kala itu, melengkapi menu kulinernya dengan mi aceh, martabak telur, kerang rebus, nasi goreng Wak Busuk dan memperkenalkan minuman “terung belanda” yang dipromosikan  sebagai pengusir kolesterol.
Rex  di dekade itu  tidak lagi  berkutat dengan menu bakso dan es campur Hasan Gotong Royong, yang sebelumnya  menyempal di kakilima  bekas bioskop itu . Keragaman makanan ini yang menyebabkan Rex bisa melintas zaman dan bertahan sampai sekarang, memasuki  generasi ke tiga. Generasi  berbangunan t wah pasca gempa dan tsunami hadiah dari “funding” BUMN yang diinisiatifi oleh Sofyan Jalil, Menetri BUMN waktu itu. .
Rex persisnya berlokasi di Kampung Penayong. Kampung Pecinaan. Di sebuah lahan bekas bioskop yang lokasinya  membentuk setengah lingkaran pada pertemuan tiga ruas jalan.  Charil Anwar,  jalan Sri Ratu Safiatuddin dan jalan A Yani.
Rex tidak hanya ikon kota Banda Aceh. Tapi juga pusat pertemuan komunitas etnis, kelompok tanpa membedakan latar belakang masing-masing. Ia berada  di belahan timur Krueng Aceh di kerimbunan hotel  dan bangunan pertokoan.
Karena strategisnya lokasi dan fungsinya  keberadaannya sulit tertandingi. Ia tak tergoyahkan sebagai sentra jajanan malam walau pun perkembangan kota Banda Aceh yang semakin melebar  ke sisi barat dan utara Ia juga tak mampu  disaingi oleh kepungan   warung kopi berasesori wifi  dengan promosi ekspresso berlabel solong, dapu, taufik, sejak dari Jalan Panglima Nyak Makam, Batoh, Ulee Lheue hingga ke Lampulo.
Eksistensi Rex sebagai pusat jajanan tidak hanya bertahan melintas zaman, tapi berkembang ke sisi Jalan Yani dan Jalan Charil Anwar hingga ke pangkal paha Jalan Safiatuddin. Ia  mulai berdenyut di ujung sore, bergegas menjelang malam dan  tutup di pangkal subuh.
Kehidupan malam di Rex merupakan gairah yang tak pernah mati. Ketika gairah dendang Minang, musik Aceh hingga ke lagu pop seperti Noah bersahutan dari “loadspeaker” berdentang kencang dari gerobak penjaja makanan yang mengaduk-aduk  suasana.
Rex,  kini dan dulunya, sudah menjadi sepotong “kota” internasional sepanjang  malam. Tempat berkumpul pendatang campur baur. “Kota” plural yang menyimpan gelegak magma toleransi para pendatang yang tidak peduli dengan satus sosial, etnis dan mencairkan pantangan perempuan Aceh keluar malam, menghirup ekspresso dan bercas cis tanpa disentuh oleh polisi  syariat.
Rex adalah sebuah kawasan privelasi  yang dibiarkan dari teriakan “halakah” karena ia terbuka dan tak ada kemesuman yang bisa menggelegakkan kebencian. Untuk itu Rex paham bagaimana memposisikan dirinya sebagai denyut kota tanpa harus terperosok pada hur-hura jajanan beralkohol dan remang-remang yang merangsang orang mengumbar birahi.
Seperti dikatakan Anto, anak Medan yang berjualan ayam penyet di sebuah sudutnya, tak ada pengunjung yang datang mengumbar “cinta” di sini. “Ini tempat keluarga atau kelompok pertemanan menghabiskan waktu dengan satu tujuan, menikmati jajanan,” katanya dengan tersenyum.
“Kami sepakat untuk menjaga tempat ini steril dari fitnah permesuman. Kami jualan eksotisme makanan. Bukan menjual keremangan. Di sini semuanya benderang,” kata Saiful yang meneruskan usaha ayah berjualan kerang rebus.
Baik Anto mau pun Saiful mengaku sebagai “manusia malam.” Kami  datang kemari menjelang maghrib dan bubar sebelum subuh. Kami pengawal setia Rex dan menimba rezeki dari namanya yang sudah mendunia,” kata Saiful.

Penulis: Darmansyah | nuga.co