Banda Aceh menuju hijau 30 persen



BILA angin bertiup agak kencang, bau semerbak itu terasa jelas di sepanjang ruas Jalan STA Mahmudsyah, Banda Aceh, menuju Pendopo Gubernur. Bila berhenti tepat di jalan itu, semerbak itu kian terhidu.
Aromanya menjalar lembut melewati pancaindra ketika disesap, membuat kita tak ingin beranjak. Belum lagi suasana di tepi jalan itu sejuk dan bersih. Di samping trotoar berdiri aneka jenis pohon yang meneduhkan jalan.
Bau harum tadi berasal dari bunga warna kuning pucat di pohon Pulai (Alstonia Scholaris). Di tepi jalan itu, ada belasan pohon Pulai berdiri menjulang. Daunnya pipih meruncing seperti mata tombak.
Rumput-rumput hijau terhampar di bawah pohon-pohon Pulai itu. Kamis pekan lalu, nyaris tak ada sampah di sisi jalan itu. Sejenak berada di jalan itu, Banda Aceh terasa tanpa polusi. Begitu asri dan hijau.
Pohon Pulai selain berbunga harum, juga cocok jika dijadikan sebagai tanaman untuk penghijauan. Khususnya untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau atau RTH seperti yang sekarang digagas Pemerintah Kota Banda Aceh dalam mewujudkan kota hijau atau green city.
Lokasi tadi memang masuk ke dalam RTH yang kini mulai ditingkatkan lagi oleh pemerintah kota. Peningkatan itu dilakukan agar sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Aturan ini menegaskan setiap kota harus memiliki RTH mencapai 30 persen.
Banda Aceh belum tiba pada persentase itu. Jauh hari, Wali Kota Banda Aceh Mawardy Nurdin di Taman Putroe Phang, Banda Aceh, telah melakukan sosialisasi terkait Banda Aceh sebagai green city.  Mawardy kala itu mengatakan sebuah kota hijau adalah metafora dari kota yang berkelanjutan.
Ada delapan atribut, kata wali kota, di dalam sebuah kota hijau. Atribut itu antara lain, perencanaan dan perancangan kota ramah lingkungan, memiliki ketersediaan ruang terbuka hijau, konsumsi energi yang efisien, dan pengelolaan air yang efektif. Selain itu juga pengelolaan limbah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recyle), bangunan hemat energi atau bangunan hijau, penerapan sistem transportasi yang berkelanjutan, dan peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau.
Kini perwujudan atribut-atribut itu, mulai digalakkan pemerintah kota, bahkan hingga ke seluruh pelosok desa di Banda Aceh. Ruang terbuka hijau yang dimaksud terdiri dari taman kota, tepian air, jalur hijau jalan, dan hutan kota dan mulai dikembangkan di mana-mana.
Menurut informasi yang diperoleh dari Kepala Seksi Bidang Pertamanan Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh, Abdullah, target pembangunan 30 persen RTH, kini telah berjalan melewati angka dua belas persen. Namun, untuk wilayah kota, RTH tepian air dan jalur hijau jalan sudah tidak ada lahan lagi.
“Kini pembangunan RTH bahkan sudah kita jalankan ke desa-desa, karena mengingat kondisi lahan yang tersedia di wilayah kota sudah terisi,” kata Abdullah, Kamis pekan lalu.
Dua belas persen RTH itu, kata Abdullah, dibangun di atas lahan 1.232,6 hektare yang tersebar luas di sembilan kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Angka-angka itu meliputi pembangunan taman kota seluas 517.866 meter bujur sangkar, hutan kota 5.054.808 meter bujur sangkar, jalur hijau jalan 466.330 meter bujur sangkar, dan RTH tepi air atau sabuk hijau 6.287.174 meter bujur sangkar.
“Itu belum termasuk RTH private atau yang bersifat milik sendiri. Untuk mencapai target RTH 30 persen, kita sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat,” ujar Abdullah.
Ruang terbuka hijau itu disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kota. Dalam rincian data yang diperlihatkan Abdullah, tercakup perencanaan 30 persen RTH sejak 2009 hingga 2029 di setiap kecamatan. (lihat: Luas Ruang Terbuka Hijau)
Selain itu, untuk menjadikan Banda Aceh sebagai green city, Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum Kota. Kerja sama ini juga untuk menggiatkan fungsi RTH yang memiliki nilai-nilai sosial budaya, ekonomi serta edukasi. Sehingga, taman yang terbangun, kata Abdullah, bukan hanya disebut sebagai arsitektur untuk keindahan, melainkan juga memiliki nilai dan fungsi.
Dengan keterbatasan lahan, wacana pembangunan RTH ke depan lebih diarahkan ke hutan kota. Hal ini tak lain karena lahan yang tersedia kini banyak berada di wilayah pedesaan. Di dalam hutan kota, kata Abdullah, rencananya akan ditanami pohon Trembesi, Angsana, dan Mahoni. “Kalau untuk jalur hijau atau tepian jalan, mungkin akan kita tanami pohon Tanjung, Asam Jawa, dan Ketapang Kencana,” katanya.
Banda Aceh juga masuk sebagai salah satu dari enam puluh kota di Indonesia yang diproyeksikan Kementerian Pekerjaan Umum dalam Program Pengembangan Kota Hijau. Karena itu, Abdullah berharap seluruh elemen masyarakat di Banda Aceh turut menyukseskan perencanaan program itu.
Bentuk keterlibatan masyarakat itu, menurut Abdullah, seperti tidak memotong pohon sembarangan, menyediakan lahan digampong-gampong, serta tidak membiarkan ternak berkeliaran sehingga dapat merusak bibit pohon.
“Ini adalah sumbangsih yang begitu diharapkan dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam menyukseskan Banda Aceh green cityitu sangat penting. Jadi, mari kita mulai menanam dan menjaga pohon yang sudah digalakkan pemerintah. Itu semua berfungsi untuk masa depan Kota Banda Aceh,” kata Abdullah.[]
Luas Ruang Terbuka Hijau
Meuraxa                   : 4.255.097 m2
Jaya Baru                 : 99.250 m2
Banda Raya             : 45.500 m2
Baiturahman          : 354.956 m2
Lueng Bata              : 43.290 m2
Kuta Raja                 : 2.409.600 m2
Syiah Kuala             : 3.125.700 m2
Kuta Alam               : 1.935.885 m2
Ulee Kareng            : 56.900 m2
HERI JUANDA/ATJEHPOSTcom