Aceh Pelopor Emansipasi Wanita

Berbicara tentang perjuangan emansipasi wanita di Indonesia, maka secara jujur kita harus mengakui, bahwa berdasarkan fakta sejarah menunjukkan sudah sejak abad ke-15 Masehi, Aceh telah melaksanakar emansipasi.
Adapun nama Aceh berasal dari kata Acih dari bahasa Keling, yang berarti kakak. Disamping itu ada pula yang menyatakan bahwa nama Aceh berasal dari kata Aca yang berarti: Indah. Dari kata Acih dan Acaini kemudian berubah menjadi Aceh.
Dalam abad ke-17 di Aceh pernah lahir seorang ulama besar terkemuka, namanya Syekh Abdurrauf bin Ali al Fansuri al Singkeli atau Singkili yang kemudian dikenal dengan nama Syiah Kuala (1620-1693). Dia seorang ulama ahli fikih dan ahli tasauf yang beraliran sattariyah serta bermadzhab ahli sunnah wal jama'ah.

Dia pernah menjabat sebagai seorang kadhi Malikul Adil Mufti Besar kerajaan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675); Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678); dan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1685).
Semasa hidupnya ia pernah memberikan fatwa, bahwa wanita boleh menjadi penguasa (Sultanah). Atas dasar fatwa Ulama Besar tersebut menyebabkan kerajaan Aceh Darussalam selama hampir 60 tahun diperintah oleh para Ratu wanita (Sultanah) masing-masing terdiri dari :

1. Sultanah Tajul Alam Saffiamddin Syah (1641-1675);
2. Sultanah Nurul Alam Nakiyamddin Syah (1675-1678);
3. Sultanah Inayat ZaHyamddin Syah (1678-1688);
4. Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

Akan tetapi sebelum Kerajaan Aceh Darussalam, dalam abad ke-14 Masehi, Aceh sudah pernah diperintah dan meniiliki Ratu atau Sultanah. Misalnya Puteri Lindung Bulan yang juga disebut Sebagai Puteri Sri Kandee Negeri, adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerintah Negeri Benua Tamieng (Negara bagian dari Kerajaan Islam Perlak) dalam tahtm 1353-1398M.

Meskipun tidak memegang salah satu jabatan resmi dalam pemerintahan, akan tetapi di belakang layar Puteri Lindung Bulan telah membantu sang ayah dalam berbagai urusan kerajaan, yang pada hakekatnya adalah sebagai Perdana Menteri dalam pekerjaannya.Dalam sejarah Aceh kita mengenai nama Ratu atau Sultanah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Dia adalah Sultanah terakhir dari Kerajaan Islam Samudera Pasai yang memerintah selama 28 tahun (1400-1428).

Last but not least sejarah mencatat nama Puteri Pahang, sesudahn Pahang jatuh ke tangan Aceh (1617) Puteri Pahang yang bernama Puteri Kamaliyah dijadikan Permaisuri oleh Sultan Iskandar Muda. Dia menjadi penasehat Sultan, selain sebagai permaisuri Raja. Ia sangat bijaksana dan menjadi termasyhur dengan nama Putroe Phang.

Adapun salah satu nasehat Puteri Pahang yang dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda ialah pembentukan sebuah lembaga yang disebut Balai Majelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR) yang beranggotakan 73 orang yang mewakili Mukim dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Untuk mengabdikan jasa dan karya besar Puteri Pahang tersebut, maka semua produk Majelis Mahkamah Rakyat disebut sebagai produk Puteri Pahang, sebagaimana tercermin dalam sebuah Hadih Maja (kata berhikmat) yang berbunyi, sebagai berikut:

Adat bak Poten Meureuhoom
Hukoom bak Siyah Kuala
Kanun bak Putrou Phang
Reusam bak Lakseumana
Hukoom ngon adat
Lagee zat ngon sijeut

Hadih Maja itu menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, sebagai berikut :

1. Kekuasaan eksekutif
2. Kekuasaan yudikatif
3. Kekuasaan legislatif
4. Peraturan keprotokolan (diserahkan kepada Laksamana/ Panglirna Angkatan Perang Aceh).
5. Antara adat, kanun dan reusam tidak boleh dipisahkan dari hukoom (ajaran Islam).

Hadih Maja ini menjadi falsafah hidup orang Aceh, dimana terdapat 3 nama tetap dalam ingatan, yaitu iskandar Muda, Siyah Kuala dan Puteri Pahang. Perlu dicatat disini bahwa pada masa pemerintahan Ratu Sanatuddin dan Sultan Iskandar Sani, 17 dari 73 anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat terdiri dari wanita.

Demikianlah catatan sejarah Aceh dimana didalamnya telah mengungkapkan peranan wanita dalam pemerintahan. Disamping itu Aceh juga memiliki panglima-panglima perang dan pejuang wanita yang gagah berani seperti misalnya Laksamana Malahayati, Teungku Fakinah, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren danTeungku Fatimah.

Dari fakta sejarah tersebut diatas membuktikan, bahwa pelaksanaan emansipasi di Aceh telah berlangsung dalam praktek sejak lama dalam abad ke-15, bukan lagi dalam slogan perjuangan ataupun teori.

Hal ini pernah kita angkat kepermukaan untuk membuktikan kepada Dunia,bahwa sudah sejak lama Bangsa kita telah memberikan tempat terhormat dan memberi kesempatan kepada kaum wanita sejajar dengan kaum pria, jauh sebelum Barat berjuang untuk emansipasi kaum wanita. (meukeutop.blogspot.com)