Ada yang mengatakan, bahwa Hikayat Prang Sabi yang masyhur itu dikarang oleh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman ada yang mengatakan oleh Teungku Chik Kuta Karang; ada yang mengatakan oleh Teungku Chik Tanoh Abee, dan kebanyakan ahli mengatakan dikarang oleh Teungku Chik Pante Kulu yang bernama asli Haji Muhammad; saya termasuk dalam kelompok yang terakhir. Menurut literatur saya semenjak sebelum perang dunia kedua, bahwa yang banyak dipertengkarkan orang tentang siapa
pengarang Hikayat Prang Sabi, yaitu antara Teungku Chik Di Tiro dengan Teungku Chik Pante Kulu. Tetapi banyak orang tua yang saya yang ikut dalam perang bersama Teungku ChIk Tiro dan Teungku Chik Pante Kulu, antaranya Pang Abbas, menyatakan bahwa pengarang Hikayat Prang Sabi yang Masyhur itu adalah Teungku Chik Pante Kulu.
Dengan mengetahui bahwa Teungku Chik Tiro sendiri memang ada mengarang sebuah hikayat yang bernama Sa'labah, yang di dalamnya juga ada dicantumkan hal-hal yang berhubungan dengan "Prang sabi", maka dapatlah kita meyakini bahwa pengarang Hikayat Prang Sabi yang ditakuti Belanda itu adalah Teungku Chik Pante' Kulu. Dalam "mukaddimah" dari Hikayat Prang Sabi tersebut ada dilukiskan bahwa banyak para ulama sudah tidak menghiraukan urusan jihad memerangi kafir (Belanda), hanya Teungku Chik Tiro saja yang bukan demikian. Dengan adanya pelukisan ini sudah dapat dipastikan, bahwa bukanlah Teungku Chik Tiro yang mengarang Hikayat Prang Sabi, sebab tidak masuk akal bahwa beliau yang demikian saleh akan bertindak memuji diri demikian rupa.
pengarang Hikayat Prang Sabi, yaitu antara Teungku Chik Di Tiro dengan Teungku Chik Pante Kulu. Tetapi banyak orang tua yang saya yang ikut dalam perang bersama Teungku ChIk Tiro dan Teungku Chik Pante Kulu, antaranya Pang Abbas, menyatakan bahwa pengarang Hikayat Prang Sabi yang Masyhur itu adalah Teungku Chik Pante Kulu.
Dengan mengetahui bahwa Teungku Chik Tiro sendiri memang ada mengarang sebuah hikayat yang bernama Sa'labah, yang di dalamnya juga ada dicantumkan hal-hal yang berhubungan dengan "Prang sabi", maka dapatlah kita meyakini bahwa pengarang Hikayat Prang Sabi yang ditakuti Belanda itu adalah Teungku Chik Pante' Kulu. Dalam "mukaddimah" dari Hikayat Prang Sabi tersebut ada dilukiskan bahwa banyak para ulama sudah tidak menghiraukan urusan jihad memerangi kafir (Belanda), hanya Teungku Chik Tiro saja yang bukan demikian. Dengan adanya pelukisan ini sudah dapat dipastikan, bahwa bukanlah Teungku Chik Tiro yang mengarang Hikayat Prang Sabi, sebab tidak masuk akal bahwa beliau yang demikian saleh akan bertindak memuji diri demikian rupa.
Bait yang melukiskan hal tersebut terjemahannya berbunyi:
Mengapa Agama tersia-sia,
Dunia laksana akan fana,
Ulama membisu bicara tiada,
Medan perang sunyi tiada bergema ?
Manusia penaka kehilangan diri,
Jihad tiada hiraukan lagi,
Tinggal seorang berakal budi,
Teungku di Tiro teladani Nabi.
Dalam pengantar penyalinan naskah Hikayat Prang Sabi, Abdullah Arif menandaskan kepastiannya Teungku Chik Pante Kulu yang mengarang hikayat tersebut
Amma ba'du sekedar puji,
Sebuah berita hamba rawikan,
Pesan datu Teungku di Tiro,
Kissah perang sabil beta himpunkan.
Pengarang hikayat pujangga utama,
Mujahid besar ulama sufi,
Teungku Pantekulu masyhur nama,
Orientasi ke Tiro dalam Perang Kompeni
Ismail Jakub dalam bukunya Teungku Chik di Tiro juga menandaskan bahwa pengarang Hikayat Prang Sabi adalah Teungku Cik Pante Kulu.
Prof. Dr. Anthony Reid, ahli sejarah bangsa Australia, dalam hal ini menyatakan "Though Teungku Chik Pante Kulu, from a Deah close to Tiro, is reputed in Aceh to have composed the Hikayat Perang Sabil on this back from Mecca about 1880, this Hikayat was popularized by Teungku Sheikh Saman as a means to arouse religious ferfour for the war". (Meskipun Teungku Tjhik Pante Kulu, dari Dayah yang dekat dengan Tiro, termasyhur di Aceh yang mencipta Hikayat Prang Sabi dalam perjalanan pulangnya dari Mekkah sekitar 1880, namun hikayat ini dipopulairkan oleh Teungku Syekh Saman dengan maksud untuk mengobarkan semangat agama untuk berperang).
Dari uraian-uraian di atas bolehlah diyakinkan, bahwa Hikayat Prang Sabi adalah karya pujangga besar Teungku Chik Pante Kulu.
Siapa Teungku Cjhik Pante Kulu ?
Penyair perang terbesar Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu, dilahirkan dalam tahun 1251 h. (1836 m.) di desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, dalam suatu keluarga ulama yang ada hubungan kerabat dengan kelompok ulama Tiro. Setelah belajar AJ Qur-an dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), pemuda Muhammad melanjutkan pelajarannya pada "Dayah Tiro" yang dipimpin oleh Teungku Haji Tjhik Muhammad Amin Dayah Tjut, seorang tokoh Ulama Tiro yang baru pulang dari menunaikan ibadat haji di Mekkah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh. Setelah belajar beberapa tahun di "Dayah Tiro" sehingga mahir bahasa Arab dan menamatkan beberapa macam kitab ilmu pengetahuan, maka dengan izin gurunya Teungku Haji Tjhik Muhammad Amin, pemuda Muhammad yang telah bergelar Teungku di Rangkang (kalau istilah sekarang : Asisten Dosen) melanjutkan studinya ke Mekkah sambil menunaikan rukun Islam kelima ibadat haji. Di Mekkah beliau memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya, seperti sejarah, logika, falsafah, sastra dan sebagainya.
Siapa Teungku Cjhik Pante Kulu ?
Penyair perang terbesar Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu, dilahirkan dalam tahun 1251 h. (1836 m.) di desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, dalam suatu keluarga ulama yang ada hubungan kerabat dengan kelompok ulama Tiro. Setelah belajar AJ Qur-an dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), pemuda Muhammad melanjutkan pelajarannya pada "Dayah Tiro" yang dipimpin oleh Teungku Haji Tjhik Muhammad Amin Dayah Tjut, seorang tokoh Ulama Tiro yang baru pulang dari menunaikan ibadat haji di Mekkah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh. Setelah belajar beberapa tahun di "Dayah Tiro" sehingga mahir bahasa Arab dan menamatkan beberapa macam kitab ilmu pengetahuan, maka dengan izin gurunya Teungku Haji Tjhik Muhammad Amin, pemuda Muhammad yang telah bergelar Teungku di Rangkang (kalau istilah sekarang : Asisten Dosen) melanjutkan studinya ke Mekkah sambil menunaikan rukun Islam kelima ibadat haji. Di Mekkah beliau memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya, seperti sejarah, logika, falsafah, sastra dan sebagainya.
Di samping belajar, beliau mengadakan hubungan dengan Pemimpin-pemimpin gerakan Wahabi yang sedang menghangat juga dengan pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia. Kebangkitan Dunia Islam yang dikumandangkan oleh Gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ulama Besar Muhammad bin Abdul Wahab dan gerakan pembaharuan yang dicanangkan oleh Said Jamaluddin Afganistan, telah meninggalkan pengaruh yang sangat mendalam dalam jiwa Muhammad Pante Kulu yang sudah menanjak dewasa.
Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman Rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka'ab bin Zubair. Syair-syair mereka itu membimbing jiwa pemuda Muhammad, sehingga akhirnya dia menjadi Penyair Perang terbesar dalam sejarah dan namanya diabadikan sebagai penyair Perang.
Di samping membaca kitab syair (diwaanusy-syi'r), juga beliau sangat gemar mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam yang kenamaan, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Chaththab, Hamzah, Usamah bin Zaid, Thariq bin Ziyad dan lain-lainnya. Hal ini akan memberi arah kepada Hikayat Prang Sabi yang akan dikarangnya nanti. Setelah empat tahun bermukim di Mekkah, beliau telah menjadi ulama besar yang berhak memakai gelaran Syekh dipangkal namanya, sehingga jadi Teungku Chik (Guru Besar kalau istilah sekarang).
Pada waktu pecah perang Aceh sebagai akibat agressi Belanda, Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu telah berada di Tanah Suci. Sebagai seorang patriot yang ditempa oleh sejarah hidup pahlawan-pahlawan Islam kenamaan, maka beliau telah bertekad untuk pulang ke Aceh ikut berperang bersama-sama ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin serta rakyat Aceh. Azamnya tidak bisa ditahan-tahan lagi, setelah mendengar salah seorang sahabatnya, Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman telah diserahi tugas oleh kerajaan untuk memimpin perang semesta melawan serdadu-serdadu kolonial Belanda. Kira-kira akhir tahun 1881 M. Teungku Chik Muhammad Pante Kulu meninggalkan Mekkah menuju Tanah Aceh yang bergelar Serambi Mekkah.
Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman Rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka'ab bin Zubair. Syair-syair mereka itu membimbing jiwa pemuda Muhammad, sehingga akhirnya dia menjadi Penyair Perang terbesar dalam sejarah dan namanya diabadikan sebagai penyair Perang.
Di samping membaca kitab syair (diwaanusy-syi'r), juga beliau sangat gemar mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam yang kenamaan, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Chaththab, Hamzah, Usamah bin Zaid, Thariq bin Ziyad dan lain-lainnya. Hal ini akan memberi arah kepada Hikayat Prang Sabi yang akan dikarangnya nanti. Setelah empat tahun bermukim di Mekkah, beliau telah menjadi ulama besar yang berhak memakai gelaran Syekh dipangkal namanya, sehingga jadi Teungku Chik (Guru Besar kalau istilah sekarang).
Pada waktu pecah perang Aceh sebagai akibat agressi Belanda, Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu telah berada di Tanah Suci. Sebagai seorang patriot yang ditempa oleh sejarah hidup pahlawan-pahlawan Islam kenamaan, maka beliau telah bertekad untuk pulang ke Aceh ikut berperang bersama-sama ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin serta rakyat Aceh. Azamnya tidak bisa ditahan-tahan lagi, setelah mendengar salah seorang sahabatnya, Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman telah diserahi tugas oleh kerajaan untuk memimpin perang semesta melawan serdadu-serdadu kolonial Belanda. Kira-kira akhir tahun 1881 M. Teungku Chik Muhammad Pante Kulu meninggalkan Mekkah menuju Tanah Aceh yang bergelar Serambi Mekkah.
Dalam perjalanan pulang, di atas kapal antara Jeddah dengan Penang, beliau berhasil mengarang sebuah karya sastera yang sangat besar nilainya, yaitu Hikayat Prang Sabi, sebagai sumbangsihnya untuk membangkitkan semangat jihat melawan Belanda.Yang mendorong beliau untuk mengarang sajak-riwayat Hikayat Prang Sabi, yaitu kesadaran beliau tentang betapa besar pengaruhnya syair-syair Penyair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kepada kaum Muslimin di zaman Rasul.
Hikayat Prang Sabi yang dikarang Teungku Chik Pante Kulu ini, adalah dalam bentuk puisi yang terdiri dari empat cerita (kissah), yang sekalipun fiktif tetapi berdasarkan sejarah,
Keempat kissah tersebut, yaitu :
Hikayat Prang Sabi yang dikarang Teungku Chik Pante Kulu ini, adalah dalam bentuk puisi yang terdiri dari empat cerita (kissah), yang sekalipun fiktif tetapi berdasarkan sejarah,
Keempat kissah tersebut, yaitu :
1. Kissah Ainul Mardliyah,
2. Kissah Pasukan Gajah,
3. Kissah Sa'id Salmy,
4. Kissah Muhammad Amin. (Budak Mati Hidup Kembali).
Karya sastra yang amat berharga ini sesampainya di Aceh dipersembahkan kepada Teungku Tjhik di Tiro oleh pengarangnya Teungku Tjhik Pante Kulu, dalam suatu upacara khidmat di Kuta Aneuk Galong. Menurut Abdullah Arif, selain dari Hikayat Prang Sabi yang terkenal itu, masih ada lagi karya Teungku Tjhik Pante Kulu, baik dalam bentuk prosa ataupun puisi, baik dalam bahasa Melayu Jawi ataupun dalam bahasa Aceh sendiri, tetapi tidak begitu luas tersiarnya.
Teungku Chik Muhammad Pante Kulu mempunyai dua orang isteri : yang pertama berasal dari kampung Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, sementara isteri yang kedua Tgk. Njak Aisjah berasal dari Kampung Grot, Kecamatan Montasie, Kabupaten Aceh Besar. Dari isteri yang pertama, beliau memperoleh seorang putera yang kemudian ikut serta bertempur sebagai Mujahid di Aceh Besar.
Setelah menyertai Teungku Tjhik di Tiro dalam berbagai medan perang dengan senjata Hikayat Prang Sabi-nya, maka Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu berpulang ke rahmatullah di Lam Leuot, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar dan dimakamkan di sana.
Setelah menyertai Teungku Tjhik di Tiro dalam berbagai medan perang dengan senjata Hikayat Prang Sabi-nya, maka Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu berpulang ke rahmatullah di Lam Leuot, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar dan dimakamkan di sana.
Sumber : meukeutop.blogspot.com