Asal Muasal "Ureung" Aceh

Rupanya, ikhtiar pencarian asal-usul orang Aceh sudah sangat lama dilakukan, jika dibandingkan dengan munculnya perdebatan siapa yang paling Aceh, yang celakanya, adalah klaim pribumi di antara orang Aceh sendiri di pasca perang. Paling tidak, upaya itu sudah dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan Denys Lombard. Hurgronje mencoba menelusuri dalam berbagai sumber tertulis, khususnya dari sajak-sajak kepahlawanan. Walau pada akhirnya, ia berkesimpulan masih belum menemukannya juga.

Orang Mante yang disebut-sebut oleh para informan sebagai manusia pertama di Aceh, ternyata mereka hanya ada dalam kisah-kisah lisan orang Aceh saja. Meski pun, bukan berarti mereka tidak ada. Namun, apa yang telah dilakukan oleh Hurgronje tetap saja memberikan pada kita sebuah gambaran yang samar-samar tentang asal-usul orang Aceh.

Lombard mendapat sumber lain, yakni mitos tentang asal-usul orang Aceh dari keturunan Imael dan Hagar. Kisah lainnya, berasal dari keturunan pangeran  Campa yang terusir oleh kekuatan politik dari Vietnam, yang mencari perlindungan ke Aceh.  Apalagi menurut Cowan, ada kemiripan antara budaya Campa dan Aceh dalam hal persajakan.

Hal itu ada benarnya jika dipertimbangkan temuan Graham Thurgood tentang adanya relasi antara bahasa Aceh dengan rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh termasuk ke dalam kelompok Chamic bersama dengan bahasa bangsa-bangsa di wilayah Indocina.

Kalau bahasa Melayu bersama bahasa Tamiang, Minangkabau masuk kelompok Malayic. Sedangkan bahasa Karo-Batak, termasuk kelompok Batak bersama bahasa Alas dan Kluet. Sedangkan Gayo tersendiri (yang masih dalam pertanyaan Thurgood), tapi menurut Giulio Soravia yang meneliti bahasa Alas bahwa sangat dekat hubungannya dengan bahasa Gayo dan Karo-Batak. Kesemua itu termasuk dalam Malayo-Polynesia Barat.

Penjelasan Thurgood itu menimbulkan pertanyaan, mengapa justru bahasa Melayu yang menjadi utama dalam komunikasi, bukannya bahasa Aceh itu sendiri? Jelas, bahasa Melayu sebagai lingua franca Dunia Melayu –yang termasuk Aceh di dalamnya. Artinya, untuk kepentingan komunikasi yang lebih luas (kosmopolit) antara orang Aceh dengan orang bukan Aceh. Lalu, dalam lingkungan Aceh sendiri dipakai sebagai media penulisan, pendidikan dan seterusnya. Jika kita mempertimbangkan fenomena ini, maka Aceh pada saat itu berada di dalam Dunia Melayu, bersama berbagai bangsa lainnya. Terlihat, cara pandang orang Aceh pun sudah keluar, kosmopolit (maka butuh bahasa Melayu), bukannya ke dalam, domestik (yang cukup dengan bahasa Aceh).

Kembali ke soal asal-usul orang Aceh, jika kita mempertimbangkan sejarah yang terkait dengan; dan bahasa (dan budaya) Aceh yang serumpun dengan Indocina,  maka unsur utama orang Aceh adalah dari Indoncina. Sementara budaya dan dinamika politik di kawasan itu, dalam periode tertentu menurut Groslier, pernah sangat dipengaruhi oleh Cina dan India secara paralel. Bila Cina dengan jalan penaklukan, maka India dengan jalan non-kekerasan. Dan, perjalanan Karl May juga telah menjelaskan bahwa hingga akhir abad 19, ada komunitas Kong Hu Cu dan rumah ibadatnya di pedalaman Aceh.

Hal yang agak pasti, Aceh terbentuk secara politik, maka sebutan orang Aceh, sejalan dengan kemunculan Kesultanan Aceh itu sendiri, yakni sekitar pertengahan abad 16. Karena Ali Mughayat Syah baru menundukkan Samudra Pasai pada 1524. Artinya, Aceh sebagai teritorial belum sempurna, dan juga berarti Aceh sebagai bangsa belum muncul.

Pertama kali, Hurgronje berpedoman dari pendapat Tgk Chik Kutakarang yang menyatakan orang Aceh berasal dari Arab, Persia (Iran) dan Turki. Definisi itu disampaikan oleh Teungku, baik secara lisan maupun di dalam pamflet-pamflet politiknya, yang barangkali Hikayat Perang Sabilnya. Dan, hingga kini pun kita sangat mengenal Aceh merupakan akronim dari Arab, Cina, Eropa dan Hindu (India).

Mungkin pula, apa yang disampaikan oleh Tgk Chik Kutakarang mewakili gambaran tentang asal-usul elite Aceh, bukan untuk lapisan sosial bawah. Apalagi, menurut penglihatan Hurgronje bahwa keluarga terkemuka, para aulia, para ahli hukum, saudagar besar, syahbandar, penulis, orang kepercayaan raja, bahkan raja-rajanya sendiri sebagian besar, kalau bukan semua, adalah berasal dari keturunan asing.

Sedangkan untuk lapisan bawah, barangkali unsur Melayu yang tidak begitu dirincikan lebih lanjut oleh Hurgronje. Mereka terkait dengan sistem perbudakan yang berlaku di Aceh pada periode itu. Orang Aceh lapis bawah terdiri dari unsur Nias, Batak, Cina dan Abesinia (Ethiopia). Baru pada generasi berikutnya –setelah menjadi manusia bebas dan perkawinan silang, mereka  dapat dikatakan sebagai orang Aceh.

Budak asal Nias (Nieh) dianggap lebih baik daripada Batak. Sedangkan, budak Cina melambangkan tingkat sosial yang tinggi tuannya karena mereka berkedudukan sebagai gundik. Sedangkan budak Abesinia (Abeusi) menjelaskan bahwa tuannya telah pergi ke Mekkah. Relasi perbudakan menjelaskan status sosial.

Untuk hal asal-usul strata bawah ini perlu adanya pengkajian yang lebih lanjut lagi, terutama tentang sejarah strata sosial yang disebut Lamiet. Sebab, jika merujuk pada Takeshi Ito, budak-budak itu ada juga yang didatangkan (impor) dari Bengal, Kalinga dan pantai Coromandel. Mereka adalah bagian dari sistem perdagangan barter. Kesultanan Aceh, khususnya di masa Iskandar Muda, mengekspor gajah dan mengimpor budak.

Unsur Melayu dari Bugis dan Jawa sangat sedikit disinggung. Untuk unsur Jawa telah ada dalam Hikayat Aceh. Pertama, kita bisa mempertimbangkan kehadiran orang Jawa dalam acara Sultan Zainal Abidin: “Dan menjuruh Djawa bermain tombak dan bermain wajang dan gender dan orang bertandak dan mengigal dan netiasa menjuruh orang bernjanji dan berharbab dan ketjapi dan berbangsi dan serba bagai permainan.” Kedua, dari keberadaan Kampung Jawa: “Maka Pantjagahpun bangkit dengan segala angkatan itu lalu ilir* ke Kampung Djawa jang bernama Bandar Ma’mur itu.”

Akronim Aceh itu, kalau dilihat dari asal-usul nama Aceh tentunya tidak dapat dibenarkan, tapi dapat dipakai sebagai acuan untuk menemukan unsur-unsur darah asing di Aceh. Hindu, atau India, lebih tepat lagi Kling, merupakan salah satu unsur darah orang Aceh. Bahkan Kleng menjadi simbol karakter sosial yang mana individu itu adalah ureueng meudagang (orang asing, orang yang mobilitasnya tinggi). Lombard mengatakan di Aceh ada evolusi dari pengaruh Hinduisasi menjadi Indianisasi.

Hal ini bisa kita rujuk pada artikel Y. Subbarayalu tentang penemuan prasasti tahun 1088 M di Barus. Prasasti bertulisan bahasa Tamil itu sama dengan tulisan pada prasasti abad 11-12 M dari Dinasti Cola di Tamil Nadu. Hal ini mengingatkan kita pada Perang Cola I (1030) di masa Lamuri  (900-1513).

Prasasti menyebutkan istilah komunitas “seribu lima ratus”, yang berasal dari India Selatan. Istilah senada kita kenal dalam katagori sosial yang muncul di masa Kesultanan Aceh, yakni kawom Lhee Reutoih, yang merupakan salah satu dari empat komunitas yang ada pada masa kesultanan dalam periode itu.

Prasasti itu juga memberikan penjelasan bahwa Barus telah menjadi pusat perdagangan antar bangsa, dan telah terbentuk koloni Tamil yang bermukim secara permanen dan semi permanen. Hal ini sejalan dengan teori Groslier tentang penyebaran pengaruh India melalui perdagangan. Pengaruh ini di Aceh, sejalan dengan penamaan perkampungan di masa kesultanan, seperti kampung Jawa, kampung Pande, dan lainnya di seputar ibukota yang berevolusi ke arah spesialisasi menurut profesi pemukimnya.

Bagaimana dengan unsur Eropa dan Arab dalam darah orang Aceh? Untuk unsur Eropa, orang sering merujuk pada keturunan Portugis di Lamno. Selebihnya gelap, atau mungkin hanya kasus-kasus invidual yang merupakan tawanan perang yang dapat pembebasan setelah masuk Islam dan melakukan perkawinan dengan pribumi.

Perihal unsur Arab, sekalipun belum dibahas, orang telah berkesimpulan pasti ada dalam darah orang Aceh. Van den Berg, ketika mengkaji tentang Orang Arab di Nusantara dan diterbitkan pertama kalinya pada 1886, hanya sedikit menyinggung tentang orang Arab di Aceh. 

Hal yang pasti sejak muncul hubungan dengan dunia atas angin di abad pertengahan, maka Aceh menjadi tempat perhentian pertama pelayaran orang Arab asal Hadramaut ke Nusantara. Rute mereka dari al-Mokalla atau asy-Syihr, Bombay, Ceylon, Aceh, Palembang, Pontianak dan Semenanjung Malaka (khususnya Singapore). Namun di Aceh, mereka tidak membentuk koloni, melankan menyebar ke seluruh Aceh. Lain halnya dengan di tempat lain, seperti di Palembang yang terbentuk koloni Arab yang besar.

Pengaruh Arab dalam politik Aceh sangatlah besar. Namun, sebelum kemunculan Habib Abd ar-Rahman bin Muhammad az-Zahir yang masuk ke Aceh dari Malaka pada 1864 dan keluar pada 1878, maka jarang ditemukan tokoh penting yang dari namanya berasal dari Hadramaut. Kata Berg, orang Arab di Aceh tidaklah sebagaimana kegemaran di lain tempat yang jarang menggunakan gelar Habib. Di tempat lain, mereka sering menyebut dirinya sebagai sayid yang menjelaskan keturunan dari al-Husain, atau syarif untuk menunjukkan sebagai keturunan cucu Nabi Saw dari al-Hasan.

Kalaulah demikian kisah-kisah yang dapat ditemukan tentang asal-usul orang Aceh, maka barangkali kita bisa mengatakan, bahwa manusia Aceh adalah polietnis yang terdiri dari para imigran yang datang bergelombang waktu ke daratan yang kemudian disebut Aceh. Jadi Aceh adalah kawasan melting pot, yang dihuni oleh manusia Kreol yang karena sudah berbilang waktu menjadi manusia hibrida, yang dengan sendirinya mengkonstruksi budaya hibrida.

Begitulah, bahwa orang Aceh bukanlah dikonstruksi oleh satu ras maupun etnis, karena mereka dikonstruksi oleh kekuatan politik yang muncul dari kesadaran politik para manusia kreol abad 16-17 untuk menata para pemukim menjadi sebuah warga bangsa. Sedangkan dalam konteks politik kekiniannya, maka orang Aceh adalah sebuah bangsa multikultural yang tanpa negara. 

Penulis oleh Otto Syamsuddin Ishak, Modus Aceh.
Sumber : Atjehcyber.net