Alahai do ku do da idi
Meurah pati ateuëh awan
Beuridjang rajeuk banta saidi
Djak prang sabi bila agama
SENANDUNG lagu merdu berbahasa asli Aceh itu sudah jarang terdengar di rumah-rumah ketika seorang ibu meninabobokan anaknya di ayunan. Tidak seperti puluhan tahun lalu, ketika budaya bersenandung itu masih kental dan seakan menjadi kewajiban bagi para ibu.
Ninabobo warisan endatu itu hanya masih bisa didengar di kampung-kampung terpencil, tempat orang-orang masih menjaga kelestarian peradaban yang dijunjung tinggi orang tempo dulu. Di sana, ketika ayah sibuk bekerja di ladang dan sawah, ibu mengguncang ayunan sambil bersenandung mengantar buah hati ke dunia mimpi.
Di kampung-kampung ibu mengajarkan dan meminta anak gadis menghafal senandung itu, sebagai bekal kelak ketika mereka bersuami dan punya anak. Ibu-ibu itu berharap do da idi yang diajarkan kepada anak-anak lestari sepanjang zaman.
Realita kemudian terbalik ketika berbicara tentang perempuan di kota. Sudah banyak perempuan Aceh lupa pada senandung itu ketika status mereka berubah dari gadis menjadi ibu. Lihatlah…! Mereka mengayun anak dengan tangan kanan sambil memainkan remote control televisi di tangan kiri, menyaksikan tayanganinfotainment berisi gosip-gosip hangat.
Di kota, ibu-ibu hanya menjaga agar anaknya tertidur lelap dan aman dari nyamuk. Maka, mereka menyetel instrumen saxophone untuk mengantar anaknya dalam mimpi. Katanya, mengikuti anjuran dokter bahwa musik soft seperti itu bisa merangsang otak bayi. Mereka lupa, bahwa ada senandung kuno do da idi yang punya efek lebih dahsyat untuk mental buah hatinya.
Lirik dalam do da idi mendidik mental buah hati kita untuk mengenal agama, Tuhan dan patriotisme perjuangan sejak dini. Mengajarkan agar anak-anak kita kelak tidak menjadi sosok yang rapuh. Lirik di dalamnya juga mengandung doa-doa, agar anak-anak jadi orang berguna.
Maka ingatlah betapa mulia ibu-ibu kita dulu. Meski mereka dianggap kolot dan kampungan, mereka lebih hebat ketimbang ibu-ibu zaman sekarang, yang membawa modernisasi dan gaya hidup salah hingga ke ayunan anaknya. [Sumber]