Perubahan Atjeh, Istimewa, NAD, dan Aceh


AcehHakikat dari kehidupan adalah perubahan, begitupula dengan produk hukum buatan manusia yang terus mencari titik kesempurnaan. Dalam konteks politik hukum di Aceh perubahan ini telah terekam dalam beberapa produk hukum yang pernah berlaku dan yang masih berlaku yaitu melalui UU No. 24 tahun 1956, UU No. 44 tahun 1999, UU No. 18 tahun 2001, dan UU No. 11 tahun 2006 (UUPA). Dari keempat undang-undang ini nama provinsi selalu berubah dari Atjeh, Istimewa, NAD, dan Aceh.
A. Tinjauan Historis
Lintas sejarah penggunaan nama Aceh dapat kita kaji secara historis maupun yuridis dalam beberapa undang-undang, karena dalam perjalanan historisnya Aceh telah mengalami beberapa kali perubahan nama diantaranya, Atjeh, Daerah Istimewa Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan Aceh. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa undang-undang yang pernah dan yang masih berlaku. Pertama, UU No. 24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara. Undang-undang ini selalu dijadikan sebagai dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan (konsideran mengingat) yang berkaitan dengan Aceh. Walaupun berada dalam satu undang-undang tetapi antara Aceh dan Sumut merupakan daerah otonom yang terpisah, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Kedua, UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang ini menegaskan bahwa Keistimewaan merupakan pengakuan bangasa Indonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan yang meliputi empat bidang yaitu, penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Keempat bidang ini merupakan mengejewantahan dari salah satu hadih maja yang menjadi pegangan hidup masyarakat Aceh “adat bak poteumeureuhom, hukom bak syah kuala, qanun bak putro phang, reusam bak laksamana”.
Ketiga, UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Undang-undang ini lahir seiring perubahan penerapan asas penyelenggaraan pemerintahan Indonesia yang sebelumnya menganut asas sentralisasi menjadi desentralisasi. Asas sentralisasi merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan dimana segala sesuatu langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedangkan asas desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah, sehingga Aceh diberikan otonomi khusus untuk menjalankan rumah tangganya sendiri.
Keempat, dalam perjalanannya UU NAD dirasa belum mampu memberikan kedilan bagi masyarakat dimana konflik bersenjata antara RI dan GAM terus berlangsung yang banyak menelan korban jiwa. Konflik yang telah berlangsung cukup lama berakhir dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 atau yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki. Tahap ini merupakan tahap awal untuk mewujudkan perdamaian yang abadi di Aceh. Dimasa perdamaian inilah lahir UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan mencabut UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sehingga berubahlah nama provinsi NAD menjadi provinsi Aceh. Perjalanan historis ini telah melewati beberapa dekade yang dimulai sejak orde lama, orde baru, orde reformasi, pra konflik, dan pasca konflik (nama ini terus berubah, Atjeh, Istimewa, NAD, dan Aceh).
B. Tinjauan Yuridis
Setelah melihat latar belakang historis sebelumya, perbedaan yang menarik dari keempat undang-undang diatas adalah pemakaian nama Aceh dalam UUPA. Hal ini disebabkan karena penggunaan nama Aceh dalam UUPA masih memerlukan perturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan dalam undang-undang sebelumnya tidak disebutkan harus melalui PP. Secara normatif hal ini dapat kita kaji dalam Pasal 251 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUPA, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 251
(1) Nama Aceh sebagai daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan gelar pejabat pemerintahan yang dipilih akan ditentukan oleh DPRA setelah pemilihan umum tahun 2009.
(2) Sebelum ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tetap digunakan sebagai nama provinsi.
(3) Nama dan gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan usul dari DPRA dan Gubernur Aceh.
Dalam rumusan Pasal 251 tersebut menegaskan bahwa nama Aceh dan gelar pejabat pemerintahan ditetapkan melalui PP, namun dalam perjalanannya sungguhpun PP belum diterbitkan oleh pemerintah pusat nama ini telah diakui dengan sendirinya (de facto) baik ditingkat pusat maupun daerah. Penggunaan nama Aceh berawal dengan lahirnya Pergub No. 46 tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh.
Semangat lahirnya Pergub No. 46 tahun 2009 adalah sebagai langkah awal mensosialisasikan istilah yang telah digunakan dalam UUPA kepada masyarakat. Dalam perjalanannya sosialisasi ini mendapat sambutan yang positif dari pemerintah pusat, salahsatunya dapat penulis kutip dari Surat Edaran Menteri Keuangan No. SE-266/MK.1/2011, dalam butir ke 1 disebutkan “bahwa berdasarkan ketentuan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh No. 46 tahun 2009 tentang Penggunaan sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh, penyebutan Nanggroe Aceh Darussalam sudah tidak diperlukan lagi dan berubah menjadi Aceh”. Secara eksplisit dapat kita lihat bahwa landasan yuridis diterbitkankannya surat edaran ini adalah UUPA dan Pergub No. 46 tahun 2009. Hal ini juga terlihat dari beberapa kantor wilaxyah (instansi vertikal) yang ada di Banda Aceh, dimana telah menggunakan nomenklatur Aceh sebagai nama kantor wilahnya seperti, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Aceh, Kanwil BPK Aceh, Kejati Aceh, dan Polda Aceh, hal ini juga dapat kita lihat dalam surat-surat menteri yang ditujukan kepada gubernur secara tegas menyebutkan “Gubernur Aceh” bukan “Gubernur NAD”.
Dari segi efiensi hukum hal ini menunjukkan suatu terobosan yang positif, artinya untuk merumuskan nama Aceh tidak perlu pemerintah pusat, gubernur, dan DPRA mengeluarkan energi yang telalu banyak untuk menetapkan nama Aceh melalui PP, toh dalam praktik tidak menimbulkan adanya persoalan. Hanya tinggal bagaimana nantinya pemerintah pusat berkonsentrasi merumuskan beberapa RPP dan RPerpres yang belum diselesaikan sebagaimana amanah dari UUPA. Harus kita akui bersama bahwa dalam enam tahun perjalanan UUPA (2006-2012) masih banyak pekerjaan rumah pemerintah pusat yang belum memenuhi semangat dari UUPA, hal ini tercermin dari 13 PP dan 3 Perpres hanya lima peraturan yang dapat diselesaikan (3 PP dan 2 Perpres), padahal ketentuan pelaksanaan UUPA yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak UUPA ini diundangkan, namun sampai saat ini peraturan pelaksana tersebut belum mampu diselesaikan oleh pemerintah pusat meskipun batas waktu dua tahun telah terlewati. Maka dari itu penuangan nama Aceh dalam Pergub merupakan langkah yang tepat dari aspek kemanfaatan dan kedayagunaan hukum. [Sumber]