Ikan Keumamah, Tradisi Makan Para Pejuang

Ikan Keumamah (foto : dinomarket.com)
PEKARANGAN rumah Nuraini (32), di Desa Lampulo, Aceh Besar, tidak dirindangi pohon-pohon. Namun lebih dihiasi dengan jemuran ikan kayu di halaman rumahnya. Dan dari atas para-para bambu, Nuraini sibuk mengumpulkan ikan tongkol yang sudah tercincang dan mengering akibat sinar matahari, sejak dua hari lalu.
 
“Ikan yang sudah dijemur ini yang disebutkan ikan kayu,” ujar Nuraini.
 
Ikan kayu, dalam bahasa Aceh disebut eungkot keumamah, yang berarti ikan tongkol yang diiris kecil-kecil seukuran dua jari sebelum dijemur. Pengeringan secara alami ini dapat dilakukan selama seminggu atau lebih agar ikan kaku dan kenyal. Agar lebih tahan lama, keumamah dilumuri tepung tapioka atau digoreng.
 
“Ikan ini nanti dikasih tepung tapioka, sehingga ikan ini bisa jadi awet lagi. Setelah sampai setahun pun kita simpan, ikan ini bisa dijemur lagi,” tambahnya.
 
Keumamah adalah makanan khas Aceh yang dapat dimakan langsung. Tapi agar lebih nikmat, sebaiknya dimasak atau digoreng terlebuih dahulu untuk kemudian dijadikan lauk nasi.
 
Membuatnya pun tidak sulit. Cukup bersihkan ikan tongkol, lalu rebus bersama daun belimbing atau daun nangka dalam kuali besar. Dedaunan tersebut akan menimbulkan keharuman tersendiri. Setelah masak, buang kepala ikan. Tapi sebelum dijemur, perciki dulu ikan dengan minyak goreng agar daging tidak terpecah. Sinar matahari dapat membuatnya cepat kering, tidak berbau, dan akan membuat tulangnya empuk dan dapat dimakan, seperti ikan sarden.
 
Memasak keumamah sendiri terbagi atas 2 pola, yaitu keumamah tumeh (tumis) dan keumamah leumak (lemak). Keduanya tidak saja menghasilkan perbedaan rasa, tetapi juga perbedaan tingkat ketahanan atau keawetan.
 
Di Banda Aceh, banyak warung yang menjual makanan khas ini, salah satunya Rumah Makan Spesifik Aceh, yang berada di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Peunayong, Banda Aceh.
 
Menurut Ihsan, koki sekaligus pengelola rumah makan tersebut, tak ada yang spesial dari bumbu keumamah tumis. Bahan dasar yang dipergunakan hanya empat, yakni minyak goring, bawang merah, cabai hijau dan sedikit cengkeh. Sedangkan rasa pedas dan asam manis dihasilkan dari bumbu yang merupakan hasil campuran garam, jeruk nipis, asam sunti, cabai rawit serta kunyit.
 
“Mudah kok memasaknya,” tutur Ihsan yang menjual 1 porsi keumamah tumis seharga Rp10 ribu.
 
Sebelum ditumis, kata Ihsan, campur bumbu terlebih dahulu dengan ikan kayu yang telah dibersihkan dari tepung. Setelah diaduk hingga bumbu meresap, baru tumis ikan dengan bumbu selama 10 menit. Dan keumamah siap disajikan.
 
Karena bisa bertahan 2 hari tanpa dipanaskan, keumamah tumis dapat dijadikan buah tangan. Sejarah makanan ini juga terkait dengan daya tahan yang dimiliki keumamah. Karena mampu bertahan lama, kuliner ini menjadi logistik khusus pasukan Aceh saat berperang melawan Belanda 6 abad silam. Keumamah menjadi pengganjal perut pejuang yang bergerilya dari satu lokasi ke lokasi lain.
 
“Ikan kayu adalah logistik yang penting bagi orang Aceh saat perang Aceh dulu,” ujar Nuraini berdasarkan cerita-cerita dari orangtuanya.
 
Di samping itu, keumamah lemak juga sudah lama dikenal di Aceh. Serupa dengan keumamah tumis, kekuatan menu ini terletak pada santan. Meracik kuah ini juga tidak rumit. Bahan dasarnya lebih didominasi oleh sayuran, seperti kunyit, cabai hijau, dan jagung setengah matang yang sudah dipotong sebesar 3 cm. Setelah itu barulah ikan kayu dicampur ke dalam kuah khas Aceh ini.
 
Keumamah lemak banyak tersebar di rumah-rumah makan di bumi Serambi Makkah. Namun demikian, ada sentuhan berbeda yang dilakukan oleh Rumah Makan Spesifik Aceh dibanding rumah makan lain. Karena keumamah lemak dicampur dengan telur bebek. Setelah dicampur ke dalam kuah, agar tak pecah, telur bebek tidak lagi diaduk. Telur bebek hanya dicelup ke dalam kuah selama 5-7 menit. Keumamah lemak pun siap disajikan.
 
Berbeda dengan keumamah tumis, keumamah lemak tidak memiliki tingkat keawetan. Makanan yang dihargai Rp15 ribu per porsi ini hanya mampu bertahan 1 hari saja. (okefood.com)