Pidie Jaya, ya begitulah nama kabupaten baru pecahan dari Pidie yang Ibukotanya Meureudu. Jika sudah mendengar Meureudu yang terbayang pasti oleh-oleh Adee, jajanan khas dari salah satu kabupaten di Aceh yang begitu sarat dengan berbagai sejarah religi.
Kali ini perjalanan kita bukan urusan kuliner, tapi melihat salah satu desa di kabupaten yang mempunyai luas 1.162,84 km persegi. Buat Anda yang sering melewati lintas jalan Banda Aceh – Medan, pasti sudah lazim dengan daerah tersebut, daerah yang memang masih terbilang pusat keramaian, apalagi kalau bukan Beuracan.
Asal Usul Masjid Beuracan
Di desa Beuracan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Meureudu ini terdapat sebuah masjid tua, tepatnya di sisi jalan raya. Karena berada tepat dipusat keramaian, masjid ini sangat mudah dijangkau oleh masyarakat baik dengan menggunakan kendaraan darat atau jalan kaki sekali pun.
Konon masjid tua tersebut sering disapa warga sekitar dengan nama masjid Beuracan, namun ada juga yang mengenalnya dengan julukan masjid Guci Keuramat, karena disalah satu sisi masjid ini terdapat sebuah guci peninggalan rumpong yang sarat akan sejarahnya.
Masjid Beurcana dibangun di atas tanah seluas 40 x 40 meter dengan status tanah wakaf. Pembangunan masjid Beuracan pada awalnya dipelopori oleh Tgk. Abdussalim atau lebih dikenal juga dengan sebtuan Tgk. Dipucok Krueng alias Tgk. Dipasi.
Dulunya ada 4 masjid yang dibangun oleh Tgk. Abdussalim ini, yaitu di Meureudu terdapat tiga masjid termasuk masjid Beuracan, masjid Batei dan masjid Madinah sedangkan satu lagi berada di Lampoh Saka Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie, dimana disana juga terdapat guci rumpong yang memiliki sejarah panjang.
Menurut informasi keberadaan masjid Beuracan yang dibangung oleh Tgk. Abdussalim berdiri pada tahun 1626 M, atau lebih tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada masa memerintah Kerajaan Aceh Darussalam.
Sosok Tgk. Abdussalim sendiri merupakan salah satu ulama yang berasal tanah Arab. Oleh karena itu, ia kemudian membangun masjid sebagai pusat pengajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya. Di samping itu, ia juga membuka lahan persawahan seluas 50 ha dan tanah perkebunan di lingkungan masjid seluas 6 ha, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan masjid.
Tgk. Abdussalim datang ke negeri Meureudu melalui selat Malaka bersama-sama dengan kerabatnya Tgk. Japakeh dan Malim Dagang.
Tgk. Abdussalim tinggal menetap di Pucok Krueng sehingga ia dikenal dengan nama sebutan Tgk Chik di Pocut Krueng. Tgk. Japakeh menetap di Desa Meunasah Raya dan Malim Dagang menetap di Desa Manyang Cut.
Gaya Arsitektur Tumpang
Masjid Beuracan memiliki atas bertumpang 3 dari bahan seng dan berdinding kayu dengan ukiran dekoratif motif Aceh serta sulur-suluran.
Dinding saat ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Muskala pada tahun 1990. Pada luar dinding juga terdapat teras yang dipisahkan oleh dinding tembok setinggii 95 cm dan tebal 26 cm. Pada bagian depan atap teras terdapat ukiran sulur-suluran dengan kombinasi berbagai warna.
Masjid tersebut ditopang oleh 16 buah tiang sebagai soko guru yang berdiameter 52 cm yang menopang atap bagian atas. Masing-masing tiang tersebut berbentuk segi delapan dan satu buah tiang di antaranya telah diganti dengan bentuk yang sama.
Selain tiang soko guru masih terdapat 4 buah tiang gantung yang turut menopang atap bagian atas. Dan lantainya terbuat dari semen ditambah gapu dan manisan. Sejak pemugaran yang dilakukan tahun 1947, 1952 dan 1990, maka masjid tersebut telah diberi langit-langit dari papan.
Lantai masjid terbuat dari semen dan bata. Pola hias berupa tumpal, sulur-suluran dan hiasan bunga juga terlihat pada balok pengikat antara tiang soko guru dengan tiang gantung.
Di bagian luar bangunan masjid terdapat sebuah guci Siam yang sebagian badannya tertanam di dalam tanah sehingga yang nampak pada permukaan ialah bagian leher dan mulut guci
Pada sisi barat bangunan inti terdapat bagian yang menjorok keluar ynag difungsikan sebagai mihrab. Di dalamnya terdapat sebuah mimbar dari tembok semen dengan cat putih dan atap dari tirap/kayu dengan pola hias sulur-suluran dan bunga.
Unsur lain yang masih tersisa ialah adanya sebuah bedug yang terbuat dari kulit sapi dan batang pohon lontar. Menurut seorang informan bahwa kulit sapi yang digunakan bedug ini dan rotan yang digunakan sebagai pengikat telah diganti. Adapun ukuran bedug itu adalah panjang 142 cm, diameter bagian atas 75 cm, diameter badan 67 cm, dan diameter dasar 51 cm.
Dan diluar bangunan juga terdapat sebuah sumur yang cincin sumurnya terbuat dari batu sungai.
Ada satu lagi peningalan lain yang tidak kalah penting dari masjid Beuracan ini, yakni sebuah tongkat yang seusia dengan bangunan masjid ini. Tongkat tersebut terbuat dari rotan, bagian atas terbuat dari kuningan dan bagian bawah terbuat dari besi yang bentuknya menyerupai linggis dengan ukuran panjang 163 cm.
Di bagian luar bangunan masjid terdapat sebuah guci Siam yang sebagian badannya tertanam di dalam tanah sehingga yang nampak pada permukaan ialah bagian leher dan mulut guci. Guci ini masih dikeramatkan sehingga diberi pembatas dari kain dan kain penutup seluruh bagian badan guci. Adapun ukuran guci diameter mulut 35 cm, diameter badan 80 cm, kedalaman/tinggi 92 cm.
Dan uniknya air di dalam guci tidak boleh diambil langsung oleh kaum hawa (perempuan) karena kadang dalam keadaan berhalangan kata Tgk. H. Muhammad Usman, Bileu (petugas) masjid, mantan Kakandep Dipgub Kecamatan Bandar Dua.
Masjid Beuracan pernah dipugar oleh masyarakat pada tahun 1947 dengan memperindah bangunan tanpa merubah bentuk semula, hanya menambah dinding bagian belakang (sisi barat). Kemudian pada tahun 1990 dipugar kembali oleh Muskala Kanwil Depdikbud Prop. DI Aceh dengan penambahan dinding seluruh bagian masjid dan mengganti tiang-tiang serta atap yang rusak.
Bagaimana tertarik untuk bertandang ke Pidie Jaya, sembari membeli oleh-oleh Adee jangan lupa singgah dulu ke Masjid Beuracan untuk melepas lelah dan beribadah sambil menikmati peninggalan religi yang berumur ratusan tahun lalu.