AL MALIK ASH-SHÂLIH atau lebih dikenal Sultan Malikussaleh wafat pada tahun 696 hijriah (1297 Masehi). Nama raja besar Kerajaan Islam Sameudera Pasai ini telah banyak diabadikan untuk nama-nama lembaga pendidikan atau lainnya. Bagaimanakah sosok Al-Malik Ash-Shâlih?
Makam Al-Malik Ash-Shâlih atau Al-Malikush-shâlih berada di Gampong Beuringen, Samudera, Aceh Utara. Menurut peneliti sejarah kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad, dari sisi struktur materilnya: bahan baku, ornamen, relief, kaligrafi dan pilihan ayat-ayat Al-Qur'an yang diukir, nisan tersebut memiliki kecenderungan cita rasa seni Islam di era kesultanan Aceh Darussalam. Yaitu, seni yang memunculkan suatu asimilasi budaya masyarakat pra-Islam di utara Sumatera dengan nilai-nilai Islam yang universal.
Itu sebabnya, kata Taqiyuddin Muhammad, dapat dipastikan bahwa pada masa pemahatan nisan ini dan jauh sebelumnya, Al-Malik Ash-Shâlih adalah sosok sangat dikenal. Sejarah hidupnya dikenang dan diteladani. Semangat yang dikembangkannya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya.
Seperti terlihat jelas pada kepribadian Sultan 'Ali ibn Syams ibn Munawwar Al-Makhshûsh bi Mughâyati-Llâh atau lebih dikenal Sultan 'Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M), pelopor kebangkitan Aceh Darussalam. Catatan pada nisannya di komplek Kandang XII, Keraton Kuta Raja, menunjukkan bahwa ia juga sosok yang punya kemiripan besar dengan Al-Malik Ash-Shâlih.
Menurut Taqiyuddin Muhammad, pada makam Al-Malik Ash-Shâlih, terdapat inskripsi di sisi muka nisan sebelah kaki atau selatan, yang teksnya:
Seperti terlihat jelas pada kepribadian Sultan 'Ali ibn Syams ibn Munawwar Al-Makhshûsh bi Mughâyati-Llâh atau lebih dikenal Sultan 'Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M), pelopor kebangkitan Aceh Darussalam. Catatan pada nisannya di komplek Kandang XII, Keraton Kuta Raja, menunjukkan bahwa ia juga sosok yang punya kemiripan besar dengan Al-Malik Ash-Shâlih.
Menurut Taqiyuddin Muhammad, pada makam Al-Malik Ash-Shâlih, terdapat inskripsi di sisi muka nisan sebelah kaki atau selatan, yang teksnya:
"Hâdza al-qabrul al-marhûm al-maghfûr at-taqiy an-nâshih al-hasîb an-nasîb al-karîm al-'âbid al-fâtih al-mulaqqab sulthân Malik ash-Shâlih alladzî intaqala min syahr Ramadhân sanata sitt wa tis'îna wa sittumi'ah min intiqal an-nabawiyyah saqa Allâhu tsarâhu wa ja'ala al-jannata matswâhu—lâ ilâha illa-Llâhu Muhammad rasulullâh."
(Inilah kubur orang yang dirahmati lagi diampuni, orang yang bertaqwa (takut kepada murka dan azab Allah) lagi pemberi nasehat, orang yang berasal dari keluarga terhormat dan dari silsilah keturunan terkenal lagi pemurah (penyantun), orang yang kuat beribadah ('abid) lagi pembebas, orang yang digelar [dengan] Sultan [Al-]Mâlik Ash-Shalih, yang berpindah [ke rahmatullah] dari bulan Ramadhan tahun 696 dari hijrah Nabi [saw.]. Semoga Allah menyiramkan [rahmat-Nya] ke atas pusaranya serta menjadikan syurga tempat kediamannya. Tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah).
Taqiyuddin menyebutkan, kedua kata: al-marhûm dan al-maghfûr adalah pengakuan awal bahwa Allah-lah Yang Maha Mengetahui segalanya. Bagaimanapun tingginya seseorang dalam pandangan manusia, ia tetap hamba Allah yang tidak terlepas dari silap dan salah. Maka siapa pun hamba Allah pantas untuk didoakan semoga Allah Mengampuni dan Merahmatinya.
at-taqiy an-nâshih (orang yang takut kepada murka dan azab Allah, lagi pemberi nasehat) adalah dua kata yang berpasangan secara serasi. Kata kedua, an-nâshih, lahir dalam ingatan segera setelah kata pertama, at-taqiy. Bila ungkapan ini disederhanakan, menurut Taqiyuddin, maka lebih kurang bermakna: “ia bukan hanya orang yang baik tapi juga orang yang menginginkan kebaikan bagi orang lain”.
Taqiyuddin menyebutkan, kedua kata: al-marhûm dan al-maghfûr adalah pengakuan awal bahwa Allah-lah Yang Maha Mengetahui segalanya. Bagaimanapun tingginya seseorang dalam pandangan manusia, ia tetap hamba Allah yang tidak terlepas dari silap dan salah. Maka siapa pun hamba Allah pantas untuk didoakan semoga Allah Mengampuni dan Merahmatinya.
at-taqiy an-nâshih (orang yang takut kepada murka dan azab Allah, lagi pemberi nasehat) adalah dua kata yang berpasangan secara serasi. Kata kedua, an-nâshih, lahir dalam ingatan segera setelah kata pertama, at-taqiy. Bila ungkapan ini disederhanakan, menurut Taqiyuddin, maka lebih kurang bermakna: “ia bukan hanya orang yang baik tapi juga orang yang menginginkan kebaikan bagi orang lain”.
An-Nâshih, pemberi nasehat. Menurut Taqiyuddin, ini adalah pola pandang sekaligus metoda. Kekerasan bukanlah pilihan awal dan akhir. Arahan Nabi saw., sampaikanlah olehmu berita menggembirakan [tentang rahmat dan petunjuk Allah], dan jangan kamu menjauhkan mereka [dari rahmat dan petunjuk-Nya], senantiasa dicamkan oleh Al-Malik Ash-Shâlih. Ia memberi nasehat, mengajak, menyeru kepada menyembah Tuhan yang patut disembah dan berbuat kebaikan demi keselamatan di dunia dan akhirat.
Menurut Taqiyuddin, inskripsi pada nisan Al-Malik Ash-Shâlih juga menyebutkan bahwa ia seorang yang berasal dari keluarga terhormat dan dari silsilah keturunan terkenal, lagi penyantun (al-hasîb an-nasîb al-karîm).
“Sifat al-karîm atau penyatun lahir dengan sendirinya dalam ingatan setelah al-hasîb an-nasîb, semisal kita mengatakan, ia orang hebat tapi tidak sombong,” kata Taqiyuddin.
***
Taqiyuddin mengatakan, dalam penyelidikan tentang perkembangan Islam di nusantara atau khususnya kawasan utara Sumatera, begitu pula tentang asal usul Al-Malik Ash-Shâlih, sebenarnya perkembangan Islam di anak benua India tidak bisa diabaikan. Sebab letak geografisnya yang lebih berdekatan dibanding kawasan-kawasan Islam lainnya yang berada di Timur Tengah.
“Sifat al-karîm atau penyatun lahir dengan sendirinya dalam ingatan setelah al-hasîb an-nasîb, semisal kita mengatakan, ia orang hebat tapi tidak sombong,” kata Taqiyuddin.
***
Taqiyuddin mengatakan, dalam penyelidikan tentang perkembangan Islam di nusantara atau khususnya kawasan utara Sumatera, begitu pula tentang asal usul Al-Malik Ash-Shâlih, sebenarnya perkembangan Islam di anak benua India tidak bisa diabaikan. Sebab letak geografisnya yang lebih berdekatan dibanding kawasan-kawasan Islam lainnya yang berada di Timur Tengah.
Gelombang peristiwa besar dalam sejarah Islam yang terjadi di anak benua India pada masa-masa itu dipastikan sampai juga riaknya ke utara Sumatera, yang sebelumnya telah lama disebut sebagai salah satu pulau-pulau India (al-juzûr al-hindiyah) oleh para musafir dan ahli geografi Arab-Persia. Sehingga, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa dari sisi peristiwa sejarahnya, Sumatera merupakan patahan hanyut dari anak benua India.
Abad VI sampai permulaan abad VIII hijriah, sebelum dinasti Mogul memerintah Delhi dan sebagian besar kawasan di India, perkembangan Islam sudah sedemikian dahsyat di daratan Asia Selatan. Para sejarawan sepakat bahwa Syihâbuddîn Muhammad Al-Ghûri (wafat 602 H/1206 M) dalam masa pertengahan kedua abad VI hijriah telah melakukan perluasan wilayah Islam sedemikian besar mengikuti jejak pendahulunya Mahmûd Al-Ghaznawi (wafat 421 H/1030 M). Syihâbuddîn Al-Ghûri bermazhab Syâfi'iy dan bersahabat dekat dengan Fakhruddîn Ar-Râzî (wafat 606 H/1210 M), seorang ulama Syafi'iyyah terkemuka di dunia Islam.
Bahasan ini teramat panjang. Namun yang perlu diperhatikan, kata Taqiyuddin, adalah pada paruh terakhir abad VII hijriah (XIII masehi), Sultan Ghiyâtsuddîn Balbân atau Bâlibân, seorang Mameluk asal Turkistan, mengabdi di istana Sultan Ultumush (wafat 633 H/1235 M) yang kemudian mengawinkannya dengan puterinya, menjabat sebagai wazîr (perdana menteri) pada masa pemerintahan Nâshiruddîn Mahmûd (wafat 664 H/1266 M), putera Ultumush, dan setelah terakhir wafat, ia memegang tali kendali kesultanan Delhi.
Abad VI sampai permulaan abad VIII hijriah, sebelum dinasti Mogul memerintah Delhi dan sebagian besar kawasan di India, perkembangan Islam sudah sedemikian dahsyat di daratan Asia Selatan. Para sejarawan sepakat bahwa Syihâbuddîn Muhammad Al-Ghûri (wafat 602 H/1206 M) dalam masa pertengahan kedua abad VI hijriah telah melakukan perluasan wilayah Islam sedemikian besar mengikuti jejak pendahulunya Mahmûd Al-Ghaznawi (wafat 421 H/1030 M). Syihâbuddîn Al-Ghûri bermazhab Syâfi'iy dan bersahabat dekat dengan Fakhruddîn Ar-Râzî (wafat 606 H/1210 M), seorang ulama Syafi'iyyah terkemuka di dunia Islam.
Bahasan ini teramat panjang. Namun yang perlu diperhatikan, kata Taqiyuddin, adalah pada paruh terakhir abad VII hijriah (XIII masehi), Sultan Ghiyâtsuddîn Balbân atau Bâlibân, seorang Mameluk asal Turkistan, mengabdi di istana Sultan Ultumush (wafat 633 H/1235 M) yang kemudian mengawinkannya dengan puterinya, menjabat sebagai wazîr (perdana menteri) pada masa pemerintahan Nâshiruddîn Mahmûd (wafat 664 H/1266 M), putera Ultumush, dan setelah terakhir wafat, ia memegang tali kendali kesultanan Delhi.
Menurut Taqiyuddin, Sultan Ultumush, mertua Balbân, ini digelar oleh Khalîfah Al-Mustanshir bi-Llâh (wafat 640 H/1243 M)—kakek ke-4 dari Shadr Al-Akâbir Abdullah (wafat 816 H/1414 M) yang makamnya berada di Kuta Karang, Samudra, AcehUtara—dengan Nâshir al-Khalîfah (pembela Khalifah), karena mengingat bangsa Mongol (Tartar) yang mulai menjadi ancaman krusial bagi Baghdad, kota kekhalifahan pada waktu itu.
Pada 684 hijriah (1286 masehi), putera mahkota dari Sultan Ghiyâtsuddîn Balbân bernama Muhammad Khân, syahid dalam satu pertempuran melawan Mongol di Multan. Kesendihan atas meninggal putera mahkotanya mendorong Balbân untuk mewasiatkan kesultanan Delhi kepada cucunya, putera Muhammad Khân, yang bernama Kay Khusrau. Namun ketika Balbân wafat pada 685 hijriah (1287 masehi), tahta kesultanan Delhi yang diwasiatkan untuk Kay Khusrau direbut oleh saudara sepupunya, Kaiqubâd bin Baghrâ Khân (wafat 684 H/1290 M). Kay Khusrau yang masih berumur muda terpaksa keluar dari Delhi. Sampai di situ, sejarah pun menurunkan layar penutup dari kisah Kay Khusrau ini.
Taqiyuddin menjumpai banyak petunjuk di Samudra Pasai mengarah pada kesimpulan bahwa amir atau pangeran yang berhijrah dari Delhi untuk menghindari perpecahan dan pertumpahan darah dengan saudaranya ini, ternyata telah memilih wilayah amat jauh dari Delhi sebagai tempat tujuannya, wilayah mana telah berada dalam kekuasaan kesultanan Delhi paling tidak sejak permulaan abad VII hijriah (XIII M). Wilayah ini dapat dipastikan adalah Pasai.
Itu sebabnya, menurut Taqiyuddin, dapat diyakini bahwa Al-Malik Ash-Shâlih berasal dari keturunan terhormat, karena turunan dari sultan-sultan besar Delhi sampai dengan Quthbuddîn Aibak (wafat 606 H/1210 M), pendiri dinasti Mameluk (Mamalik) Delhi yang telah membangun Mesjid Quwwatul Islam dan Qutb Minar dan sangat terkenal dalam sejarah dunia Islam.
Pada 684 hijriah (1286 masehi), putera mahkota dari Sultan Ghiyâtsuddîn Balbân bernama Muhammad Khân, syahid dalam satu pertempuran melawan Mongol di Multan. Kesendihan atas meninggal putera mahkotanya mendorong Balbân untuk mewasiatkan kesultanan Delhi kepada cucunya, putera Muhammad Khân, yang bernama Kay Khusrau. Namun ketika Balbân wafat pada 685 hijriah (1287 masehi), tahta kesultanan Delhi yang diwasiatkan untuk Kay Khusrau direbut oleh saudara sepupunya, Kaiqubâd bin Baghrâ Khân (wafat 684 H/1290 M). Kay Khusrau yang masih berumur muda terpaksa keluar dari Delhi. Sampai di situ, sejarah pun menurunkan layar penutup dari kisah Kay Khusrau ini.
Taqiyuddin menjumpai banyak petunjuk di Samudra Pasai mengarah pada kesimpulan bahwa amir atau pangeran yang berhijrah dari Delhi untuk menghindari perpecahan dan pertumpahan darah dengan saudaranya ini, ternyata telah memilih wilayah amat jauh dari Delhi sebagai tempat tujuannya, wilayah mana telah berada dalam kekuasaan kesultanan Delhi paling tidak sejak permulaan abad VII hijriah (XIII M). Wilayah ini dapat dipastikan adalah Pasai.
Itu sebabnya, menurut Taqiyuddin, dapat diyakini bahwa Al-Malik Ash-Shâlih berasal dari keturunan terhormat, karena turunan dari sultan-sultan besar Delhi sampai dengan Quthbuddîn Aibak (wafat 606 H/1210 M), pendiri dinasti Mameluk (Mamalik) Delhi yang telah membangun Mesjid Quwwatul Islam dan Qutb Minar dan sangat terkenal dalam sejarah dunia Islam.
Sekalipun berasal dari turunan terpandang dan mulia, namun Al-Malik Ash-Shâlih adalah seorang yang penyantun (al-karîm), tidak tinggi hati. Menyayangi orang-orang yang lemah dan tak berdaya. Statusnya yang tinggi tidak menyulitkan dirinya untuk merendah. Iman dan pengalaman hidupnya telah mengangkatnya untuk menjadi sosok yang dicintai oleh rakyatnya, terutama oleh golongan lemah.
Maka, kata Taqiyuddin, tidak mengherankan apabila masa pemerintahan Al-Malik Ash-Shâlih adalah masa awal Samudra Pasai muncul sebagai sebuah kesatuan politik yang kuat dan berpengaruh di nusantara, terutama dalam memperluas wilayah Islam di bumi nusantara yang amat jauh dari tempat turun wahyu. Hingga, Islam sampai hari ini masih tetap menjadi agama mayoritas di Indonesia dan semenanjung Melayu, walaupun pernah dihantam badai imperialisme yang cukup lama dan berat.
“Tak dapat tidak untuk diakui bahwa proses Islamisasi Asia Tenggara yang begitu cepat adalah peristiwa sejarah terhebat di kawasan ini. Hal tersebut sudah barang tentu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar teguh, salah satunya ialah Al-Malik Ash-Shâlih,” kata Taqiyuddin.
Al-'âbid al-fâtih (ahli ibadah lagi pembebas). Sifat ini yang membuat Al-Malik Ash-Shâlih bukan orang terkecualikan dalam barisan tokoh-tokoh besar dan agung dalam sejarah Islam.
“Al-Malik Ash-Shâlih memang seorang ahli ibadah (Al-'âbid), tapi ia bukan petapa yang menyembunyikan dirinya di gunung-gunung. Ia seorang pembebas (al-fâtih); seorang ahli ibadah yang juga kesatria,” kata Taqiyuddin.
Maka, kata Taqiyuddin, tidak mengherankan apabila masa pemerintahan Al-Malik Ash-Shâlih adalah masa awal Samudra Pasai muncul sebagai sebuah kesatuan politik yang kuat dan berpengaruh di nusantara, terutama dalam memperluas wilayah Islam di bumi nusantara yang amat jauh dari tempat turun wahyu. Hingga, Islam sampai hari ini masih tetap menjadi agama mayoritas di Indonesia dan semenanjung Melayu, walaupun pernah dihantam badai imperialisme yang cukup lama dan berat.
“Tak dapat tidak untuk diakui bahwa proses Islamisasi Asia Tenggara yang begitu cepat adalah peristiwa sejarah terhebat di kawasan ini. Hal tersebut sudah barang tentu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar teguh, salah satunya ialah Al-Malik Ash-Shâlih,” kata Taqiyuddin.
Al-'âbid al-fâtih (ahli ibadah lagi pembebas). Sifat ini yang membuat Al-Malik Ash-Shâlih bukan orang terkecualikan dalam barisan tokoh-tokoh besar dan agung dalam sejarah Islam.
“Al-Malik Ash-Shâlih memang seorang ahli ibadah (Al-'âbid), tapi ia bukan petapa yang menyembunyikan dirinya di gunung-gunung. Ia seorang pembebas (al-fâtih); seorang ahli ibadah yang juga kesatria,” kata Taqiyuddin.
Al-Malik Ash-Shâlih adalah seorang pengembang da'wah Islam dan penyebar nilai-nilai kebebasan (al-hurriyah). Apabila ketertarikan ramai orang kepada Islam diawali oleh faktor sosok penyebarnya, kata Taqiyuddin, maka kepribadian Al-Malik Ash-Shâlih adalah daya tarik pertama yang mendorong orang untuk memeluk Islam.
“Jelas sekali, ia seorang yang tidak bernafsu menguasai tanah dan harta milik orang lain; ia hanya menginginkan hati mereka di dalam Islam,” kata Taqiyuddin.
“Jelas sekali, ia seorang yang tidak bernafsu menguasai tanah dan harta milik orang lain; ia hanya menginginkan hati mereka di dalam Islam,” kata Taqiyuddin.
Itulah pribadi orang yang digelar dengan Sultan Al-Malik Ash-Shâlih (raja yang shalih). Sebuah gelar (laqb) yang amat sepadan dengan penyandangnya, Al-Malik Ash-Shâlih.[]
Sumber : http://atjehpost.com/read/2012/12/25/32854/39/39/Malikussaleh-Sang-Pemanggul-Dakwah-Islam