Berbikini di Negeri Syariat



Saya tidak bisa menahan nafsu. Jari ini secepatnya mendekap benda itu. Sekitar 20 meter di depan saya, seorang mahasiswi dari Norwegia berbaring santai di pasir putih. Kain baju yang dikenakan sangat hemat mendekati pelit.
Hanya seutas tali bra sebesar telapak tangan dewasa yang menutup payudara dan selembar cawat yang melapisi auratnya. Selebihnya dia membiarkan sengatan sinar matahari tropis membakar tubuh yang mulus itu. 
 
Saya bidik lensa panjang ke pemilik rambut pirang.
Telunjuk saya menekan tombol on berkali-kali dengan sudut pandang berbeda dengan latar belakang pantai yang jernih.
Ah selalu saja ada perasaan bersalah dan sedikit dosa menatap hal itu.
Saya berapologia ini untuk pelajaran di kelas. Saya yakin, peserta pelatihan yang mayoritas pemuda dan pemudi tidak mengantuk jika belajar sudut ambil gambar dengan obyek ini. 
Keisengan saya meningkat dengan memuat di Facebook dengan keterangan teks foto,”Ini bukan pantai di Phuket atau Bali. Ini pantai di Sabang!”
Begitulah, banyak komentar mengalir.
Ada yang kaget, mengapa bisa demikian? Apa tidak ada yang melarangnya? Bukankah Aceh menerapkan Syariat Islam? Jangankan berbikini di pantai, mencari secara resmi minuman keras di Serambi Mekkah saja butuh kejelian dan jalur khusus.
Bahasa kasarnya, jangan harap bisa beli minuman beralkohol di kedai atau toko. Jika pun pesan di restoran, kafe atau hotel, jangan kaget pelayan akan meminta KTP Anda untuk memastikan yang meneguk ini bukan seorang muslim.
 
Dunia pariwisata terlanjur identik dengan slogan 3S yakni sun, sand (sea), dan sex.
Bagi sebagian orang, arena wisata berada dalam bayang-bayang maksiat atau mendekati kemungkaran. Jika ada yang mendukung promosi wisata, terbayang ranjang mesum yang dilarang oleh normal-normal masyarakat. Patut diduga, pola pikir yang keliru karena isi otak penentang itu masih mini.   
 
Apakah turis bisa berbikini di negeri Syariat?
Tentu mereka paham tidak akan melakukan di sembarang tempat. Lazimnya dari turis bersandal jepit hingga berkelas mengapit buku terbitan Lonely Planet sebagai acuan dalam setiap melangkah atau sudah paham sebelum mendarat ke sebuah daerah.
Apa saja yang tabu dilakukan di daerah wisata yang dituju. Saya belum  pernah menyaksikan turis lokal, nasional, atau internasional berbikini di pantai Aceh kecuali pantai di Sabang. 
 
Saya bertanya kepada beberapa warga sekitar obyek wisata di Pantai Sumur Tiga atau Pantai Iboih di Sabang terhadap keberadaan turis yang berjemur ria di pantai.
Pada umumnya mereka tidak mempersoalkan turis yang berbusana minim karena itu urusan individu. Yang perlu dilakukan, kata warga setempat yakni pelancong lain tidak ke sana. 
 
Wisata tidak selalu identik dengan dunia remang.
Tujuan bertamasya untuk mendapat sesuatu yang tidak diperoleh di daerahnya atau sebagai perbandingan. Pada sisi lain, berwisata merupakan bagian mensyukuri alam yang indah sebagai anugerah dari Tuhan.
 
Ada program wisata spiritual antar daerah atau negara mengunjungi rumah ibadah atau makam tokoh agama.
Termasuk dalam hal ini tur rohani ke negara-negara  yang memiliki tempat suci. Setiap hari ratusan ribu umat Islam dari berbagai belahan dunia mendarat di Jeddah untuk menunaikan umrah. Beribadah sambil menyaksikan obyek-obyek wisata di Tanah Suci.
Tak pelak, negara-negara yang dianugerahi obyek wisata agama bisa merauh pundi-pundi untuk membangun fasilitas infrastruktur.
Dunia wisata yang tidak menyebarkan polusi udara dan tidak pernah habis dikuras merupakan harta karun Nusantara yang harus diurus serius.
Karena itu, perlu memberi pemahamam bahwa kawah pariwisata bisa berkembang dalam berbagai aspek dari wisata spritual, wisata budaya, wisata kuliner, dan lain-lain. Warga setempat sebagai bagian dari lingkungan obyek wisata bisa menyadari kehadiran turis membawa berkah rezeki.
Murizal Hamzah | The Globe Journal