Cekgu asal Chicago di Kampus FKIP Unsyiah



MENDAPAT kesempatan tinggal di negara berbeda dengan adat budaya yang berbeda pula, tentu memberi pengalaman tak terlupakan. Itulah yang dirasakan Tino, mahasiswa asal Amerika Serikat yang mendapat kesempatan tinggal di Aceh dan mengajar di Jurusan Bahasa Inggris FKIP Unsyiah.

Saat ini Tino bekerja untuk organisasi Oberlin Shansi, sebagai dosen pembantu di Unsyiah. Ia bertugas sejak Juli 2012 hingga Juli 2014 mendatang. Organisasi ini telah menjalin kerjasama dengan Unsyiah sejak 2007. Kerjasama yang disahkan melalui MoU ini bertujuan untuk pertukaran pelajar.

“Unsyiah recent the purpose at this MoU is to facilitate cultural etchange between recent Oberlin graduates and faculty members at Unsyiah,for my followship I will live for 2 years in Banda Aceh working as a volunteer Culture about the beautifull Acehnese culture,” ujar pria kelahiran 2 Mei 1990 ini kepada ATJEHPOSTcom 15 Februari 2013 lalu.

Kini ia sudah berada di Banda Aceh selama delapan bulan. Tino mendapat banyak pengalaman berharga selama di sini. Salah satunya adalah saat mengunjungi Piasa Seni pada November 2012 lalu di Taman Sari Banda Aceh.

Saat itu pria ramah ini menyaksikan performance Rafly dan Liza Aulia. Pertunjukan itu rupanya sangat berkesan bagi Tino. “The best experience live had so far was going to the arts festival in November at this festival I was able to watch Raffly, Liza Aulia in concert  and meet new fiends like NBC,” katanya.

Melalui acara itu ia mendapat banyak pengetahuan tentang budaya Aceh, ia juga sangat terkesan dengan penampilan tari Saman, Debus dan musik Aceh. “I fell in in love with the city,” ujarnya sambil tersenyum.

Menurutnya banyak hal yang membuatnya betah di sini, orang-orang Aceh katanya sangat ramah.
“Aku suka orang Aceh, karena di sini banyak orang yang ramah, walaupun baru kenal sehari langsung diajak ke rumah untuk makan bersama dengan keluarganya,” ujarnya dengan bahasa Indonesia terbata-bata. “Dan aku suka makanan di Aceh kayak tempe, ayam penyet dan mie Aceh,” kata pria yang masih menjadi mahasiswa di Universitas Oberlin Collage di Chicago ini.

Ia juga sering mengunjungi tempat-tempat wisata di Aceh. “Aku ke Lampuuk, air terjun Lhong ,waduk di Indrapuri dan  berlibur ke Sabang, aku suka Sabang karena pantainya yang indah dan bisa snorkling, bisa melihat langsung terumbu karang yang luar biasa indahnya,” katanya.

Di negara asalnya, bila liburan tiba ia mengaku senang lari jarak jauh hingga delapan kilometer. Bersama teman-temannya ia membantu membuatkan makalah orang, mengajar bahasa Spanyol untuk anak-anak dan mengajar puisi kepada anak-anak sekolah dasar.
“While in Collage I run cross country with my frends,helped improve student writing,I also taught Spanish to 5 year olds and poetry to middle schoolers,” ujarnya.
Setelah enam bulan berada di Aceh, apa pendapatnya soal perbedaan Aceh dan Amerika Serikat?

“Aceh panas sekali, di sana dingin, di sini orangnya ramah-ramah dan peduli terhadap sekitar kalau di sana interaksi sosial kurang, tetapi aku heran dengan kebiasaan anak-anak di Aceh yang sering duduk di warkop mengerjakan PR nya, di sana kami belajar bukan di warkop, kami sampai 4 jam belajar di perpustakaan, aku coba belajar di warkop seperti anak-anak di Aceh, dimasuk ke kepala dan aku tidak konsen,” katanya sambil tertawa. | atjehpost.com