Asber Os Meri (kiri) meracik bumbu permintaan pembeli di Pasar Setui, Banda Aceh, KOMPAS/AGUS SUSANTO |
Oleh Budi Suwarna dan Ahmad Arif
Aceh adalah kari. Aroma rempahnya diturunkan dari generasi ke generasi. Tak perlu khawatir kelezatannya akan memudar sebab selalu ada penjaga rasa kari yang lahir di setiap generasi. Lantai 2 Pasar Setui, Banda Aceh, akhir Februari. Keramaian hanya ada di sudut bangunan bagian belakang, tempat Asber Os Meri (48), atau akrab disapa Kak Meri, berjualan bumbu.
”Masak apa hari ini sayang?” Kak Meri, si peracik bumbu terkenal di Banda Aceh itu, menyapa akrab pelanggannya.
”Kari untuk dua ekor ayam, Kak,” jawab Ros (50) sambil menyodorkan selembar uang Rp 5.000. Ros adalah ibu rumah tangga dari Lamlagang, Banda Aceh. Hampir setiap pagi ia membeli racikan bumbu di kios Kak Meri.
Aceh adalah kari. Aroma rempahnya diturunkan dari generasi ke generasi. Tak perlu khawatir kelezatannya akan memudar sebab selalu ada penjaga rasa kari yang lahir di setiap generasi. Lantai 2 Pasar Setui, Banda Aceh, akhir Februari. Keramaian hanya ada di sudut bangunan bagian belakang, tempat Asber Os Meri (48), atau akrab disapa Kak Meri, berjualan bumbu.
”Masak apa hari ini sayang?” Kak Meri, si peracik bumbu terkenal di Banda Aceh itu, menyapa akrab pelanggannya.
”Kari untuk dua ekor ayam, Kak,” jawab Ros (50) sambil menyodorkan selembar uang Rp 5.000. Ros adalah ibu rumah tangga dari Lamlagang, Banda Aceh. Hampir setiap pagi ia membeli racikan bumbu di kios Kak Meri.
Masakan Aceh itu rumit. Bumbunya banyak sekali. Kalau meracik sendiri, habis waktu kita. Belum lagi kalau kurang pas takarannya, bisa tidak enak rasanya.
-- Ros
”Masakan Aceh itu rumit. Bumbunya banyak sekali,” keluh Ros. ”Kalau meracik sendiri, habis waktu kita. Belum lagi kalau kurang pas takarannya, bisa tidak enak rasanya.”
Ros tidak berlebihan. Untuk memasak kari ayam atau kambing khas Pidie, misalnya, setidaknya dibutuhkan 22 macam bumbu. Bahkan, ada yang memakai 24 bumbu.
Setiap hari Kak Meri melayani 200-an pelanggan seperti Ros. ”Saat hari meugang—dua hari sebelum Ramadhan—ada ribuan orang yang beli bumbu antre dari pagi sampai malam,” ujar Kak Meri yang mewarisi kios dari ibunya tahun 1980-an.
Bagi masyarakat Aceh, makan menjadi momen istimewa, khususnya jika ada kari daging dalam menunya. Sedari dulu mereka adalah penikmat kuliner, seperti disebutkan di banyak catatan lama. Dalam The Voyage of Thomas Best to The East Indies, 1612-1614 disebutkan, Best yang datang ke Aceh sebagai utusan Belanda dijamu Sultan Iskandar Muda dengan 400 macam makanan dari daging.
Kebiasaan makan enak kemudian menurun dari para tetua Aceh ke generasi sekarang. Tengoklah, di piring nasi orang Aceh, kita bisa temukan 3-4 macam lauk. ”Sehari-hari orang Aceh makan seperti itu. Setiap rumah tangga setidaknya menyediakan empat menu dalam sekali makan,” kata Reza Idria, antropolog dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Pada masa lalu, gaya hidup ini ditopang ketersediaan tanaman rempah di pekarangan rumah. Sekarang, tanaman bumbu mulai hilang dari pekarangan rumah. Jadi, orang merasa lebih efisien membeli bumbu racikan dari pedagang seperti Kak Meri. Dialah koki keluarga yang sesungguhnya. Katakan saja mau masak apa, Kak Meri akan meracikkan bumbunya dan memastikan kelezatannya.
Koki kenduri
Penjaga rasa kari untuk kepentingan kenduri besar berbeda lagi. Setiap desa di Aceh pada umumnya memiliki seorang juru masak kari dan pencicipnya. Hampir dipastikan, mereka semuanya laki-laki. Di Aceh, memasak untuk kenduri memang dilakukan laki-laki. ”Kami memasak seekor-dua ekor kambing atau lembu. Kalau perempuan memasak sekilo-dua kilo daging,” ujar Razali Hanafiah, salah seorang pencicip kari di Meunasah Pupu, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya.
Siang itu, Razali mencicipi kari kambing yang diolah keponakannya, Muhammad (45). Ia menyendok kuah dari kuali raksasa berisi kari. Ia diam sejenak, membiarkan lidahnya mencecap setiap jejak rasa. Kemudian, ia menganggukkan kepala tanda kari itu pantas dihidangkan untuk maulid hari itu. Semua orang yang berada di meunasah (mushala) Desa Pupu, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, pun bernapas lega dan tersenyum gembira. Mereka lantas berbaris dengan piring berisi nasi menunggu pembagian kari. Begitulah, satu anggukan kepala Razali sudah cukup untuk memulai sebuah pesta kari.
Razali adalah tokoh penting di setiap kenduri di Desa Pupu. Di lidah Razali-lah, rahasia kelezatan kari desa itu berada. Hari itu ia tidak terlalu bergembira sebab rasa kari yang dimasak Muhammad, buatnya masih kurang sempurna. ”Sepertinya ada empat bumbu langka yang tidak dia gunakan. Payah (susah) memang mencarinya sekarang,” ujar Razali seusai pesta.
Razali memang memiliki otoritas sebagai penjaga kelezatan rasa kari di desanya. Ia memiliki pengalaman memasak kari sejak remaja. Awalnya, ia membantu berdagang mi aceh. Dari situ, kepiawaiannya meracik bumbu terasah. Pada tahun 1960-an, ia mulai memasak kari untuk keperluan kenduri. Posisinya sebagai pemasak kari kian mantap pada tahun 1990-an. ”Hampir setiap hari saya diminta masak kari untuk kenduri,” ujar Razali, yang selalu menggiling sendiri bumbu karinya dengan gilingan batu.
Seperti juru masak kari lainnya, Razali menciptakan resep kari dengan komposisi bumbu kari yang hanya ia ketahui sendiri. Dia menggunakan 24 macam bumbu, mulai dari cabai, lada, bawang, daun temurui, pandang, lawang keling, hingga kacakraci atau kaskas. Bumbu tersebut tidak ada yang ditimbang. ”Saya kira-kira saja, bergantung besar kecilnya kuali untuk memasak,” tutur Razali.
Sejak sepuluh tahun yang lalu, Razali menurunkan kepiawaiannya memasak kepada Muhammad. Kini, keponakan Razali itu menjadi ”pendekar” kari di desanya. ”Setiap ada kenduri di desa ini, saya diundang masak kari,” ujar Muhammad.
Kepiawaian memasak kari memang diturunkan dari generasi ke generasi. Dari paman kepada keponakannya, dari ayah kepada anaknya. Azhari Abdullah (59), misalnya, mewarisi keterampilan memasak kari dari ayahnya sejak masa SMA. ”Orangtua saya memberi tahu ini-itu. Jadi belajar masak karinya lama dan sedikit demi sedikit,” ujar Azhari, yang bekerja sebagai guru olahraga.
Setelah mahir membuat kari, orangtuanya melepas Azhari masak kari sendiri. Azhari pun mulai ”berkelana” dari satu kenduri ke kenduri lain, mulai tingkat desa sampai provinsi.
Akhir Februari lalu, Azhari memasak kari kambing untuk kenduri akikah. Ia mengaduk semua bumbu dan daging dengan tangan telanjang langsung di atas kuali yang apinya baru saja dinyalakan. ”Begini cara mengaduk supaya bumbu meresap ke dalam daging,” katanya kepada anak-anak muda yang membantunya.
Ros tidak berlebihan. Untuk memasak kari ayam atau kambing khas Pidie, misalnya, setidaknya dibutuhkan 22 macam bumbu. Bahkan, ada yang memakai 24 bumbu.
Setiap hari Kak Meri melayani 200-an pelanggan seperti Ros. ”Saat hari meugang—dua hari sebelum Ramadhan—ada ribuan orang yang beli bumbu antre dari pagi sampai malam,” ujar Kak Meri yang mewarisi kios dari ibunya tahun 1980-an.
Bagi masyarakat Aceh, makan menjadi momen istimewa, khususnya jika ada kari daging dalam menunya. Sedari dulu mereka adalah penikmat kuliner, seperti disebutkan di banyak catatan lama. Dalam The Voyage of Thomas Best to The East Indies, 1612-1614 disebutkan, Best yang datang ke Aceh sebagai utusan Belanda dijamu Sultan Iskandar Muda dengan 400 macam makanan dari daging.
Kebiasaan makan enak kemudian menurun dari para tetua Aceh ke generasi sekarang. Tengoklah, di piring nasi orang Aceh, kita bisa temukan 3-4 macam lauk. ”Sehari-hari orang Aceh makan seperti itu. Setiap rumah tangga setidaknya menyediakan empat menu dalam sekali makan,” kata Reza Idria, antropolog dari Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Pada masa lalu, gaya hidup ini ditopang ketersediaan tanaman rempah di pekarangan rumah. Sekarang, tanaman bumbu mulai hilang dari pekarangan rumah. Jadi, orang merasa lebih efisien membeli bumbu racikan dari pedagang seperti Kak Meri. Dialah koki keluarga yang sesungguhnya. Katakan saja mau masak apa, Kak Meri akan meracikkan bumbunya dan memastikan kelezatannya.
Koki kenduri
Penjaga rasa kari untuk kepentingan kenduri besar berbeda lagi. Setiap desa di Aceh pada umumnya memiliki seorang juru masak kari dan pencicipnya. Hampir dipastikan, mereka semuanya laki-laki. Di Aceh, memasak untuk kenduri memang dilakukan laki-laki. ”Kami memasak seekor-dua ekor kambing atau lembu. Kalau perempuan memasak sekilo-dua kilo daging,” ujar Razali Hanafiah, salah seorang pencicip kari di Meunasah Pupu, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya.
Siang itu, Razali mencicipi kari kambing yang diolah keponakannya, Muhammad (45). Ia menyendok kuah dari kuali raksasa berisi kari. Ia diam sejenak, membiarkan lidahnya mencecap setiap jejak rasa. Kemudian, ia menganggukkan kepala tanda kari itu pantas dihidangkan untuk maulid hari itu. Semua orang yang berada di meunasah (mushala) Desa Pupu, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, pun bernapas lega dan tersenyum gembira. Mereka lantas berbaris dengan piring berisi nasi menunggu pembagian kari. Begitulah, satu anggukan kepala Razali sudah cukup untuk memulai sebuah pesta kari.
Razali adalah tokoh penting di setiap kenduri di Desa Pupu. Di lidah Razali-lah, rahasia kelezatan kari desa itu berada. Hari itu ia tidak terlalu bergembira sebab rasa kari yang dimasak Muhammad, buatnya masih kurang sempurna. ”Sepertinya ada empat bumbu langka yang tidak dia gunakan. Payah (susah) memang mencarinya sekarang,” ujar Razali seusai pesta.
Razali memang memiliki otoritas sebagai penjaga kelezatan rasa kari di desanya. Ia memiliki pengalaman memasak kari sejak remaja. Awalnya, ia membantu berdagang mi aceh. Dari situ, kepiawaiannya meracik bumbu terasah. Pada tahun 1960-an, ia mulai memasak kari untuk keperluan kenduri. Posisinya sebagai pemasak kari kian mantap pada tahun 1990-an. ”Hampir setiap hari saya diminta masak kari untuk kenduri,” ujar Razali, yang selalu menggiling sendiri bumbu karinya dengan gilingan batu.
Seperti juru masak kari lainnya, Razali menciptakan resep kari dengan komposisi bumbu kari yang hanya ia ketahui sendiri. Dia menggunakan 24 macam bumbu, mulai dari cabai, lada, bawang, daun temurui, pandang, lawang keling, hingga kacakraci atau kaskas. Bumbu tersebut tidak ada yang ditimbang. ”Saya kira-kira saja, bergantung besar kecilnya kuali untuk memasak,” tutur Razali.
Sejak sepuluh tahun yang lalu, Razali menurunkan kepiawaiannya memasak kepada Muhammad. Kini, keponakan Razali itu menjadi ”pendekar” kari di desanya. ”Setiap ada kenduri di desa ini, saya diundang masak kari,” ujar Muhammad.
Kepiawaian memasak kari memang diturunkan dari generasi ke generasi. Dari paman kepada keponakannya, dari ayah kepada anaknya. Azhari Abdullah (59), misalnya, mewarisi keterampilan memasak kari dari ayahnya sejak masa SMA. ”Orangtua saya memberi tahu ini-itu. Jadi belajar masak karinya lama dan sedikit demi sedikit,” ujar Azhari, yang bekerja sebagai guru olahraga.
Setelah mahir membuat kari, orangtuanya melepas Azhari masak kari sendiri. Azhari pun mulai ”berkelana” dari satu kenduri ke kenduri lain, mulai tingkat desa sampai provinsi.
Akhir Februari lalu, Azhari memasak kari kambing untuk kenduri akikah. Ia mengaduk semua bumbu dan daging dengan tangan telanjang langsung di atas kuali yang apinya baru saja dinyalakan. ”Begini cara mengaduk supaya bumbu meresap ke dalam daging,” katanya kepada anak-anak muda yang membantunya.
Sumber :
Kompas Cetak