Keluarga pejuang Aceh tempo dulu.@arsip |
“…Dengan gelora berahi seorang wanita yang hangat dan penuh gairah, ia melangkah ke atas ranjang peraduan pengantin, kehangatan dan kegairahan yang lebih berkobar dibandingkan dengan wanita-wanita di mana pun. Dan dengan gelora nafsu seperti itu pulalah ia melangkah ke medan pertempuran untuk bertarung. Ia tidak merasa takut mendampingi suaminya dan mengiringi pasukan-pasukan melakukan pertempuran di mana-mana. Ia keluar-masuk hutan belantara dengan menelan serba aneka kesulitan, kepahitan dan penderitaan. Sementara itu, pasukan-pasukan marsose mengintainya ke mana ia pergi…” tulis Zentgraaf dalam bukunya berjudul Atjeh ‘melukis’ sosok Cut Meutia.
Cut Meutia merupakan putri Teuku Ben Daud yang lahir di tahun 1880, tepat setelah tiga tahun pecah perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda. Dia merupakan keturunan Tok Bineh Blang, seorang bangsawan yang juga ulama dan mempunyai hubungan erat dengan Istana Darud Dunia.
Lukisan Zentgraaf terhadap Cut Meutia berdasarkan fakta yang terjadi. Sebagai seorang perempuan, Cut Meutia setelah bercerai dengan Teuku Syamsyarif kemudian menikah dengan Teuku Cut Muhammad. Sebagai suami istri, pasangan ini hidup romantis terlebih di awal-awal pernikahannya yang dilukis Zentgraaf sebagai masa ‘bulan madu’.
Bulan madu Cut Meutia bersama suami keduanya dimeriahkan genderang perang dan dentuman meriam yang memuntahkan peluru. Bersama suaminya, Cut Meutia berperang di berbagai medan di kawasan Aceh Utara. Ada dua tahapan perang yang dialami Cut Meutia, yaitu perang frontal dan perang gerilya di hutan-hutan Pasai.
Perjalanan bulan madu Cut Meutia dengan Teuku Cut Muhammad berakhir setelah suami yang dicintainya itu tertawan. Teuku Cut Muhammad juga dijatuhi hukuman mati dengan ditembak selusin peluru oleh marsose. Sesuai wasiat mendiang suami, Cut Meutia kemudian dinikahi Pang Nanggroe. Pria ini merupakan seorang pahlawan yang selama ini menjadi wakil panglima Teuku Cut Muhammad.
Perkawinan antara Cut Meutia dengan Pang Naggroe mendatangkan malapetaka bagi Belanda. Pasalnya pasangan ini begitu ahli dan cakap memimpin peperangan.
“…siasat peperangan Pang Nanggroe dan Cut Meutia merupakan seni yang luar biasa tingginya, hanya dapat tumbuh pada seseorang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin perang seperti itu. Dengan bantuan istrinya yang fanatik dan pendendam serta didampingi Putra Rajawali (Teuku Raja Sabi_Putra Cut Meutia dengan Teuku Syamsyarif), Pang Nanggroe merupakan lawan Belanda yang perkasa. Kemahirannya luar biasa…” tulis Zentgraaf seperti dikutip Ali Hasjmy, penulis sejarah Aceh.
26 September 1910 sebuah pertempuran seru terjadi antara Belanda dengan pejuang Aceh. Dalam pertempuran itu, Pang Nanggroe syahid dan Cut Meutia bertindak sebagai Panglima Sukey (resimen). Paska kematian Pang Nanggroe, gerakan perlawanan Cut Meutia dan pejuang Aceh semakin parah. Setiap malam tangsi-tangsi Belanda diserbu dan menjelang pagi pasukan ini mundur ke dalam hutan. Markasnya selalu berpindah-pindah tempat.
Perang gerilya yang dilancarkan Cut Meutia berakhir pada 22 Oktober 1910 akibat adanya mata-mata yang memberitahukan lokasi markas kepada Belanda. Pasukan marsose dengan jumlah besar dan persenjataan lengkap menyerbu benteng pertahanan Cut Meutia. Pertempuran ini berlangsung selama tiga hari.
Pasukan marsose yang dipimpin W.J. Mosselman terus mendesak pasukan Cut Meutia. Mereka memuntahkan peluru ke arah pasukan perlawanan Aceh dan berhasil mengenai kepala Cut Meutia. Singa betina ini menghela nafas terakhir menjelang matahari terbit, 25 Oktober 1910. Tepat sebulan setelah syahid Pang Nanggroe.
Setelah Indonesia merdeka, Cut Meutia diangkat sebagai salah satu pahlawan dari Aceh. Mengenang jasa-jasanya terhadap perjuangan Belanda, banyak jalan-jalan di Indonesia memakai nama Cut Meutia. Selain itu, salah satu rumah sakit di Aceh Utara ikut memakai nama srikandi Aceh ini.
Sumber: atjehpost.com