Gua 7 di Sigli |
Pemandangan perbukitan karst yang gersang menjadi suguhan perjalanan, bersama 4 orang teman, menuju lokasi Guha Tujoh Laweung kabupaten Pidie. Jalanan yang berdebu dan berbatu membuat perjalanan terasa lambat dan berat.
Akhirnya disebuah persimpangan jalan yang sempit terlihat sebuah papan nama yang menunjukkan arah masuk menuju Guha Tujoh. Suasana kering dan gersang masih tetap menemani perjalanan yang tinggal beberapa ratus meter lagi itu. Tampak beberapa pedagang sedang duduk berbincang di jalan masuk menuju lokasi gua tujuh.
Mereka segera menawarkan dagangan ketika kami memasuki lokasi tersebut. Selain kami tidak terlihat adanya pengunjung lain yang datang, mungkin itu sebabnya mereka begitu antusias menawarkan dagangannya kepada kami. Warung-warung dagangan mereka terletak dikiri-kanan jalan masuk menuju gua.Sebuah pohon beringin yang tumbuh didepan sebuah gua membuat suasana sedikit nyaman untuk tempat berteduh sebelum memasuki gua.
Perbincangan dengan beberapa pedagang yang juga merangkap sebagai pemandu wisata gua, kami memperoleh keterangan bahwa dilokasi tersebut terdapat sekurangnya 36 buah gua namun belum semuanya tereksplorasi karena pintu gua berada disemak belukar yang sulit ditembus. Sedangkan informasi yang beredar bahwa penamaan Gua Tujuh karena disitu terdapat 7 buah gua merupakan informasi yang keliru.
Menurut mereka gua itu sebenarnya bernamaGua Aulia Tujuh karena didalam gua itu merupakan tempat bersemayam 7 orang aulia yang dikeramatkan. Mengenai rumor yang mengatakan bahwa salah satu gua mempunyai jalan yang tembus ke Makkah itu juga tidak benar.
Tetapi sebagai sebuah gua yang dikeramatkan dan sering dijadikan sebagai tempat pertapaan, pada suatu tingkatan tertentu orang yang melakukan tapa (kalut)tersebut dapat berpindah tempat ke Makkah dengan cara yang tidak dapat dijelaskan kekuatan pikir manusia. Kondisi itulah yang selanjutnya menjadi rumor bahwa gua tersebut mempunyai jalan masuk ke Makkah.
Kejadian-kejadian mistis yang kerap disaksikan oleh pedagang disekitar gua terhadap para pertapa membuat mereka yakin bahwa terdapat sebuah kekuatan gaib yang diperoleh para pertapa yang melakukan kalut di dalam gua tersebut. Selanjutnya mengenai batu bergantung anti-gravitasi mereka tidak memberikan penjelasan panjang lebar karena toh nanti kami akan dapat menyaksikan sendiri bahwa fenomena tersebut adalah benar adanya. Penasaran tingkat tinggi nih…..
Setelah menyiapkan kamera kami mulai memasuki gua lebar yang sedikit menurun. Suasana musim kering sangat terasa dan dinding gua yang pada umumnya lembab terlihat kering. Di dinding sebelah dalam gua terlihat kreativitas tangan-tangan kreatif yang menuliskan tulisan-tulisan kebanggaan mereka. Beberapa pedagang yang tadi berjualan diwarung juga ikut berjalan didepan kami. Mereka menunjuk sebuah lubang gelap yang terdapat tangga kayu.
Ternyata gua yang akan dimasuki adalah lubang gelap tersebut dan gua kering yang sedang kami nikmati hanyalah ruang depannya saja. Suasana lembab dan dingin mulai terasa saat kami berdiri dimulut lubang tersebut. Di dalam gua utama yang gelap itu nantinya akan banyak terdapat gua-gua lain yang berukuran lebih kecil.
Perlahan kami menuruni tangga kayu yang disandarkan didinding gua. Setelah menuruni tangga dan lorong batu sedalam kira-kira 10 meter kegelapan mulai menghalangi pandangan mata. Cahaya senter dan lampu teplok dari pemandu yang mengantar kami menjadi penerang gua yang luas itu. Keadaan gelap membuat kami mulai mengeluarkan bekal senter besar yang kami bawa dan cahayanya mengalahkan cahaya penerangan yang mereka punya, hehe…
Para pemandu dan penjaga warung tanpa diminta ikut turun mendampingi kami. Jadilah suasana gua itu dipenuhi cahaya senter kecil dari para pemandu. Jumlah mereka justru jauh lebih banyak dari kami yang hanya berjumlah 4 orang. Mereka seakan berlomba untuk menjelaskan historis gua dan juga mitos-mitos ornament yang ada di dalam gua.
Sejujurnya saya tidak tertarik dengan semua penjelasan dan mitos-mitos ornament gua yang mereka tunjukkan. Saya mencoba sok ilmiah untuk meyakini bahwa itu semua adalah proses alami yang juga banyak terdapat di gua-gua ditempat lain. Saya hanya tertarik untuk bisa segera melihat batu anti-gravitasi. Namun karena lokasi batu tersebut agak ke jauh dalam jadinya terpaksa kami harus mengikuti jalur yang mereka arahkan.
Tiba disebuah ruangan luas dan becek kami melihat serakan sampah dan botol minuman bekas yang sangat banyak. Tentu saja kami protes kepada mereka karena gua ini ternyata dijadikan tempat pembuangan sampah bekas dagangan mereka. Seorang ibu pemandu yang memegang lampu teplok menjelaskan sambil menunjuk bahwa itu adalah sampah dari atas yang terbawa air saat hujan deras melalui mulut gua vertical lain yang banyak terdapat diatas.
Si ibu tadi sekarang telah berdiri didepan sebuag mulut gua yang kecil dan menjelaskan bahwa dibalik lorong sempit tersebut terdapat ruangan lain yang lebar. Di dalam gua itulah biasanya para pertapa melakukan kalutnya. Jika sedang ada orang yang melakukan kalut disitu pengunjung dilarang mendekati mulut gua karena akan menggangu ketenangan orang yang sedang bertapa. Untuk dapat masuk kedalam ruangan itu pengunjung harus merayap dan tentunya seluruh pakaian akan kotor oleh tanah yang lembab. Karena itu kami tidak memasuki ruangan tersebut. Mungkin lain kali…..
Setelah berkeliling dan berganti-ganti pemandu yang berlomba memberi penjelasan paling menarik menurut mereka tibalah kami disebuah ruang luas. Di tengah ruangan pada langit-langit gua terdapat sebuah gua vertical dan pada mulut gua tersebut terdapat sebuah batu yang bergantung.Batu anti-gravitasi!!! Ketinggian Posisi batu bergantung berada ditengah mulut gua vertical. Batu itu berukuran lebih kurang 2x1,5 meter dan berwarna putih kecoklatan.
Dari hasil pengamatan tampak bahwa sebenarnya batu tersebut tidak sepenuhnya bergantung tetapi ada 2 sudut kecil yang menempel pada dinding gua tetapi secara logika tempelan itu belum memungkinkan batu itu dapat menahan bobotnya untuk tidak jatuh ke lantai. Menurut penuturan mereka dahulunya batu itu berukuran hanya sebesar guci. Lama kelamaan batu itu terus membesar dan hampir menutupi lorong pintu gua vertikal.
Dahulunya lagi cahaya matahari dapat menerobos masuk kedalam gua melalui mulut gua dan jelas kelihatan bahwa batu tersebut tidak bersinggungan dengan dinding gua. Karena hanya memandang dari bawah kami berkesimpulan bahwa satu-satunya kemungkinan adalah terdapat tangkai yang membuat batu tersebut dapat bergantung. Namun pendapat ini dibantah oleh mereka bahwa hal tersebut pernah dibuktikan oleh seorang turis yang penasaran untuk membuktikan bahwa bahwa batu tersebut sebenarnya memiliki tangkai diatasnya.
Turis tersebut menaiki langit-langit gua dengan tangga bamboo pesanan dan segera turun dengan wajah pucat dan membenarkan fenomena tersebut. Siapa turis tersebut, dari mana asalnya, apa profesinya tidak ada yang bisa menjelaskan apalagi untuk mengkonfirmasinya, he… Saat ini setelah peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004 lalu, batu tersebut dibagian atasnya telah menumpuk batu-batu lain yang longsor dan menambah beban yang harus ditampung oleh batu bergantung tersebut.
Setelah berkeliling sekian lamanya ternyata masih banyak lorong-lorong yang belum kami masuki. Menurut penjaga warung, lokasi tersebut seluruhnya merupakan perbukitan karst sehingga jika digali sumur tidak ditemui mata air. Kerap kali masyarakat yang mencoba menggali sumur dikawasan tersebut justru menemukan gua-gua lain dbawah tanah. Kondisi ini menyebabkan dilokasi tersebut tidak ada sumber air bersih bagi pengunjung. Pengunjung yang ingin ke toilet terpaksa harus membeli air mineral.
Saat hendak pulang seorang pemandu yang tadi mendampingi kami keliling gua meminta bayaran seikhlasnya untuk jasanya mengantar kami. Sebagai imbalannya kami memberikan uang sebesar Rp.50.000 untuk jasanya mengantar kami berempat. Hal yang membuat kami kaget adalah ucapannya yang mengatakan bahwa uang itu kurang, tidak cukup sebagai jasa bagi mereka semua yang telah mengantar kami berkeliling.
Ternyata seluruh pemandu dan penjaga warung yang tadinya tanpa diminta ikut turun ke gua bersama kami juga harus mendapat “bayaran seikhlasnya”. Tentu saja hal ini membuat kami sedikit naik darah dan menganggap itu sebagai bentuk pemerasan. Setelah sedikit meninggikan suara akhirnya mereka mau menerima bayaran yang tidak lagi seikhlasnya itu.
Sumber : munhasry.multiply.com
Sumber : munhasry.multiply.com