Indahnya Gayo


Seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya ke Aceh, saya selalu menyiapkan rencana hunting foto ke daerah yang menurut saya punya potensi keindahan alam. Kalau dahulu saya ke Banda Aceh, Lhokseumawe dan Sabang yang memiliki keindahan pantai dan dunia bawah lautnya, kali ini hati saya lebih tertarik dengan alam pegunungan.
Pertama kali ke Aceh Tengah, saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Hingga belasan tahun kemudian saya tidak pernah lagi ke kabupaten yang terkenal dengan kopi tersebut. Baru di tahun inilah saya tertarik sekali ingin kembali melihat keindahan alam Tanah Gayo (sebutan lain untuk daerah Aceh Tengah). Sebagai penggemar fotografi, tentu saja perjalanan ini tidak hanya sekedar untuk menikmati keindahan danau Laut Tawar yang terkenal itu, melainkan juga untuk mengabadikannya dengan kamera.

Minggu pagi, seusai shalat subuh sekitar pukul 6 pagi perjalanan menuju Takengon pun dimulai. Awalnya saya berencana berangkat menggunakan mobil travel. Namun karena keluarga juga ingin ikut berlibur, akhirnya perjalanan dilakukan dengan mobil pribadi. Jarak dari Lhokseumawe ke Takengon yang merupakan ibukota kabupaten Aceh Tengah, kurang lebih 160 km atau sekitar tiga setengah jam perjalanan tanpa berhenti. Dua kabupaten yang dilalui untuk mencapai Takengon yaitu Aceh Jeumpa dan Bener Meriah. Awalnya Bener Meriah merupakan bagian dari Aceh Tengah. Namun sejak tahun 2004 berpisah dari Aceh Tengah. Sebelum memulai perjalanan, jangan lupa untuk mengisi penuh tangki bahan bakar mobil karena setelah melewati Kota Bireun (ibukota kabupaten Aceh Jeumpa) tidak ada POM bensin yang bisa dijumpai kecuali menjelang tiba di kota Takengon.
Selama perjalanan, sebenarnya banyak objek yang bisa diabadikan seperti matahari terbit. Tapi mengingat kami harus mengejar waktu agar tiba di Takengon sepagi mungkin, sehingga moment indah itu harus dilewatkan begitu saja. Di tengah perjalanan, ada objek wisata yang cukup terkenal di wilayah Bener Meriah yang bernama Wehni Kulus. Ini adalah sungai yang berbatu dengan aliran air cukup deras dan yang pasti airnya sangat dingin! Biaya masuk ke lokasi ini juga sangat murah, hanya Rp. 3000 per pengunjung. Sayangnya tempat wisata ini kurang dikelola dengan baik. Beberapa pondok untuk duduk bersantai pun dalam kondisi tidak terawat dan sebagian besar tidak dapat digunakan lagi. Namun bagi penggemar fotografi, aliran sungai Wehni Kulus benar-benar akan menggugah keinginan untuk mengabadikannya.
Setelah mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan. Jalur pendakian dengan jalan yang lebih sempit, agak berlubang dan dikelilingi jurang pun harus dilalui. Laju mobil pun sesekali menjadi lambat karena harus berada di belakang truk dan sulit sekali untuk melewatinya karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan. Selama perjalanan, mata dan leher saya mulai terasa pegal karena menoleh ke kiri dan kanan supaya tidak terlewatkan jika ada pemandangan bagus untuk diabadikan.
Awalnya saya mengira di daerah pegunungan itu hanya ada perkebunan kopi. Suatu pemandangan yang tidak saya bayangkan sebelumnya adalah hamparan sawah bertingkat-tingkat atau biasa disebut terasering, di daerah Kabupaten Bener Meriah. Batang padi yang masih hijau benar-benar memikat pandangan. Seketika itu juga saya minta agar mobil berhenti. Sedikit berbecek-becek karena harus melewati pematang sawah pun terpaksa saya lakukan agar mendapat sudut pengambilan foto yang pas.
Memasuki Kabupaten Aceh Tengah, ada bukit yang terkenal dengan sebutan Enang-Enang. Di pinggir jalannya banyak taman kecil yang ditanami beragam jenis bunga beraneka ragam warna. Tepat dibawah dinding tebing yang ada tulisan Enang-Enang, pemandangan bukit berbentuk seperti deretan punuk unta yang diatasnya ditumbuhi jejeran pohon pinus terlihat indah dengan terpaan sinar matahari pagi.
Beberapa kilometer dari Enang-Enang, pandangan saya tertuju pada tembok dipinggir kanan jalan dengan grafiti yang bertuliskan “Visit Tanah Gayo”. Pikiran saya langsung menghayalkan objek-objek yang sudah diincar sejak masih di Jakarta. “Takengon, I’m coming”.
Memasuki Kota Takengon, saya langsung memilih jalan yang mengelilingi danau Laut Tawar. Maklum, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 dan matahari sudah kurang bersahabat. Perasaan lega muncul seketika saat mobil sudah mulai berjalan dipinggi danau. Hasrat untuk mengeluarkan peralatan foto yang saya bawa menjadi semakin besar. Berhubung sudah lapar, akhirnya kami istirahat sejenak di pinggir jalan sambil menikmati bekal makanan yang dibawa dari rumah. Suasana yang tersaji sangat nyaman. Duduk diatas rumput dengan pemandangan bukit di sisi sebelah kiri dan birunya air danau di sebelah kanan jalan.
Sebagian besar penduduk disekitar danau berprofesi sebagai nelayan dan peternak kuda dan ikan di keramba. Jadi jangan heran jika disekitar danau Laut Tawar anda hanya akan menjumpai keramba-keramba milik penduduk setempat. Sedangkan cafe atau warung makanan akan sedikit sulit untuk mencarinya. Hanya ada beberapa lokasi disekitar danau yang tersedia café dan warung, dan itupun agak berjauhan.
Di beberapa petak sawah yang baru saja dipanen di sekitar danau, sekumpulan kuda-kuda sedang menikmati makan siangnya. Kuda-kuda tersebut merupakan kuda pacu yang dipelihara penduduk. Saya harus mengendap-endap agar bisa mendekat dan memfoto kuda-kuda itu tanpa membuat mereka takut. Beberapa foto pun berhasil saya ambil untuk mengabadikan moment siang itu.
Rencananya saya mau bertemu dengan teman yang tinggal di Takengon untuk memandu hunting foto. Sayangnya beliau sedang sibuk menjadi koordinator acara bersepeda pada hari itu. Untungnya tanpa sengaja kami masih sempat bertemu dan beliau memberi petunjuk lokasi objek-objek yang menarik di sekitar danau. Para peserta acara bersepeda itu juga mengadakan kegiatan membersihkan tepi danau dan menanam pohon.
Merasa cukup dengan informasi yang diberikan, perjalanan mengelilingi danau pun kami lanjutkan. Danau Laut Tawar cukup luas, jalan sejauh 57 km dan sebagian besar berbukit harus dilalui untuk mengelilinginya. Jangan lengah apalagi sampai tertidur, karena terkadang ada pemandangan dan moment indah yang berbeda dari titik spot lainnya. Salah satunya bukit batu berwarna coklat yang ditumbuhi pinus. Bukit ini tampak berbeda dari bukit disekitarnya yang ditumbuhi ilalang. Sesaat akan mengambil gambar, saya melihat seorang nelayan mengayuh sampan mendekati bukit itu. Bagi saya, nelayan dan perahunya adalah “bonus” yang datang tiba-tiba. Tidak mau kehilangan moment ini, menu burst shot di kamera pun dimanfaatkan.
Sebenarnya daerah Tanah Gayo tidak hanya menyajikan pemandangan indah bagi para wisatwan yang suka dengan suasana pegunungan dan juga pecinta fotografi landscape. Bagi pengemar fotografi wildlife, human interest dan makro fotografi pun bisa berburu objek disana. Mulai dari kerbau, kuda, burung, serangga, aneka ragam tumbuhan sampai nelayan yang sedang memancing atau menjala ikan semua ada disana.
Setelah berkeliling, akhirnya mobil sampai di pusat kota. Tapi jangan lupa, kini saatnya membeli oleh-oleh khas Takengon. Karena daerah ini terkenal dengan hasil perkebunannya, selain kopi, oleh-oleh yang paling sering dibeli adalah buah alpukat. Harganya cukup murah, Rp. 3000 per kilogram. Usai berbelanja, kami segera meneruskan perjalanan pulang ke Lhokseumawe agar tidak terlalu malam tiba di rumah, dan itu artinya agenda saya untuk hunting foto kali ini pun selesai sudah. (Van Alvin | aceh.info)