“Atjeh Moorden” Masih Membekas


Pada awal abad keduapuluh Belanda mempopulerkan istilah Atjeh Moorden atau Aceh pungo (gila) kepada rakyat Aceh. Atjeh Moorden secara harfiah berarti pembunuhan Aceh. Apa yang melatarbelakangi sehingga Belanda sangat takut kepada rakyat Aceh pada masa itu?
Perang Aceh melawan Belanda meletus pada tahun 1873. Banyaknya korban yang tewas di pihak Belanda serta keputusasaan karena perang yang tidak juga berakhir, membuat Belanda melaksanakan strategi baru dengan membentuk Pasukan Marsose.
“Tindakan Pasukan Marsose yang kejam terhadap rakyat Aceh membuat perlawanan rakyat tidak lagi secara berkelompok tapi per orang yakni dengan cara membunuh secara spontan,” komentar budayawan Aceh Barat Isnu Kembara.
Fanatik beragama
‘’Makanya mereka menyebut Atjeh Moorden atau Aceh pungo, Aceh gila. Orang Aceh sendiri tidak mempermasalahkan hal tersebut. Aceh gila itu bukan berarti tidak waras, tapi karena mempertahankan mati-matian maka pihak Belanda menyebut kita Aceh pungo. Karena orang Aceh ini kan sangat sakral sekali terhadap agama Islam, fanatik sekali. Misalnya jaman dahulu kalau sudah berperang dengan Belanda itu ada sebuah isi dari hikayat perang sabil (Hai saudara, jangan duduk lagi, ayo kita berperang melawan kafir Belanda. Jangan takut akan darah yang mengalir, di hari akhir dijamin masuk syurga ). Begitu prinsip orang aceh, yang penting bisa masuk surga.’’
Pembunuhan khas Aceh inilah yang membuat Belanda semakin khawatir, sehingga militer Belanda menggunakan istilah Atjeh Moorden, Aceh pungo atau Aceh gila.
Menggunakan rencongSikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat perang, serta didorong oleh semangat hikayat perang sabil, yang istilahnya dalam bahasa Aceh “poh kaphe” atau membunuh kafir, membuat rakyat Aceh secara membabi buta membunuh keluarga Belanda jika bertemu di taman, di pasar. Bahkan ada yang nekad menyerang konvoi pasukan marsose yang sedang berpatroli hanya menggunakan rencong atau parang untuk membunuh.
Hal inilah yang membuat Belanda mengutus seorang penasehat pemerintah urusan kebumiputeraan untuk meneliti perilaku orang Aceh, jelas Isnu.
“Belanda memerintahkan Dr. R.A Kern untuk meneliti sikap perilaku orang Aceh. Ternyata si peneliti ini menyatakan, sifat membunuh orang Aceh ini dilakukan oleh orang yang bukan terganggu jiwanya. Berarti orang waras yang melakukan aksi balas dendam atau istilah Acehnya “tung bila”,” kata Isnu.
Meski jaman sudah berlalu, orang Aceh kini masih merasa memiliki kebanggaan terhadap sebutan Atjeh Moorden atau Aceh pungo, asal istilah tersebut tidak bertentangan dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mati syahid“Cara-cara orang Aceh membunuh secara membabi buta. Dengan rencong yang digulung dalam tikar, dengan bambu runcing atau apa saja yang ada di tangan, mereka langsung membunuh orang kafir tersebut khususnya orang Belanda,” kata seorang warga. “Dengan mengharap pahala syahid ketika ia terbunuh. Arti mati syahid adalah mati dalam memperjuangkan seperti agama Allah atau agama Islam khususnya. Bagi orang Aceh, kalau dibunuh orang kafir maka ia akan mendapat pahala mati syahid.’’
“Jaman sekarang orang Aceh itu tersinggung kalau disebut Aceh gila, tapi kalau disebut Aceh pungo tidak. Malah bersemangat dan bangga, padahal pengertiannya sama, kata pungo dan gila itu. Ya begitulah orang Aceh selalu bangga dengan sejarah masa lalu.’’
Sementara itu psikolog pengajar dari Universitas Teuku Umar Meulaboh, Diah Pratiwi, mengatakan setiap daerah mempunyai cara tersendiri dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah, namun Acehlah yang paling gila dalam berperang.
Pergeseran nilai“Kalau kita melihat sejarah, semua daerah mempunyai ciri khas dalam melawan penjajah, punya kemampuan khusus dalam melawan Belanda. Dan kini ada pergeseran-pergeseran nilai karena pengaruh informasi, teknologi, pendidikan, pengaruh jaman orang Aceh keluar atau orang lain yang masuk ke sini. Ada perubahan kepercayaan dalam mereka melakukan sesuatu. Sekarang  saya tidak mendengar mereka membunuh karena jihad. Artinya ada kasus-kasus yang memang mereka sampai membunuh,” kata Diah.
Marwah keluarga“Dan mereka ringan–ringan saja,” tambahnya. “Yang penting saat ini dia telah memuaskan emosi dendam dan melepaskan dendamnya juga itu yang membuat lega. Istilahnya soal hukum masalah belakang, ini yang membuat orang Aceh sering tidak sabar dengan proses pengadilan, sehingga kadang sangat sulit sebenarnya meredam dendam amarah. Jadi mereka ini harus memuaskan dulu amarahnya jika tidak hal tersebut dapat membuat mereka tidak merasa berharga dan dianggap tidak bisa menjaga marwah keluarga dan ini yang paling penting.’’
Meski jaman sudah berubah dan pengaruh budaya semakin berkembang, aksi-aksi nekad membunuh khas Aceh tersebut sudah mulai terkikis. Namun penggantinya adalah aksi-aksi yang bertujuan untuk mencapai sesuatu yang kadang tidak masuk di akal oleh pihak lain namun ditiru oleh pihak lain pula. (Atjehlink.com)