Nagan Raya – Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Sepertinya kalimat tersebut memang tepat untuk menunjukkan identitas suatu tempat dengan ciri khas dan karakter masing-masing, baik dari aspek adat, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Seperti halnya dengan mayoritas masyarakat kabupaten Nagan Raya setiap menyelenggarakan hajatan sunat maupun perkawinan tidak lengkap rasanya bila tidak dimeriahkan dengan seni lokal Seukat dan Rapai yang sudah diminati sejak puluhan tahun lalu.
Seukat, sebuah seni tari adat lokal yang dimainkan oleh sekelompok gadis-gadis setempat dengan pakaian khas Aceh ala Cut Nyak Dhien. Biasanya, seni tari lokal ini dimainkan oleh lebih dari tujuh orang dengan posisi duduk sejajar dan dipandu oleh seorang pelantun lagu atau disebut Syech.
Dalam memainkan Seukat, lantunan lagu Syech menjadi pengiring sekaligus menjadi pengatur gerakan tim Seukat dalam mengekspresikan seluruh gerakan selama di atas penggung yang ditonton masyarakat.
Selain seni Seukat, duet seni lain yang juga dipentaskan dalam satu malam secara bergantian ada pula Rapai, karena sepertinya tidak lengkap pentas seni tradisional rakyat di Nagan Raya jika kedua seni tersebut tidak dipentaskan berbarengan.
Tak jauh berbeda dengan seni tari Seukat, Rapai juga dimainkan oleh satu tim dengan jumlah personil lebih dari lima orang dengan pakaian seragam khas pemain Rapai. Selain Rapai, dalam seni Rapai juga dilantunkan lagu-lagu sebagai pengiring dalam menabuh Rapai.
Untuk pementasan, kedua seni tari tradisional ini dipentaskan selepas Isya. Secara terus menerus seni tari ini dipentaskan hingga menjelang Subuh, keduanya mengambil waktu bergantian, namun kedua lagunya biasanya saling ada keterkaitan.
Bagi masyarakat gampong setempat yang menyelenggarakan pentas seni tersebut maupun gampong sekitar, mulai dari orang tua, muda-mudi, anak-anak berhamburan keluar untuk menyaksikan seni tari tradisional rakyat tersebut, ada juga yang hanya sekedar nongkrong untuk mengisi malam.
Selain itu, bagi masyarakat, kedua pentas seni tersebut menjadi simbol sekaligus pengikat masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Dari beberapa penuturan masyarakat yang dituakan, seni tari ini sudah dimainkan sejak puluhan tahun lalu, dan secara turun temurun terus dipelihara agar tetap hidup dalam masyarakat Nagan Raya.
Namun beberapa tahun belakangan ini, patut disayangkan kedua pentas seni tersebut sepertinya mulai kurang diminati karena pengaruh seni modern yang tidak mengakar pada kearifan lokal, sehingga secara perlahan seni tradisional terkikis dan terancam hilang dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, untuk seni tari Seukat sampai saat ini masih mengandalkan gadis-gadis setempat dalam memainkannya, sementara untuk Rapai harus didatangkan dari kabupaten tetangga Aceh Barat Daya, dan ini butuh perhatian serius masyarakat dan pemerintah setempat untuk menjamin kelangsungan satu seni tari yang masih tersisa. (atjehlink.com)
Seperti halnya dengan mayoritas masyarakat kabupaten Nagan Raya setiap menyelenggarakan hajatan sunat maupun perkawinan tidak lengkap rasanya bila tidak dimeriahkan dengan seni lokal Seukat dan Rapai yang sudah diminati sejak puluhan tahun lalu.
Seukat, sebuah seni tari adat lokal yang dimainkan oleh sekelompok gadis-gadis setempat dengan pakaian khas Aceh ala Cut Nyak Dhien. Biasanya, seni tari lokal ini dimainkan oleh lebih dari tujuh orang dengan posisi duduk sejajar dan dipandu oleh seorang pelantun lagu atau disebut Syech.
Dalam memainkan Seukat, lantunan lagu Syech menjadi pengiring sekaligus menjadi pengatur gerakan tim Seukat dalam mengekspresikan seluruh gerakan selama di atas penggung yang ditonton masyarakat.
Selain seni Seukat, duet seni lain yang juga dipentaskan dalam satu malam secara bergantian ada pula Rapai, karena sepertinya tidak lengkap pentas seni tradisional rakyat di Nagan Raya jika kedua seni tersebut tidak dipentaskan berbarengan.
Tak jauh berbeda dengan seni tari Seukat, Rapai juga dimainkan oleh satu tim dengan jumlah personil lebih dari lima orang dengan pakaian seragam khas pemain Rapai. Selain Rapai, dalam seni Rapai juga dilantunkan lagu-lagu sebagai pengiring dalam menabuh Rapai.
Untuk pementasan, kedua seni tari tradisional ini dipentaskan selepas Isya. Secara terus menerus seni tari ini dipentaskan hingga menjelang Subuh, keduanya mengambil waktu bergantian, namun kedua lagunya biasanya saling ada keterkaitan.
Bagi masyarakat gampong setempat yang menyelenggarakan pentas seni tersebut maupun gampong sekitar, mulai dari orang tua, muda-mudi, anak-anak berhamburan keluar untuk menyaksikan seni tari tradisional rakyat tersebut, ada juga yang hanya sekedar nongkrong untuk mengisi malam.
Selain itu, bagi masyarakat, kedua pentas seni tersebut menjadi simbol sekaligus pengikat masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Dari beberapa penuturan masyarakat yang dituakan, seni tari ini sudah dimainkan sejak puluhan tahun lalu, dan secara turun temurun terus dipelihara agar tetap hidup dalam masyarakat Nagan Raya.
Namun beberapa tahun belakangan ini, patut disayangkan kedua pentas seni tersebut sepertinya mulai kurang diminati karena pengaruh seni modern yang tidak mengakar pada kearifan lokal, sehingga secara perlahan seni tradisional terkikis dan terancam hilang dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, untuk seni tari Seukat sampai saat ini masih mengandalkan gadis-gadis setempat dalam memainkannya, sementara untuk Rapai harus didatangkan dari kabupaten tetangga Aceh Barat Daya, dan ini butuh perhatian serius masyarakat dan pemerintah setempat untuk menjamin kelangsungan satu seni tari yang masih tersisa. (atjehlink.com)