Let Rusa dan Meu Awe


Let rusa bahasa Aceh, populernya berburu rusa. Sedangkan meu awe perkerjaan mencari rotan. Kedua-duanya lokasi tetap masuk hutan keluar hutan. Bagi sebagian masyarakat, budaya let rusa sudah menjadi tradisi, dagingnya untuk dikonsumsi dan tanduknya menjadi hiasan dinding. Sedangkan meu awe bagian dari mata pencaharian para penduduk daerah tertentu.
Zaman dulu, budaya koleksi ‘onderdil’ bagian-bagian tubuh binatang liar sangat marak. Sebut saja hampir setiap rumah-rumah raja atau pejabat mengoleksi berbagai jenis asesoris dari hasil binatang buruan. Misalnya, kulit harimau, kulit musang, tanduk rusa, gading gajah dan beberapa jenis binatang liar lain dikemas kembali seperti aslinya.
Lalu, sang kolektor memajang koleksinya dekat pintu masuk rumah, sehingga sebagian tamu terkejut melihat duplikat binatang buas tersebut. Bahkan ada yang jatuh pingsan kaget melihat tiba-tiba ada harimau atau buaya sepanjang dua meter berdiri dengan megah dalam rumah.
“Tolong…. tolong…. tolong,” teriak sebagian tamu yang kaget ketika datang ke rumah kolektor hewan liar.
Lain halnya dengan rusa, selain dagingnya halal dimakan juga diambil tanduknya untuk hiasan dinding. Harganya mahal dan indah untuk dipandang lama-lama menjadi barang langka.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara mendapatkan rusa yang konon ceritanya sangat liar. Larinya pun sangat kencang, sehingga menginspirasi Jepang untuk menamai mobil buatan dengan nama ‘Toyota Kijang’ lengkap dengan lambang kepala dan tanduk rusa.
Let rusa yang sudah menjadi tradisi, sebagian masyarakat membentuk kelompok-kelompok pemburu rusa, setelah adanya grup, diangkat pula seorang pawang. Bersama anggotanya yang sudah lengkap peralatan tempur seperti lembing, parang, gelewang juga dibawa beberapa ekor anjing yang sudah terlatih.
Pada saat kejar mengejar rusa dalam hutan, peran anjing sangat menentukan, selain ciuman yang tajam, gong-gongan anjing membuat rusa yang lagi istirahat dalam semak terpaksa keluar mencari perlindungan dari kejaran dan penciuman anjing. Pada saat rusa keluar disitulah terjadi adu kuat antara rusa dengan pemburu dan anjing tadi. Rusa yang diburu dari belakang, seringkali terjebak dari sergapan anjing dan para pemburu yang sudah siaga di beberapa titik.
Bagi masyarakat modern, selain peranan pawang rusa dan anggota pemburu lainnya menggunakan sejata api laras panjang paling efektif berburu rusa yang larinya kencang dibalik semak belukar. Hasil buruanya bisa dapat banyak rusa ketimbang alat tradisional.
Menariknya, let rusa sudah menjadi konsesus tak tertulis, misalnya daging hasil buruan dibagi sama rata kepada sesama pemburu itu sendiri. Namun ada pengecualian pembagian hasil buruan, yaitu kepala dan tanduk rusa biasanya menjadi hak milik pawang rusa. Pada kesempatan lain, bila pawang rusa tidak ikut berburu, kepala dan tanduk rusa hasil buruan tetap diantar untuk sang pawang.
Hal lain yang menarik dari let rusa adalah para pemburu pergi pagi pulang sore. Jika hari itu tidak memperoleh hasil buruanya, esoknya mereka pergi lagi ke satu hutan ke hutan lain. Begitulah budaya let rusa, masuk hutan keluar hutan. Ada kebersamaan, kompak dan saling percaya juga teamwork yang hebat.
Kemudian, apa beda let rusa dengan meu awe? Bila dilihat dari lokasinya, sama sama masuk hutan keluar hutan. Tentu saja ada bedanya! Meu awe tidak perlu melibatkan orang banyak, bisa sendirian atau lebih. Waktunya juga kadang tidak cukup sehari, bisa berhari-hari atau bermingu-minggu, tergantung bekal persiapan, misalnya stok beras, ikan asin, mie instan tak lupa stok rokok untuk beberapa hari hingga sepekan. Pokoknya mencari rotan bisa berlama-lama, bisa juga satu hari sudah bisa pulang dengan hasil yang lumayan.
Memang perjuangan let rusa dan meu awe kadang berdarah-darah karena tergores duri kayu dalam hutan. Hutan adalah rimba Tuhan penuh dengan liku-likunya, bila tidak memiliki bakat petualang bisa saja tersesat di tengah hutan. Bagi mereka yang sudah biasa keluar masuk hutan, bukan persoalan akan tersesat juga pengendalian diri keluar dari jeratan hutan yang penuh misteri itu.
Nah, sekarang timbul pertanyaan, bila kita yang menjadi lakon let rusa, apakah daging rusa masih mau berbagi sama rata dengan teman-teman lain. Masih setiakah pada komitmen kepala rusa tetap milik para pawangnya.
Sebaliknya juga, lagi asik-asyiknya meu awe dalam hutan belantara sementara keluarga dan kerabat kita tinggalkan berlama-lama walau hasilnya dibawa pulang. Atau juga hasilnya meu awe tidak berhasil didapat meski sudah berusaha di dalam hutan hingga bekal habis.
Memang, let rusa dan meu awe pekerjaan yang asyik juga menantang serta membutuhkan keahlian masuk hutan yang penuh dengan semak dan misteri bahkan ranjau duri. Selamat let rusa dan meu awe.(Mustafa A Glanggang / seputaraceh.com)