Keindahan Karang Atol Di Lintasan Barat

Lintasan barat aceh

WOUUWW…… Indaahhh..nya!!
Itulah gumpalan gumam yang akhirnya berderai.  Gumam yang menghambur ketika kami melewati tanjakan gunung cadas yang dibelah di  Desa Lhoong,  kilometer 42.  Dan bersamaan dengan  itu berderai pula  pekik kecil  dari  seringai kegamangan ketika mobil  kami berada di puncak jalan dan mengundang sensasi seolah-olah melompat ke tubir  laut.
Sensasi dari  kelatahan yang mengundang  jerit spontan. Jerit yang kemudian terangkai dalam sebuah kata  tak bermakna,  tapi atraktif,  bahkan impresif. Wwwooouww……..
Kata  yang datang dari  kekaguman atas daya pikat keindahan  hari pertama perjalanan kami,  Banda Aceh-Meulaboh, 245 km.  Atau, kalau mau diringkas lagi, ritual perjalanan Banda Aceh-Calang, 150 kilometer, nan eksotik  bagi anak-anak Lembah Geureute. Lembah yang bagaikan keping kecil kerikil surga yang dicampakkan ke tanah bertuah.
Rasa kagum dari  pesona bukit bergelombang yang  gunung-gunung kecilnya bak anak panah menusuk laut dan membentuk teluk bertubir karang dengan tekstur berlekuk sembari menghamparkan bentangan pantai berpasir putih, berair dangkal dan berterumbu karang,  yang di hari kami berkunjung itu sedang dipermainkan riak kecil  ombak samudera.  Dan, masya Allah keindahannya!!
Saksikanlah teluk dan pantai bergunung karang yang  batuannya dipahatkan alam beribu tahun di kaki Geureute,  kilometer 57.  Pantai, yang dulunya tempat  kampung  “Kuburan Syahid” berlokasi, dan kini telah punah bersama anak negerinya ke hamparan samudera, tanpa menyisakan satu turunan pun, usai gempa dan tsunami menjemput  kematian mereka. Tak ada padanan kata yang bisa mengungkapkan kepermaiannya.
Dan ketika  kami bertamu di negeri yang hilang itu,  di sebuah  siang yang terik, sang teluk dengan kebeningan lautnya sedang asyik menyerap gradasi  biru dari  cerahnya  langit September. Gradasi, yang kadang kala,  mengganggu tatapan kami oleh jelaga kabut  asin dari  panasnya matahari  yang menerbangkan uap air  dan  merabunkan penglihatan kami.
Kerdiplah, dengan mata disipitkan, lengkung  hamparan pasir dari garis pantai memanjang ketika menapaki tanjakan gunung kecil  Kuala Unga,  kilometer 102,  yang tumit bukitnya  menyentuh laut dan  ditempeleng ayunan  gelombang angin barat sembari menimbulkan suara  gelegak dari kecipak air, “kerecek…kerecuk.”  di tebing bebatuannya. Kecipak yang menjalarkan ingatan kita kepada sedotan  air di wahana rekreasi  permainan “waterboom.”
Negeri Kuala Unga, yang kini dipadati rumah “kotak sabun” hadiah sebuah NGO asing ini pernah empat kali tereliminasi fungsi “gampong”nya antara rakit, jembatan, rakit dan jembatan lagi. Negeri yang separuh tanahnya dimakan humbalang baru saja lepas  dari umpat  para penumpang kerena ulahnya menghambat perjalanan sepanjang puluhan tahun.
Ketika  melintasi  Desa Lageun, Aceh Jaya, kilometer 124, yang sepanjang  irisan bibir pantainya dipenuhi jejeran cemara dan pandan laut,  ngangakanlah  telinga Anda. Simaklah senandung bunyi yang silih berganti di gantungan langitnya. Anda akan terpana mendengar alunan “musik” yang bagaikan paduan bunyi gesekan “celo” di sebuah  orkestra. Ada suara merambat dalam nada rendah, dan  ada pula senandung sentimentil ketika barisan cemara kegelian digelitik angin sepoi yang menyusup dicelah reranting dan dedaunan hingga menimbulkan suara  gemerisik dan sesekali berdesir.
Ada pula  iringan bunyi berdentam,  ketika barisan  gelombang  menghentak tubir karang yang menimbulkan  suara gemuruh,  bagaikan tabuhan “rapa’i pase,”  dan terkadang berdebur bagaikan tambur ditalu. Jangan pernah  alpa menyimak  gemericik  iringan ayunan alun   berkejaran menuju bibir pantai sembari menebarkan  jejak buih  yang lidah  airnya  menjilati serabut akar kelapa sembari mendenguskan nafas syahdunya dengan  bunyi, “ssssaaakkkk….. sssuuuukkk…..ssaaakkk… sssuuuukkk… berulang-ulang. Asyik.
Lamat-lamat ikuti pula dengan takzim  interval keheningan, ketika angin mati dan ombak terkulai, seraya mengantarkan ingatan kita pada  kepiawaian Zubin Mehta, seorang dirigen paling terkenal dari orkestra Wina Pilharmonie asal India, yang kala itu sedang memainkan partitur sebuah karya Mozart, sembari  menurunkan ujung tongkat kecilnya untuk mengundang kesenyapan. Itulah musik instrumentalia yang sangat dahsyat. Musik alam milik orkestra Pantai Lageun.
Dan, ketika  kami melewati  Lhok Kreut, kilometer 134, bekas kota kecamatan Sampoinet  yang berpasir putih dan kini daratannya tinggal sejumput tanah untuk lokasi pelabuhan yang terbengkalai, kita di”hadiahi” keindahan  tanjung  menusuk samudera hingga ke ujung tubir.  Sejumput tanah tersisa yang menjadi pertanda di sana dulunya pernah ada sebuah “kota,”  usai dimakan gergasi laut, tsunami, ada salam persahabatan  dari bukit karang  pulau-pulau  tak berpenghuni  dan  tak seorangpun bisa mengingat hari kelahirannya sehingga  tak pernah ada “hakikah”  untuk memberinya nama. Balaslah sapaannya  dengan seulas senyum dan lambaikan tatapan mata Anda ke nelayan di perahu kecil yang terjungkat-jungkit diusik gelombang di ujung “sawang.”.
Bahkan,  ketika kami menginjak tanah tapak tanjakan di  Desa Lhok Buya, kilometer 143,  yang “masya-Allah” keindahan lingkar teluknya,  pandangan kami disergap  lekuk bukit bergerigi  yang  menyembulkan dua  puncak bukitnya, bagaikan  perempuan telentang, dengan  pantat gunungnya menungging ke ujung tubir,  dan digelitik riak birahi laut.
Seusai kelokan datar  jalan Lhok Buya, jangan pernah melupakan untuk singgah, sejenak,  di Rigah, kilometer 144. Anda akan dimanjakan oleh  kesempurnaan destinasi teluk yang memeluk tiga pulau karang atol. Teluk seluas delapan kilometer  persegi itu   membentuk “danau” kecil  dari  lengkungan gunung karang yang mengurungnya dari  ganasnya  laut lepas. Ada  dua “jalan” masuk  di  ke Teluk yang mengantarkan kenangan kita pada destinasi negara wisata Kepulauan Maladewa, di ujung pantat “anak benua” India.  Jalan masuk dari celah sambungan gunung karang yang dijaga dua pulau dan  membentangkan  terumbu karang di laut dangkalnya untuk para penggemar  snokeling.
Teluk, yang dulunya “milik” PT. Inti Timber, sebuah HPH untuk mengekspor kayu log,  yang sering dijadikan tempat berlindung kapal ukuran kecil  dan ponton batubara dari hantaman gelombang dan angin kencang di musim barat itu, mengingatkan banyak orang ke bekas pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Filipina, Teluk Subic. “Saya yakin, Rigah lebih permai dari Subic,” tantang kawan seperjalanan kami yang bertaruh bahwa Rigah lebih elok dan menawan. “Saya pernah bertakziah ke Subic.”
Itulah  penggalan  kecil  gelegak keindahann  “sepotong surga”  di pesisir lembah Geureute. Lembah eksotis  yang sebagian tanah dan anak-anak “aso lhok”nya, penduduk aslinya,  sudah diwakafkan ke samudera luas ketika gergasi laut mencabik daratannya, enam tahun lalu.  Eksotisme, yang dalam diamnya, menyimpan sejuta magma menghancurkan sekaligus “membangun” kembali  keindahan baru yang tak terpermanai.
Magma dari cincin api  kerak bumi yang mendatangkan  ironi dari dahsyatnya tumbukan lempeng Euro Asia dengan lempeng Australia dan menimbulkan  gempa laut dangkal sekaligus mengundang humbalang yang airnya berjelaga hitam. Humbalang yang  datang bagaikan hantu membawa pesan kematian. Humbalang  berombak macam gigi  gergasi,  yang merapuhkan pijakan tanah pesisir.
Gergasi yang memakan tanah daratan, dan setelah ia pergi,  membentuk keindahan baru, yang jauh lebih menawan. Keindahan, yang  ketika hari  kami ziarah,  sedang menyelesaikan proses akhir transformasi alamnya untuk mempermanenkan bentuk teluk, pantai, letak pulau-pulau kecil serta muara sungai  “baru.”  Humbalang  yang  ketika airnya surut,  membawa roh anak negeri  dan menghancurkan “peradaban” lama serta   menyisakan timbunan derita untuk menjadi  cerita yang tidak pernah akan  habisnya untuk dikisahkan.
(sumber: nuga.co)