Cap Sikureung |
Safiatuddin, foto: meukeutop.blogspot.com |
BEBERAPA rumah adat dari berbagai suku di Aceh berdiri kokoh di dalam Taman Sri Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Rumah adat itu diantaranya rumah adat Aceh dan rumah adat Gayo.
Taman Sri Ratu Safiatuddin terletak persis di sisi kanan kantor Gubernur Aceh. Taman ini dibangun saat Gubernur Aceh, Abdullah Puteh berkuasa untuk mengenang peran Sultan Aceh Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat.
Merujuk kepada catatan sejarah Kerajaan Aceh disebutkan, Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat merupakan putri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari permaisuri pertamanya, Putri Sani Ratna Sendi Istana. Sri Ratu memerintah Kerajaan Aceh setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani pada 1050 Hijriyah atau 1641 Masehi.
Selama masa pemerintahannya mulai 1050 Hijriyah hingga 1086 Hijriyah atau 1641 Masehi hingga 1675 Masehi, Kerajaan Aceh mencapai kemajuan yang cukup baik, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini dijelaskan Syekh Nuruddin Ar Raniri dalam bukunya Bustanus Salatin.
Ulama besar Kerajaan Aceh ini menyebutkan pada masa pemerintahan Sultanah itu, kondisi kerajaan sangat makmur. Makanan pun sangat murah dan kondisi kerajaan dalam keadaan aman sentosa.
"...pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin terlalu makmur, dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam kesentosaan dan mengikut segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala hukumnya, dan tawakal pada segala pekerjaannya, dan sabar pada segala barang halnya, lagi mengerasi segala yang durhaka..."
Gambaran tersebut menjelaskan bagaiman suasana Kerajaan Aceh saat dipimpin oleh seorang wanita yang semula mendapat rintangan dari kelompok wujudiah di Aceh. Kelompok ini menyerukan agar Aceh tidak dipimpin oleh seorang wanita karena akan melemahkan kekuatan di dunia.
Kendati politik Aceh mulai memburuk sejak mangkatnya Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Sani, namun perkembangan di bidang pendidikan dan kesusasteraan semakin maju. Di masa Sri Ratu Safiatuddin, banyak muncul ulama-ulama atau sarjana untuk mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu.
Hal ini dapat dilihat dari pengantar seluruh kitab yang menuliskan bahwa atas anjuran Sri Ratu lah kitab itu ditulis.
Beberapa kitab yang lahir di masa itu seperti Bidayatul Iman Fi Fadlilil Manan berbahasa Melayu yang dikarang Syekh Nuruddin Ar Raniri. Selain itu, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala juga berhasil mengarang kitab Miratuth Thullab, berbahasa Melayu.
Di masa pemerintahannya, Sri Ratu Safiatuddin banyak mengambil langkah dalam meningkatkan kedudukan kaum wanita dengan membuat peraturan untuk melindungi kaum hawa. Warisan Sri Ratu Safiatuddin lainnya berupa Cap Sikureung, yaitu stempel sah Kerajaan Aceh.
Setiap Sultan atau Sultanah (Ratu) yang memerintah di Aceh selalu menggunakan sebuah Cap resmi kesultanannya, yang didalam bahasa Aceh disebut Cab Sikureung (Cap Sembilan). Pemberian nama ini didasarkan kepada bentuk stempel itu sendiri yang mencantumkan nama sembilan orang Sultan dan nama Sultan yang sedang memerintah itu sendiri terdapat di tengah-tengah.
Cap Sikureung (Kulit luar) bermakna 9 Sultan :
1. Paling Atas
Sultan Ahmad Syah, yakni Raja pertama Dinasti Aceh-Bugis yang terakhir, 1723-1735, adalah Sultan yang ke-XX, sebelum tahun 1723 disebut dengan gelar Maharadja Lela (Melayu)
2. Kanan Atas
Sultan Djauhan Syah, yakni Putera Raja sebelumnya, 1735-1760, adalah Sultan ke-XXI, bergelar Raja Muda
3. Paling Kanan
Sultan Mahmud Syah, yakni Muhammad atau Mahmoud Syah I, Cucu Sultan Ahmad Syah, 1760-1763, adalah Sultan ke-XXII
4. Kanan Bawah
Sultan Djauhar 'Alam, yakni Cicit laki-laki Sultan Ahmad Syah, 1795-1824, adalah Sultan ke-XXVII
5. Paling Bawah
Sultan Manshur Syah, yakni Putera Djauhar Alam, sekitar 1857-1870, adalah Sultan ke-XXVIII
6. Kiri Bawah
Sultan Said-al-Mukamal, yakni Alauddin al-Qahhar, 1530-1557, adalah Sultan Aceh ke-III
7. Paling Kiri
Sultan Meukuta Alam, yakni Sultan Iskandar Muda, 1607-1636, adalah Sultan Aceh ke-XI
8. Kiri Atas
Sultan Tadjul 'Alam, yakni Ratu Safiatuddin, Sultan wanita pertama Aceh, 1641-1675, adalah Sultan ke-XIII (Puteri Iskandar Muda)
9. Tengah
Waffaa-Allah Paduka Seri Sultan Alauddin muhammad Daud Syah Djohan Berdaulat zil-Allah fil'Alam, yakni adalah Sultan Muhammad Daud Syah, 1879-1903, Sultan Aceh yang terakhir.
Pada Segel-segel Sultan Aceh, tiga tempat diperuntukkan kepada raja-raja yang memerintah dari dinasti sebelumnya. Lima tempat diperuntukkan pada Raja-raja keluarga sendiri, dan yang satu dari yang 5 adalah raja pendiri dan dinastinya. Dan yang terletak di tengah-tengah yaitu Sultan atau Sultanah (Ratu) yang sedang memerintah. (Penjelasan Cap Sikureung ini berdasarkan stempel terakhir milik Kerajaan Aceh).
Taman Sri Ratu Safiatuddin terletak persis di sisi kanan kantor Gubernur Aceh. Taman ini dibangun saat Gubernur Aceh, Abdullah Puteh berkuasa untuk mengenang peran Sultan Aceh Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat.
Merujuk kepada catatan sejarah Kerajaan Aceh disebutkan, Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat merupakan putri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari permaisuri pertamanya, Putri Sani Ratna Sendi Istana. Sri Ratu memerintah Kerajaan Aceh setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani pada 1050 Hijriyah atau 1641 Masehi.
Selama masa pemerintahannya mulai 1050 Hijriyah hingga 1086 Hijriyah atau 1641 Masehi hingga 1675 Masehi, Kerajaan Aceh mencapai kemajuan yang cukup baik, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini dijelaskan Syekh Nuruddin Ar Raniri dalam bukunya Bustanus Salatin.
Ulama besar Kerajaan Aceh ini menyebutkan pada masa pemerintahan Sultanah itu, kondisi kerajaan sangat makmur. Makanan pun sangat murah dan kondisi kerajaan dalam keadaan aman sentosa.
"...pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin terlalu makmur, dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam kesentosaan dan mengikut segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala hukumnya, dan tawakal pada segala pekerjaannya, dan sabar pada segala barang halnya, lagi mengerasi segala yang durhaka..."
Gambaran tersebut menjelaskan bagaiman suasana Kerajaan Aceh saat dipimpin oleh seorang wanita yang semula mendapat rintangan dari kelompok wujudiah di Aceh. Kelompok ini menyerukan agar Aceh tidak dipimpin oleh seorang wanita karena akan melemahkan kekuatan di dunia.
Kendati politik Aceh mulai memburuk sejak mangkatnya Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Sani, namun perkembangan di bidang pendidikan dan kesusasteraan semakin maju. Di masa Sri Ratu Safiatuddin, banyak muncul ulama-ulama atau sarjana untuk mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu.
Hal ini dapat dilihat dari pengantar seluruh kitab yang menuliskan bahwa atas anjuran Sri Ratu lah kitab itu ditulis.
Beberapa kitab yang lahir di masa itu seperti Bidayatul Iman Fi Fadlilil Manan berbahasa Melayu yang dikarang Syekh Nuruddin Ar Raniri. Selain itu, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala juga berhasil mengarang kitab Miratuth Thullab, berbahasa Melayu.
Di masa pemerintahannya, Sri Ratu Safiatuddin banyak mengambil langkah dalam meningkatkan kedudukan kaum wanita dengan membuat peraturan untuk melindungi kaum hawa. Warisan Sri Ratu Safiatuddin lainnya berupa Cap Sikureung, yaitu stempel sah Kerajaan Aceh.
Setiap Sultan atau Sultanah (Ratu) yang memerintah di Aceh selalu menggunakan sebuah Cap resmi kesultanannya, yang didalam bahasa Aceh disebut Cab Sikureung (Cap Sembilan). Pemberian nama ini didasarkan kepada bentuk stempel itu sendiri yang mencantumkan nama sembilan orang Sultan dan nama Sultan yang sedang memerintah itu sendiri terdapat di tengah-tengah.
Cap Sikureung (Kulit luar) bermakna 9 Sultan :
1. Paling Atas
Sultan Ahmad Syah, yakni Raja pertama Dinasti Aceh-Bugis yang terakhir, 1723-1735, adalah Sultan yang ke-XX, sebelum tahun 1723 disebut dengan gelar Maharadja Lela (Melayu)
2. Kanan Atas
Sultan Djauhan Syah, yakni Putera Raja sebelumnya, 1735-1760, adalah Sultan ke-XXI, bergelar Raja Muda
3. Paling Kanan
Sultan Mahmud Syah, yakni Muhammad atau Mahmoud Syah I, Cucu Sultan Ahmad Syah, 1760-1763, adalah Sultan ke-XXII
4. Kanan Bawah
Sultan Djauhar 'Alam, yakni Cicit laki-laki Sultan Ahmad Syah, 1795-1824, adalah Sultan ke-XXVII
5. Paling Bawah
Sultan Manshur Syah, yakni Putera Djauhar Alam, sekitar 1857-1870, adalah Sultan ke-XXVIII
6. Kiri Bawah
Sultan Said-al-Mukamal, yakni Alauddin al-Qahhar, 1530-1557, adalah Sultan Aceh ke-III
7. Paling Kiri
Sultan Meukuta Alam, yakni Sultan Iskandar Muda, 1607-1636, adalah Sultan Aceh ke-XI
8. Kiri Atas
Sultan Tadjul 'Alam, yakni Ratu Safiatuddin, Sultan wanita pertama Aceh, 1641-1675, adalah Sultan ke-XIII (Puteri Iskandar Muda)
9. Tengah
Waffaa-Allah Paduka Seri Sultan Alauddin muhammad Daud Syah Djohan Berdaulat zil-Allah fil'Alam, yakni adalah Sultan Muhammad Daud Syah, 1879-1903, Sultan Aceh yang terakhir.
Pada Segel-segel Sultan Aceh, tiga tempat diperuntukkan kepada raja-raja yang memerintah dari dinasti sebelumnya. Lima tempat diperuntukkan pada Raja-raja keluarga sendiri, dan yang satu dari yang 5 adalah raja pendiri dan dinastinya. Dan yang terletak di tengah-tengah yaitu Sultan atau Sultanah (Ratu) yang sedang memerintah. (Penjelasan Cap Sikureung ini berdasarkan stempel terakhir milik Kerajaan Aceh).
(sumber: atjehpost.com)