Keumala Hayati, Laksamana pemimpin pasukan Inong Balee

...LIRIH terdengar suara itu memanggil jiwa untuk maju//Dari tanah mu hai Aceh lahir perempuan perkasa bukan hanya untuk dikenang//Tapi dia panglima Laksamana Jaya memanggil kembali untuk berjuang//Dia perempuan Keumala//Alam semesta restui//Lahir jaya berjiwa baja Laksamana Malahayati perempuan ksatria negeri...//

Lirik lagu tersebut dilantunkan Sang Maestro, Iwan Fals mengenang perjuangan Laksamana Malahayati. Keumala merupakan wanita Aceh yang memimpin armada laut kerajaan dan 2 ribu pasukan Inong Balee. Pasukan ini terdiri dari wanita-wanita Aceh yang suaminya tewas dalam perempuan Teluk Haru melawan Portugis.

Berdasarkan catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh menceritakan, pembentukan pasukan Inong Balee ini dilakukan Laksamana Malahayati setelah meminta izin dari Sultan Aceh, Sultan Al Mukamil. Permohonan itu dilakukan Keumala setelah suaminya ikut tewas dalam peperangan meski armada Kerajaan Aceh memperoleh kemenangan melawan Portugis.

Permintaan ini dikabulkan Sultan Al Mukamil dan Laksamana Malahayati diangkat menjadi panglimanya. Armada ini ditugaskan menjaga Teluk Krueng Raya, Aceh Besar dari gangguan bangsa asing.

Konon diceritakan Keumala Hayati awalnya mendapat pendidikan militer di pusat pendidikan tentara Aceh Asykar Baital Makdis. Dia mendapat pelatihan langsung dari instruktur perwira Turki Utsmaniyah.

Di kamp militer inilah Malahayati berkenalan dengan suaminya yang kelak diangkat menjadi Panglima Armada Selat Malaka Aceh. Usai menjalani pendidikan di Baital Makdis, Keumala Hayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud Dunia oleh Sultan Aceh.

Nama Keumala Hayati menjadi populer setelah berhasil menyerbu kapal-kapal perang Belanda yang menyamar jadi kapal dagang. Armada kapal Belanda itu dipimpin Houtman bersaudara yang mengkhianati kepercayaan Sultan Aceh.

Pengkhianatan yang dilakukan dua Zeelander ini setelah berhasil masuk ke Aceh pada 21 Juni 1599 Masehi. Mereka melakukan manipulasi dagang, mengacau, dan menghasut sehingga membuat Sultan Aceh gerah.

Sultan Aceh kemudian memerintahkan Armada Inong Balee menyerbu kapal De Houtman bersaudara pada 11 September 1599. Pertempuran sengit berlangsung di atas geladak kapal Belanda. Cornelis de Houtman berhasil ditikam dan mati di tangan Laksamana Keumala Hayati sementara saudaranya, Frederick de Houtman ditawan.

"Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya oleh Laksamana Malahayati sendiri, sementara sekretaris rahasianya menyerang Frederick de Houtman dan ditawannya serta dibawa ke darat. Davis dan Tomkins menderita luka..." tulis Marie van C. Zeggelen dalam bukunya berjudul Oude Glorie.

Keberhasilan Malahayati dalam menumpas pengkhianatan de Houtman bersaudara ini membuat karirnya meningkat. Dia dipercaya menjabat sebagai panglima perang angkatan laut kerajaan.

Ketangguhan Laksamana Malahayati menjaga gerbang masuk ke Aceh membuat Kerajaan Belanda yang dipimpin Prince Maurits terpaksa mengambil langkah damai. Belanda mengirimkan utusan yang berangkat dengan empat buah kapal dagang, yaitu Zeelandia, Middleborg, Lange dan Sonne.

Laksamana Malahayati ditugaskan untuk memeriksa kapal-kapal utusan Belanda ini. Setelah mendapat rekomendasi dari panglima armada laut perempuan itu, utusan Belanda baru dapat menemui Sultan Aceh.

Bukti peninggalan sejarah armada Laksamana Malahayati kini bisa dijumpai di Desa Lamreh, Krueng Raya. Di desa itu terdapat Benteng Kuta Inong Balee, markas pasukan Keumala Hayati di Teluk Krueng Raya.

(sumber: atjehpost.com)