Menikmati suasana Belanda di Kerkhof Peutjoet

Kerkhof di Banda Aceh. @atjehpost.com
NYAMAN dan asri. Inilah kesan pertama saat memasuki pintu gerbang utama Kherkof Cementery atau yang lebih dikenal denganKherkof Peutjoet. Nama Kerkhof sendiri berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti Gereja atau Kuburan. Jalur masuk yang panjang mencapai puluhan meter dan lebar tampak menyerupai altar gereja, namun yang ini hanya berbahan dasar aspal. Di ke dua sisi altarrumpun-rumpun bunga melati terlihat tertata rapi, dengan warna bunganya yang putih, juga ada bougenvile dengan bunganya yang warna-warni.

Kerkhof Peutjoet diapit oleh gedung Museum Tsunami yang tampak tinggi menjulang di sisi sebelah kirinya, gagah dan menarik perhatian dengan warna cokelat yang terang. Sedangkan di ruas kanan diapit oleh sebuah perguruan Katholik Budhi Darma. Di bagian depan, terdapat taman thank to the world atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lapangan Blang Padang.

Meski di area ini terdapat 2.200 makam namun tidak sedikitpun ada kesan angker, sebagaimana kesan umum yang ditemui di area pekuburan. Suasana inilah yang membuat Kerkhof Peutjoet mempunyai daya tarik tersendiri bagi pengunjung, baik lokal maupun dari manca negara.

Pengunjung dapat dengan bebas menyusuri area makam untuk melihat-lihat, atau mengabadikan berbagai moment di komplek makam ini, bahkan banyak juga bagi pasangan yang akan menikah melakukan foto preweddingnya di tempat ini. Terutama di hari-hari libur.

Setelah melewati pintu utama kita akan bertemu dengan sebuah pintu gerbang yang kokoh dan tinggi. Dibuat pada tahun 1893 Masehi berbahan dasar batu bata. Di atas pintu tertulis sebuah kalimat dengan kosa kata arab, melayu dan huruf jawa. Onze kameraden gevallen op het veld van eer begitu kalimat yang tertera di sana yang artinya untuk sahabat kita yang gugur di medan perang.

Dinding-dindingnya yang tebal berwarna krem dengan les cokelat, di setiap ruasnya terdapat lapisan batu marmar yang digrafir nama-nama pejuang yang terdapat di dalam komplek makam. Lengkap dengan tahun serta lokasi kejadian.

Nama-nama yang tertera di dinding tercatat sejak tahun 1873 M sampai pada tahun 1935 M. Dari 2.200 nama yang tercatat, 35 nya adalah prajurit angkatan laut kerajaan dan 118 orang perwira. Sedangkan sisanya didominasi oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Komplek makam ini masuk ke kawasan Blower, kelurahan Suka Ramai yang terletak di Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Di sebelah timur berbatasan langsung dengan jalan T. Umar, Stui. Bersebelahan dengan taman Ghirah atau lebih dikenal dengan sebutan Taman Gunongan.

Di sinilah terdapat sebuah makam seorang Jenderal Belanda yang sangat terkenal pada masa itu yaitu J.H.R Kohler (1818-1873 M). Dalam buku panduan Kuburan Militer Peutjoet yang ditulis oleh G.A Geerts yang menjabat sebagai wakil ketua Yayasan Peutjoet Belanda, Jenderal Kohler digambarkan sebagai sosok lelaki Belanda yang memiliki wajah agak persegi, matanya cokelat dan berkulit putih kemerahan, rambutnya merah seperti rambut jagung dan kumisnya tebal.

Kohler adalah perwira komandan pada ekspedisi Aceh yang pertama. Pada tanggal 8 April 1873 ia mendarat dengan pasukannya di pantai utara Aceh. Setelah membentuk pangkalan jembatan di dekat sungai Aceh, ia bermaksud untuk bergerak menuju ke Kraton tempat kediaman Sultan Aceh, sayangnya Kohler tidak mengetahui secara pasti di mana lokasi Kraton.

Kohler dipromosikan menjadi Mayor Jenderal pada tanggal 10 April 1873, pada hari berikutnya Masjid Raya Baiturrahaman dibakar oleh Belanda yang menimbulkan kemarahan luar biasa dari rakyat Aceh dan terjadilah peperangan yang sangat sengit.

Kira-kira pukul 08.30 pagi bertepatan dengan tanggal 14 April 1973 Kohler datang untuk melihat-lihat situasi dengan teropongnya, saat itulah ia ditembak oleh seorang penembak Aceh, lokasinya berada di halaman Masjid Raya Baiturrahman, sampai sekarang masih terdapat monumen kematian Kohler di sana.

Setelah kematiannya, jenazah Kohler kemudian diterbangkan ke Batavia dan dikuburkan di pekuburan Tanah Abang Jakarta. Namun, karena ada rencana pengembangan kota Jakarta pada tahun 1975, atas permintaan masyarakat Aceh akhirnya pada tahun 1978 jasad Kohler dipindahkan ke Aceh pada tanggal 19 Mei. Setelah 105 tahun ‘menetap’ di pekuburan Tanah Abang Jakarta, sang Jenderal pun kembali ke Aceh. Ke tanah tempat di mana ia menghembuskan nafasnya yang terakhir kali.

Selain Kohler tentu saja banyak prajurit-prajurit lainnya yang terkenal dan dimakamkan di sini, salah satunya adalah Letnan Kolonel J.J Roeps yang terbunuh pada tahun 1840. Mereka-mereka yang dikuburkan di sini termasuk para perempuan dan anak-anak yang terkena wabah penyakit seperti malaria.

Namun, dari ribuan makam berwarna putih yang tampak sangat terawat dan bersih tersebut,di bagian timur kompleks makam terdapat pemandangan lain. Di bawah sebatang pohon yang rimbun terdapat tiga buah makam dengan kondisi memprihatinkan. Rumput-rumput ilalang tampak tumbuh berantakan. Yah, salah satu dari makam itu adalah milik Meurah Pupok, putra Sultan Iskandar Muda, yang dihukum karena suatu kesalahan. Konon katanya, pada saat Sultan menghukum puteranya inilah lahir ungkapan Matee aneuk meupat jirat, gadoh adat pat tamita.

Meski terletak di area Kerkhof, namun pihak Yayasan Peutjoet di Belanda tidak ikut mengurus makam Meurah Pupok. Karena mereka beranggapan itu di luar kewenangan Yayasan.

Adalah Habibah (45), yang sudah belasan tahun menjaga dan merawat Kerkhof ini mengatakan bahwa pada waktu-waktu tertentu ada petugas khusus yang datang untuk membersihkan makam Meurah Pupok. Namun ia tidak mengetahui secara pasti dari mana mereka berasal. “Sepengetahuan saya juga tidak pernah ada keturunan Sultan yang berkunjung ke makam ini.

(sumber: atjehpost.com)