Kota Bireuen@bisnisaceh.com |
Bireuen tanpa emblem Aceh. Bukan berarti Bireuen tanpa identitas Aceh. Jalaran hurufnya yang membentuk kata “bireuen” sendiri, secara spesifik, sudah menegaskan ke”aceh”annya yang kelat. Coba baca dengan struktur kata yang “benar.” Ia pasti akan berbunyi,”bi-re-u-en.” Padahal kalau dilafadkan ia cukup sekali pangkas saja “biren.”
Bireuen memang unik sebagai kota plural di tombak “tusuk sate” yang menjadi “hub” untuk determinasi “aceh” pesisir dengan “aceh” pedalaman. Aceh yang mengakulturasikan budaya pantai yang terbuka dengan kultur pedalaman yang sulit mengadaptasikan kemoderanan pesisir yang sangat “entreu.”
Bireuen memang pantas disebut sebagai kota “keajaiban” ketika ia luruh dalam gerak cepat perubahan. “Ia agak metropole menerima klutur luar. Tak percaya? Selisiklah Bireuen hari-hari ini yang melakukan lompatan modern yang, terkadang, sangat liar.
Keliaran ini tercermin dari tingkat kriminalitasnya yang tinggi dan dorongan kemoderanan yang terkadang salah arah. Pergaulannya dengan entitas budaya yang sangat Medan dan Jakarta menyebabkan Bireuen tumbuh secara ekstrim melampui kota-kota lainnya di Aceh.
Memang ada Meulaboh dan Langsa yang juga plural. Tapi bisa dikalahkan Bireuen dengan sekali sebut saja identitas “kemajuannya. “Mungkin lompatan yang dilakukan Bireuen sangat kuat karena adaptasinya sejak zaman kerajaan aceh sebagai kota penghubung dengan pedalaman.
Di ujung duha, hari terakhir Maret lalu kami singgah ke sana. Kami tidak untuk menceramahi tentang Bireuen yang pernah menjadi kota industri di masa kejayaan “Puspa.” Kejayaan ketika ia memiliki pabrik kawat berduri, paku, korek api dan karoseri yang mengalahkan Pulau Brayan di Medan.
Hari itu kami hanya ingin menikmati Bireuen sebagai “kota” kripik” pisang. Kota yang kalah pamor dari masa silamnya ketika menjadi “zona” industri. Bireuen yang kami singgahi dalam perjalanan panjang itu, kini, lebih dikenal dengan i segitiga emas Aceh pesisir utara yang menjadi sudut lancip untuk Pidie Jaya, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Utara. Ia tidak menjadi kota tujuan, tapi transit bagi pelintas seperti kami, hari itu, yang sedang menuju Medan.
Bireuen hari kami singgah sudah mengapung identitas kota “industri”nya ke langit awan. Tak ada lagi Cot Gapu yang berdengung dengan pabrik-pabrik besar dan tumpukan bengkel dan usaha karoseri. “Itu masa lalu,” kata Moechtar, seorang tetua, yang dulunya seorang “gentle” yang memiliki usaha karoseri besar. “Kini kota ini sudah degradasi menjadi penjual kripik pisang,” katanya terbahak.
Ya, Bireuen memang kota “kripik” pisang hari-hari ini. Daya tarik Bireuen sudah “nelangsa” dengan kios-kios keripik pisang sepanjang jalan Blang Bladeh. Jajan dagangan yang memanjang dari kecamatan Kota Juang dengan Kecamatan Jeumpa.
Dulu, sebelum di pindah ke kawasan ini penjual kripik pisang itu menumpuk di Jalan Merdeka dan menyemak hingga memacetkan lintasan “Di kawasan ini memang ada untung ruginya. Kalau hari cerah banyak yang belanja. Jika mendung dan hujan pelintas enggan singgah karena tak ada tempat berteduh,” kata Arsinah seorang penjual.
Keripik pisang Bireuen memang khas. Ada rasa yang berbeda dengan kripik serupa di tempat lain. Gurihnya. Ragamnya. Mulai dari “taste” manis, asin, tawar dan pedas. Dan ragamnya mulai dari kripik pisang, keripik sukun, keripik kentang dan aneka makanan ringan lain sebagai pelengkap.
Saking terkenalnya Bireuen sebagai “kota kripik” para pelintas hampir tak pernah melewatkan kawasan ini untuk sekadar “jajan” keripik. Hari itu kami melihat barisan mobil pribadi yang menepi bersama dengan bis angkutan umum untuk “sekadar” belanja kripik..
hari itu pula kami bergerombolan dengan banyak pengunjung. Umumnya para pembeli adalah pendatang. “Ini ritual yang kami jalani setiap melintas,” kata seorang teman ketika bertemu di sebuah kios. “Belum tentu untuk kebutuhan sendiri. Tapi ada kewajiban untuk singgah,” katanya.
Sama seperti sang kawan. Saya juga sudah diingatkan dengan keras oleh “penumpang” rumahan untuk berhenti membeli keripik di Bireuen.”Pokoknya singgah,” katanya.
Terlepas dari adanya “paksaan” untuk singgah, secara jujur kami bisa mengatakan, selain gurih, harga aneka keripik ini tergolong murah untuk ukuran kantong masyarakat umum. Untuk jenis kripik pisang harganya “cuma” Rp 15.00 per kilogram, sedangkan kripik sukun Rp 40.000 per kilogram.
Terlepas dari adanya “paksaan” untuk singgah, secara jujur kami bisa mengatakan, selain gurih, harga aneka keripik ini tergolong murah untuk ukuran kantong masyarakat umum. Untuk jenis kripik pisang harganya “cuma” Rp 15.00 per kilogram, sedangkan kripik sukun Rp 40.000 per kilogram.
Harga kripik di Bireuen jarang yang stabil. Turun naik. Sangat tergantung dengan harga dan pasokan pisang. Alta, seorang pedagang yang agak besar mengakui penjualan keripik mereka sangat tergantung dengan pasokan dan harga pisang ditingkat pedagang.
Namun begitu, terlepas dari harga yang naik turun, jualannya tetap laku keras setiap akhir pekan, terutama Sabtu dan Minggu, serta pada momen perayaan hari-hari besar seperti lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. DI hari-hari itu banyak pelintas melewati Bireuen untuk bepergian. “Hari biasa kadang sepi, tapi setiap akhir pekan ya ramai,” katanya.
Manisnya berdagang kripik kini menjadi pilihan hidup bagi masyarakat sekitar, terutama setelah Aceh damai. Para pedagang umumnya berasal dari penduduk dan meraka mengaku ada kemakmuran dari berdagang kripik kelangsungan perekonomian keluarga mereka sehari-hari.
Omzet penjualan rata-rata per pedagang di atas berkisar Rp 3050 ribu per hari. Husain misalnya, pada akhir pekan atau hari-hari besar, penjualan meningkat hingga tiga kali lipat lebih. Dengan harga lumayan terjangkau bagi semua kalangan, dipastikan keripik-keripik itu menjadi primadona sebagai buah tangan.
Produksi keripik ini berasal dari “home” industry dan relatif menyebar. Ada puluhan sentra industri di Kecamatan Juli, Peusangan, Jeumpa dan Kota Juang yang membuka usaha kripik. Yang pasti usaha kecil ini mampu menyerap ratusan tenaga kerja.
Sebulan lalu kripik pisang Bireuen ini diterpa isu tak sedap. Entah dari mana asal muasalnya isu penggunaan bahan plastik untuk menggoreng keripik agar tahan lama menyebar bak virus yang hampir saja menenggelam ribuah orang mengangggur. Untuk saja isu itu terkelupas begitu saja dalam desas desus yang sulit dipercaya. Memang sempat anjlok penjualannya, tapi kini sudah stabil..
Hari kami singgah isu itu sudah terhapus bersamaan ramainya pembeli yang singgah dari berbagai daerah. Tak hanya siang hari, pada malam hari kios-kos itu masih dipadati pengunjung yang khusus mampir memburu aneka jenis keripik.
Kendati pernah mendengar isu tersebut, beberapa pembeli mengaku tak ambil pusing karena merasa tak ada perubahan rasa saat mencicipi keripik yang dikonsumsi. “Sudah pernah dengar plastik digoreng dalam keripik biar awet, tapi saya yakin di tempat saya membeli tidak seperti itu,” ungkap seorang pembeli kepada kami.
(Sumber: Darmansyah/nuga.co)