Kari kambing Aceh. Foto: Kompas |
Muhammad (45), sang koki kampung, menuang minyak kelapa dalam kuali besi bergaris tengah nyaris semeter. Begitu mendidih, dia segera menuang aneka bumbu: serai, bungong lawang keling, daun pandan, daun salam, bawang putih keprek, bawang merah iris, dan daun temurui (bay leaf). Wangi rempah pun menguar, memenuhi kolong meunasah.
Itu baru permulaannya saja. Muhammad lantas menuang seember penuh potongan daging dari tiga ekor kambing ke dalam kuali. Begitu daging mulai layu, ia menambahkan seember penuh bumbu kental berwarna kuning ke atasnya. Dengan tangan telanjang, Muhammad mengaduk bumbu dan daging langsung di atas kuali. Campuran air dan asam jawa kemudian ditambahkan. Ketika kuah daging mendidih, santan ditambahkan.
Dalam dua jam, kuah kare kameng—bahasa Aceh untuk kari kambing—nan berlemak itu pun matang. Segera saja udara dipenuhi wangi kari. Muhammad menciduk kari kambing dan menyodorkannya ke empat orang juru masak senior yang hari itu berperan sebagai juru cicip. Mereka diam sesaat menunggu jejak rasa kari tercecap di lidah. Setelah itu, mereka membisiki Muhammad. Juru masak itu bergegas menambahkan garam dan beberapa rempah.
Para pencicip mencoba lagi. Kali ini, mereka menganggukkan kepala tanda kari tersebut pantas dihidangkan dalam kenduri maulid hari itu.
Muhammad pun bisa bernapas lega. Puluhan laki-laki di meunasah yang sedari pagi ingin berpesta kari tersenyum gembira. Mereka segera berbaris untuk mendapatkan sepiring kari. Kami juga kebagian mencicipi kari dengan daging demikian empuk. Setiap tetes kuahnya menghadirkan aneka rasa yang serasi: gurih, pedas, hangat, asin, dan asam. Hari itu kami benar-benar pesta kari.
Di sela-sela kemeriahan pesta, Muhammad menceritakan rahasia kelezatan kari aceh. Ada 22 bumbu yang ia gunakan, antara lain kelapa gongseng, kelapa kukur, santan, kemiri, kunyit, pala, lawang keling atau bisa diganti cengkeh, lada, jahe, cabai, kayu manis, daun kari, pandan, dan sederet bumbu lain. Aneka bumbu itu harus diracik dalam takaran yang pas. ”Seberapa pun daging yang dimasak, kelezatan harus tetap sempurna,” ujar Muhammad yang biasa memasak dalam ukuran satu-dua ekor kambing atau lembu.
Buat kami, kari masakan Muhammad hari itu sudah lezat. Namun, di lidah seorang pencicip, Razali Hanafiah (61), rasa kari itu belum sempurna. ”Bumbunya masih kurang, harusnya ada 24 bumbu,” kata Razali, paman sekaligus guru masak Muhammad.
Dia lantas menunjukkan dua jenis bumbu yang absen dalam kari olahan Muhammad hari itu, yaknikacakra ci (kaskas ) dan jinten manis yang disimpan rapi di dalam stoples. Kacakra ci yang berbentuk butiran kecil berwarna kuning kecoklatan itu menambah rasa gurih pada kuah kari. ”Payah (susah) memang mencari bumbu ini sekarang. Kita harus cari di warung India,” kata Razali.
”Kalau mau lebih enak lagi, ya, ditambah biji bakung (baca: ganja),” sahut Muhammad. ”Tapi, kare kameng tadi tidak pakai, ya,” dia buru-buru menambahkan.
Dulu, biji ganja kerap dipakai dalam masakan Aceh. Fungsinya untuk memberi rasa gurih dan mengempukkan daging. Ada yang percaya biji-biji itu meningkatkan nafsu makan. ”Saking populernya ganja di masa lalu, ada hikayat yang menulis soal itu. Biji bakung itu sempat jadi identitas orang Aceh,” kata Nurdin, peneliti hikayat sekaligus Kepala Museum Aceh.
Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, menambahkan, ganja dulu dipakai orang Aceh sebagai bumbu makanan dan racikan obat. ”Waktu saya kecil, ketika tidak ada ikan atau daging untuk dimasak, cukup ambil nangka muda. Saya cincang, masak di kuali dengan bumbu kari, kasih sedikit biji bakung, sedap sudah. Itu tahun 1970-an. Sekarang tentu tidak lagi sebab ganja dilarang,” katanya diikuti tawa.
Sumber: kompas