©Reuters |
Pagi Minggu 26 Desember 2004 lalu, seperti biasanya Fauziah sedang mempersiapkan sarapan pagi untuk anak dan suaminya. Pertama kali terjadi, Fauziah sedang memberikan air susu ibu (ASI) untuk bayinya berusia 5 bulan.
"Saya saat setelah gempa, langsung keluar dari rumah, sedangkan suami saya sudah ke pasar untuk belanja," kata Fauziah, seperti dilansir dari Merdeka.com.
Kisah yang tidak bisa ia lupakan adalah saat harus berjuang menyelamatkan kelima anaknya. Anaknya kala itu masih kecil. Anak pertamanya saat itu masih SMU, sedangkan anak keduanya masih SMP. Fauziah tinggal di desa Lampulo, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh. Lokasi tempat ia tinggal, hanya 200 meter dari bibir pantai.
Ketika air laut mulai naik ke darat, Fauziah awalnya tidak percaya apa yang disampaikan oleh tetangganya. Karena memang itu belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, ketika anaknya baru duduk di bangku SMP pulang ke rumah, saat itulah ia percaya dan bergegas mencari tempat lebih tinggi.
"Saat itu saya langsung naik ke lantai dua rumah tetangga, karena air sudah naik, sedangkan si bayi saya gendong, tegasnya.
Sampai ke lantai dua, kisahnya kembali, ternyata air laut semakin melambung tinggi. Air laut sudah seleher orang dewasa. Padahal ia ketika itu sudah berada di lantai dua yang tingginya sekitar 5 meter.
Sedangkan anak-anaknya masih kecil harus diselamatkan ke atas loteng rumah agar tidak tenggelam. Sedangkan ia sendiri masih berada di dalam air yang sudah menenggelamkannya sampai ke leher, bahkan harus menengah ke atas agar ia bisa bernapas. Sedangkan bayinya masih berusia 5 bulan harus diangkat tinggi-tinggi dengan tangannya agar tidak tenggelam.
"Saya pikir saat itu memang sudah kiamat, tapi saya juga berusaha untuk mencoba menyelamatkan anak-anak saya, terutama bayi yang masih berusia 5 bulan itu, tegas Fauziah.
Tidak berselang lama, dari kejauhan ia melihat ada sebuah perahu hanyut ke arahnya. Perahu tersebut sebelumnya berada di sungai tempat berlabuh perahu nelayan. Beberapa kali menabrak rumah yang ada di sekitar itu, dan ia berpikir ajalnya segera akan berakhir. Saya pikir waktu itu sudah gak ada lagi harapan hidup, karena perahu itu menghantam beberapa rumah di situ, lalu ternyata tersangkut persis di samping tempat saya, ungkap Fauziah.
Saat itulah Fauziah meminta kepada anak laki-lakinya untuk membongkar atap rumah agar bisa keluar untuk naik ke dalam perahu tersebut. Alhasil, anaknya berhasil membongkar hanya muat tubuh orang dewasa. Satu persatu, Fauziah menyelamatkan anaknya ke dalam perahu tersebut yang berhenti persis di samping mereka berada.
Saya tidak ingat betul bagaimana anak saya bongkar atap itu, pokoknya ia berhasil membongkar atap seng hanya muat badan orang dewasa, lalu saya sorong satu persatu kelima anak saya, terutama yang masih bayi ke dalam perahu itu, tegasnya.
Perahu tersebut berhasil menyelamatkan sebanyak 56 orang dari terjangan tsunami. Baik yang sudah berada sebelumnya di dalam perahu, maupun korban lainnya yang dibawa arus tsunami lalu diangkat ke dalam perahu itu. Mereka berada di dalam perahu sampai pukul 16.00 WIB, lalu ketika air laut sudah surut, mereka turun dari perahu untuk mencari pertolongan.
Waktu kami turun dari perahu, air laut juga masih sepinggang orang dewasa, kami turun untuk mencari pertolongan dan kami langsung berjalan kaki ke Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, kisahnya.
Saat ini, anak yang saat itu masih berusia 5 bulan sudah duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Merduati. Sedangkan anak yang lain sudah masuk perguruan tinggi di salah satu Universitas ternama di Aceh.