Jauh sebelum diproklamasikannya Republik Indonesia, Aceh adalah sebuah negeri berdaulat dan dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Pada abad XVI, Aceh pernah tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam besar di dunia.
Posisi Aceh yang dekat dengan laut, mejadikannya sebuah wilayah persinggungan berbagai budaya dari seluruh dunia. Tercatat sejak abad VIII, Aceh menjadi tempat strategis untuk persinggahan pelayaran bagi para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, Turki, maupun Spanyol yang hendak menuju Cina maupun India. Beberapa pedagang menetap di Aceh dan melangsungkan perkawinan dengan perempuan – perempuan Aceh. Maka terjadilah akulturasi budaya.
Salah satu tradisi yang menjadi warisan turun temurun adalah penggal budaya berupa karya kesenian. Dalam konteks Aceh, kesenian sebagai bagian dari kebudayaan tidak terlepas dari nilai - nilai tradisi masyarakatnya. Seni yang dimaksud adalah kemampuan seseorang atau sekelompok untuk menampilkan hasil karya di hadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Sejumlah sumber tertulis menyebutkan, ada beberapa jenis kesenian Aceh, diantaranya dhikee, Seudati, Rukoen, Rapai Geleng, Rapai Daboeh, Biola (mop-mop), Saman, Laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Tapi sebenarnya, mengandung banyak makna, utamanya internalisasi nilai budaya lokal yang kuat dan mengakar yang pada gilirannya menjadi corak yang khas.
Mantan Gubernur Aceh, Ali Hasjim pernah mengatakan kesenian Aceh menjadi istimewa bukan karena kesedihan dan kegeraman fakta sejarah yang menjerat kejayaan Aceh ratusan tahun lamanya. Tapi justru menjadi istimewa karena kehalusan kreasi senimannya dalam memelihara kebesaran Sang Pencipta yang tertuang dalam latar inspirasi alam dan fenomena hidup di negeri Aceh. Seni di Aceh menurutnya sangat istimewa, karena keseimbangan kreatifitas para seniman dalam aktualisasi nalar berkesenian yang runut, berwawasan, unik dan universal.
Menilik perjalanan beberapa kesenian Aceh yang telah disebutkan sebelumnya, ternyata tidak terlahir dari kalangan istana atau tradisi besar. Melainkan dari tradisi kecil atau istilah Jawanya wong cilik. Yang sangat mencolok dalam kesenian Aceh adalah ruh nilai – nilai Islam begitu terasa dalam denyut nadi kesenian Aceh.
Pada masa awal pertumbuhannya, disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas. Seni seperti dimengerti, adalah ungkapan kecantikan jiwa. Kesenian Aceh atau ungkapan jiwa orang Aceh, dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, sastra, teater dan suara. Selain itu, tari atau seni tradisional Aceh dipengaruhi sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi latar belakang adat agama dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang berlatar belakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai uroh maupun rapai geleng, juga Rampou Aceh dan Seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari Phom Bines dan Ale Tunjang.
Makna lain seni Aceh adalah dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari dimensi-dimensi agama. Ini dimungkinkan karena pesan-pesan dakwah juga dapat disampaikan lewat seni.
Banyak hal menarik kita jumpai dalam kesenian Aceh. Pertama, kesenian Aceh dilakonkan oleh banyak orang. Kecuali menyanyi yang dilakukan sendiri (solo). Rata – rata kesenian Aceh dilakukan banyak orang (group). Jika kita tilik lebih dalam maknanya, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang menjunjung tinggi bentuk kerjasama tim. Tarian seudati, saman, laweut, rapai geleng, likok pulo dan lain-lain adalah bentuk-bentuk kesenian Aceh yang dilakukan secara berkelompok.Sedangkan dalam konteks filsafat, makna yang tersirat yakni masyarakat Aceh sejak dulu adalah masyarakat bersatu. Leluhur Bangsa Aceh sejak dahulu adalah kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. Dalam pergaulan dan tata kemasyarakatan akan terlihat sikap dan nilai-nilai persatuan. Kesatuan gerakan dan suara yang terlihat dalam penampilan seni Aceh, memberikan makna bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi niali-nilai ukhuwah dan persaudaraan.
Dalam seni kelompok seni Aceh selalu dipimpin oleh seorang syekh. Syekh adalah orang yang memimpin atau yang mengarahkan gerakan-gerakan atau syair-syair . Dalam Seudati, Laweut, Rapai, Rukoen, Likok pilo, maka syekh dikenal sebagai orang yang mengarahkan gerakan tarian dan lirik. Dalam hal ini, maka kepiawaian seorang syekh akan sangat menentukan kesuksesan tim seni secara keseluruhan. Semua anggota tim seni selalu tunduk dan mengikuti gerakan dan syair yang dipimpin syekh.
Dilihat dari sudut pandang social budaya, hal di atas menunjukkan bahwa masyarakat Aceh adalah tipikal masyarakat yang taat kepada pemimpin atau wali. Semua yang dilakukan atau yang diucapkan oleh seorang pemimpin kepada masyarakatnya, maka akan diikuti oleh rakyat atau komunitas yang dipimpinnya. Menilik beberapa literatur sejarah Aceh, pemimpin adalah ulama atau umara. Jadi bukan sekedar pemimpin formal, tapi juga pemimpin informal.
Melihat gerak dalam kesenian Aceh, kita akan mengambil simpulan, bahwa itu gerakan yang penuh semangat dan heroik. Di beberapa kesenian Aceh, dapat dijumpai gerakan yang dilakukan dimulai dengan gerakan yang lembut dan lambat. Gerakan ini sedikit demi sedikit akan terus dipercepat disesuaikan dengan waktu yang ada hingga akhirnya cepat dan akan berhenti. Sikap kepahlawanan ini muncul seiring dengan timbulnya semangat perjuangan rakyat Aceh dulu di saat berperang pada masa penjajahan. (baca : kaphe).
Paparan di atas, membawa kita pada pemahaman bahwa cara berkesenian orang Aceh, bukanlah sekedar memuja keindahan demi menjadi hiburan yang popular nan mencengangkan. Tapi, sarat dengan nilai social budaya yang bertumpu pada religiusitas yang ranum. Keranuman yang menyebarkan pendar kecirikhasan Aceh yang identik dengan Islam. Kesenian Aceh terus bertumbuh dengan muatan local genius yang tak tergoyahkan. Apakah ia akan terus tumpuh tanpa pemeliharaan yang dilakukan generasi masa kini? Tentu tidak. Karena social budaya yang tangguh, selalu butuh perjuangan, kerja keras dan doa, bukan jatuh tiba – tiba dari langit. Pun menjadi tanggung jawab bukan saja kaum Adam, juga kaum Hawa. Tabik.