(c) Merdeka |
Memang, pekerjaan yang dilakoni oleh pria ini tidak lazim dikerjakan oleh seorang yang cacat kaki. Pekerjaan itu semestinya dikerjakan oleh orang yang normal. Tapi, tidak dengan seorang pria ini, dengan segala keterbatasannya, ia tetap bisa mengerjakan pekerjaan yang tergolong berat.
Namanya Mukhtar berusia 40 tahun. Pagi itu saat merdeka.com temuinya di Lhoknga, ia mengenakan baju kemeja warna abu-abu lengan panjang, dengan memakai celana jeans pendek di bawah lutut. Dialah sosok inspiratif korban tsunami yang sampai kaki harus diamputasi, tapi ia tak patah arang.
Senyum sumringahnya, terpancarkan dari raut wajahnya tidak mengeluh atas musibah yang menimpanya. Ia beranggapan, dihantam tsunami 9 tahun silam adalah cobaan yang harus ia terima dengan lapang dada, justru ia bersyukur bisa selamat dari terjangan tsunami yang maha dahsyat itu.
Alkisah, pagi itu Minggu 26 Desember 2004, terjadilah gempa tektonik berkekuatan 9,8 SR. Lalu disusul adanya gelombang tsunami yang meluluhlantakkan semua perkampungan di desa Lamkreut, Kecamatan Lhohnga, Aceh Besar tempat ia bermukim.
"Masih terbayang kejadian meski sudah 9 tahun berlalu, seakan-akan baru saja terjadi," kata Mukhtar.
Ingatannya masih segar ketika ada informasi air laut mau naik ke darat. Meskipun setengah percaya, ia bergegas mengajak istrinya dan kedua anaknya untuk bersiap-siap pergi menyelamatkan diri.
Namun, apa hendak dikata, kecepatan air menerjang melebihi lari ia bersama anak dan istrinya. Belum sempat menyelamatkan diri, terjangan ombak sudah terlebih dahulu tiba. Saat itu, istri dan kedua anaknya sudah berada dalam mobil bak terbuka milik tetangga hendak pergi menjauh dari bibir pantai. Pasalnya, rumah dia hanya selemparan batu dari laut.
"Saya gak terlalu ingat lagi, pokoknya istri dan anak saya waktu itu sudah naik mobil, terus datang air, kedua anak saya dan istri saya dibawa air, gak dapat jenazahnya," kenang Mukhtar. Kendati demikian, saat ini ia sudah bisa bercerita sembari tertawa. Menurutnya, sekarang saatnya bangkit, tidak lagi harus terus terpuruk dan bersedih dengan kisah masa lalu. Cukup hanya dikenang untuk menumbuhkan spirit membangun kehidupan baru dengan istrinya dan kedua anaknya hasil perkawinannya paska tsunami.
Mukhtar kembali bercerita, waktu itu tak sadarkan diri saat gelombang tsunami menggulung-gulungnya. Akan tetapi yang segar masih ingatannya, sebelum air menerjangnya, ada hembusan angin sangat kencang membuat dia terdampar hingga terbentur tembok rumah.
"Kaki saya patah itu karena terjangan angin, lalu saya terbentur dinding, saat itulah saya tak sadarkan diri," kisahnya.
Kesadarannya kembali pulih setelah ia tergulung tsunami dan terdampar sekitar 3 km dari rumahnya. Saat ia sadar, kaki kanannya sudah patah di tulang di bawah lutut, hanya tinggal tertahan dengan kulit. Demikian juga tangan kanannya juga ikut patah, tapi tidak terlalu parah.
"Saya sadar, saya tersangkut di sebuah kayu, lalu saya coba turun, ternyata sangat dalam masih," tegasnya.
Nah, tidak jauh dari dirinya, tutur Muhktar, terlihat ada papan tiga lembar, lalu dengan sisa tenaganya ia kayuh untuk menggapai papan tersebut. Dengan 3 lembar papan itulah ia bisa lebih leluasa untuk bertahan hidup di dalam gempuran air laut yang naik ke darat.
Kisah sedih itu sudah berlalu 9 tahun silam. Kini ia sudah memiliki kembali dua buah hati hasil perkawinan dengan istrinya setelah tsunami. Anak pertama laki-laki diberi nama M Haris Mahfuzi usia 6 tahun, anak kedua seorang putri yang lincah bernama Intan Munawarah baru berusia 3 tahun. Sedangkan istrinya sekarang bernama Siti Rahmah (27).
Kisah kakinya sampai harus diamputasi, setelah ia diselamatkan oleh warga desanya, sekitar pada pukul 15.00 WIB pada hari pertama tsunami. Lalu diambil dan dibawa ke lokasi yang lebih aman dengan digotong. Setiba ia di daratan, terasa seluruh badannya remuk, tidak ada lagi sisa tenaga untuk menggerakkan tubuhnya, ia terkulai lemas tak berdaya, bahkan ia sempat tak sadarkan diri saat ia berada di daratan. Ia sendiri tidak ingat secara pasti berapa jam ia tak sadarkan diri.
Setelah berhasil diselamatkan. Baru esok harinya, pada hari kedua tsunami, ia diantar ke rumah sakit Kesdam Banda Aceh, rumah sakit Kesdam. Rumah sakit itu merupakan satu-satunya rumah sakit di Banda Aceh yang beroperasi dan setelah diperiksa langsung diputuskan untuk diamputasi karena luka sudah parah.
"Setelah diamputasi pertama, karena infeksi terus terjadi, maka saya dirujuk ke Medan di rumah sakit Elizabet, di sana saya kembali diamputasi sebanyak 2 kali, sampai habis kaki saya," tuturnya.
Setelah ia sembuh total, sekitar satu tahun kemudian. Lalu ia berpikir, tidak mungkin ia harus berdiam diri, meratapi apa yang telah ia alami. Namun ia berpikir harus bangkit, bangkit mencari pekerjaan tanpa harus meminta-minta.
Pekerjaan yang pernah ia kerjakan memang tergolong tidak lazim dikerjakan oleh seorang yang cacat kaki. Kenapa tidak, ia memilih pekerjaan sebagai tukang servis AC. Pekerjaan itu termasuk tergolong berat bagi Mukhtar yang tidak memiliki kaki kanan. Tapi, justru Mukhtar bisa mengerjakannya. Dibantu tongkat pemberian salah satu NGO, ia bisa naik ke plafon menggunakan tangga untuk servis AC. Saat itu memang banyak order yang bisa ia dapat, karena banyak perkantoran NGO yang membutuhkan keahliannya.
"Satu tahun ada saya kerja seperti itu, keahlian servis AC juga berkat dilatih oleh NGO waktu itu," tegasnya.
Kemudian, pada suatu hari, kisah Mukhtar, ia kembali dipanggil oleh pemilik toko bangunan tempat ia bekerja sebelum tsunami. Waktu sebelum musibah, Mukhtar selaku sopir pengangkut barang material bangunan seperti semen dan jenis material lainnya.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba, kesempatan itu langsung disambut baik oleh Mukhtar karena pekerjaan servis AC memang sedikit berat baginya. Meskipun demikian, ia melakoni pekerjaan servis AC selama satu tahun.
"Sekarang saya kembali bekerja di toko bangunan itu, alhamdulillah, toke (sebutan pemilik usaha tersebut) masih mau mempekerjakan saya," tuturnya.
Mukhtar memang ada satu becak pemberian salah satu NGO. Dulunya, becak itu ia gunakan untuk kendaraan pergi ke lokasi tempat ia servis AC. Sekarang, dengan berbekal becak barang itu, ia mengantarkan barang material bangunan untuk pelanggan. Meskipun hanya ada satu kaki, akan tetapi, tidak ada halangan baginya untuk tetap bekerja.
"Semen kalau dari bawah angkat ke atas gak sanggup, tapi kalau dari atas becak angkat turunkan ke bawah itu sanggup," jelasnya.
Selain becak, tokenya itu juga memberikan kepercayaan pada Mukhtar untuk menyetir mobil.
Menyetir dengan satu kaki
Uniknya, meskipun ia hanya memiliki satu kaki. Ia bisa menyetir mobil jenis L300 pick up dengan baik tanpa harus ada alat bantu lainnya. Dengan kendaraan itu pula, ia sering mondar-mandir di kota Banda Aceh untuk mengantar material pelanggannya. Tidak ada kendala baginya untuk menyetir, meski hanya menggunakan satu kaki. Bahkan, bukan hanya di Banda Aceh, sampai ke Meulaboh, Aceh Barat pernah ia menyetir. Jarak Banda Aceh-Meulaboh sekitar 200 Km.
"Teori mesin mobil itu, yang terpenting ban sudah berguling sedikit, itu mobil sudah gak mati lagi," tegasnya.
Ternyata, Mukhtar juga pernah bekerja sebagai montir mobil sebelum tsunami selama satu tahun. Jadi, ia sudah mengenal betul seluk-beluk mesin kenderaan. Berbekal ilmu itu pula ia dengan mudah menaklukkan si kuda besi. Kalau urusan mempretelin mesin mobil, ternyata Mukktar juga jagonya. Ya, ternyata Mukhtar segala bisa.
Usahanya tidak hanya di situ. Untuk mengisi hari liburnya pada hari minggu. Ia bersama istrinya membuka sebuah warung di pinggir pantai Lhoknga tempat objek wisata di Aceh Besar.
Setiap akhir pekan, pantai tersebut banyak dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Ada yang sekedar menghabiskan waktu santai dengan keluarga di pinggir pantai. Ada juga yang menggunakan kesempatan untuk mandi di laut Lhoknga yang memiliki ombak besar. Tidak sedikit juga yang berselancar di lokasi itu, karena memiliki ombak besar.
Pantai itu juga merupakan lokasi yang paling parah terkena tsunami 9 tahun silam. Ribuan bangunan di kawasan itu lenyap disapu tsunami. Demikian juga ada pabrik semen ikut bersih dihantam tsunami.
"Usaha warung ini lebih banyak istri saya yang kelola, itupun buka paling Sabtu dan Minggu, kalau hari lain paling sore di buka," tegasnya.
Inilah sebuah kisah, korban tsunami yang harus diamputasi kakinya. Tetapi ia tidak suka berbelas kasihan pada orang lain. Kendati memiliki cacat fisik, ia tetap memiliki spirit untuk mencari nafkah dengan hasil keringatnya sendiri. Sukses selalu Mukhtar, kau menjadi inspirasi untuk semua orang! [Merdeka]