Sepenggal Sejarah di Rumah Cut Meutia


Kroeng (karung atau tempat menyimpan padi) berjumlah tiga buah tegak di sisi kanan halaman rumah. Tidak jauh dari karung itu terdapat sebuah jeungki (alat penumbuk padi). Di samping jeungki, tampak balai tempat istirahat berukuran lebih kurang 3×4 meter.

Begitulah pemandangan di halaman rumah Cut Meutia di Desa Masjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara. Cut Meutia adalah perempuan pahlawan dari Aceh yang gagah berani melawan penjajahan Belanda karena tidak sanggup melihat bangsanya ditindas.
Selain karung, jeungki, dan balai, di halaman rumah khas Aceh itu juga terdapat prasasti dan monumen yang bertuliskan sejarah singkat perjuangan Cut Meutia yang juga dikenal sebagai Cut Nyak Mutya. Di halaman depan rumah terdapat kolam, yang menurut sejarah kolam itu tempat perempuan pahlawan ini memancing ikan.
Pagi itu, Minggu (3/6), penulis melawat ke rumah yang telah dijadikan salah satu situs sejarah di Aceh Utara. Rumah itu berjarak lebih kurang tiga kilometer dari pusat Kecamatan Matang Kuli. Jalan menuju ke rumah pahlawan Aceh itu sudah beraspal, namun masih terdapat sejumlah lubang di badan jalan. Di sisi kiri-kanan jalan, kita bisa menikmati pemandangan areal sawah yang terhampar luas.
Sesampai pintu masuk halaman rumah, meski hari libur, hanya terlihat sejumlah remaja di halaman rumah itu. “Jam segini belum ramai, pengunjung biasanya nanti sore baru ramai,” ujar penjaga rumah, Muslem (30) saat ditemui Analisa.
Pada awal tsunami menghantam Aceh, tjuh tahun lalu, sejumlah warga asing banyak mengunjungi rumah ini. Mereka kebanyakan dari kalangan non-governmental organization (NGO), seperti warga negara Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea, dan sejumlah negara lainnya.
“Banyak juga pengunjung dari daerah di luar Aceh, seperti dari Padang, Bandung, dan Bogor,” kata Muslem.

Minim benda sejarah

Bangunan rumah tradisional Aceh itu adalah panggung. Ketinggian lantainya dari tanah sekitar tiga meter. Untuk masuk ke dalam rumah, kita harus menaiki tangga dari kayu. Di depan pintu masuk ini juga terdapat ukiran.
Saat berada di dalam rumah yang beratap daun rumbia itu, ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Di dalamnya, tidak banyak bukti sejarah yang terlihat. Hanya terdapat beberapa lukisan Cut Meutia. Selain itu sejumlah foto sejarah para pemimpin pasukan Belanda dipajang di dinding rumah.
Di dalam rumah yang mempunyai dua kamar itu, kita tidak menemukan peninggalan sejarah selain foto dan dua buah rapa’i (alat musik Aceh).
“Pengunjung banyak mengeluh karena tidak banyak terdapat bukti sejarah orang Aceh dulu seperti pedang, uang dirham, dan pakaian adat Aceh,” papar Muslem.
Pria yang sudah 11 tahun dengan setia menjaga rumah pahlawan Aceh itu mengharapkan supaya pemda mengisi rumah kebanggaan masyarakat Aceh itu dengan sejumlah bukti sejarah dan bahan bacaan tentang sejarah Aceh.
Sebelum dirawat oleh Muslem, rumah Pahlawan Nasional itu dirawat Hamidah (46), penduduk setempat. Kini, Hamidah membuka kantin sederhana yang terletak tidak jauh dari rumah bersejarah ini.
Menurut Hamidah, rumah itu sudah diperbaiki total oleh pemda. “Hanya lokasinya saja di situ. Semua bangunan sudah direhab,” katanya.
Menurut dia, sebelum diganti rugi oleh pemda, rumah Cut Meutia terakhir kali ditempati oleh T Johan. “Cucu Cut Meutia itu sudah meninggal beberapa tahun lalu,” tambahnya.
Berdasarkan catatan sejarah, Cut Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Chik Tunong. Namun, pada Maret 1905, Chik Tunong ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Chik Tunong berpesan kepada sahabatnya, Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe.
Pada suatu pertempuran dengan Korps Marsose di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nanggroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada 26 September 1910.
Cut Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun, pada 24 Oktober 1910, Cut Mutya bersama pasukannya bentrok dengan marsose di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itulah Cut Meutia gugur. (Busairi/Harian Analisa)