Meunasah, Pusat Peradaban Masyarakat Aceh


Pada Masa Kesultanan Aceh (1520-1675) mempunyai latar belakang menemukan asal-usul dan perkembangan meunasah sebagai lembaga tradisional di Aceh masa Kesultanan periode 1520-1675 dan bagaimana proses pembelajaran yang berlangsung di meunasah tersebut.

Berdasarkan penelitian ditemukan bukti bahwa meunasah sudah ada sejak terbentuknya masyarakat Islam di Aceh. Perkembangan meunasah menjadi sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh baru diketahui pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Munculnya meunasah sebagai lembaga pendidikan berhubungan dengan transfer sistem pendidikan dari Madrasah Nizamiyah ke Aceh Darussalam yang dipadukan dengan sistem pemerintahan sehingga dapat ditemukan hubungan erat antara adat dan agama.

Sistem dan organisasi pendidikan di masa Sultan Iskandar Muda merupakan program pemerintahan yang secara terstruktur mengurusi pendidikan. Berdasarkan tingkatan dan jenjang pendidikan di Aceh diketahui lembaga-lembaga pendidikan Meunasah (tingkat dasar), Rangkang (tingkat menengah pertama), Dayah (tingkat menengah atas), Dayah Teungku Chik (tingkat diploma) dan Jami’ah Bait al-Rahman (tingkat universitas).

Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki sistem pembelajaran; (1) kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan al-Qur'an dan pengetahuan dasar agama; (2) Sistem pembelajarannya dengan sistem halaqah dan sorogan, metodenya menggunakan metode mengeja untuk tahap awal dan menghafal pada tahap berikutnya, serta praktek ibadah; (3) hubungan antara teungku dan murib/aneuk miet beut (anak didik) bersifat kekeluargaan, yang terus kontinuitas sampai murib menginjak dewasa; (4) teungku dipilih oleh masyarakat gampong yang dikepalai oleh Keuchik dan usia anak didik meunasah berkisar 6-7 tahun; (5) di meunasah juga diajarkan kesenian (sya’ir) yang bernafaskan Islam seperti qasidah, rapai, dikê, seulaweut dan dalail khairat.

Meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban masyarakat Aceh. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong (desa, pen.) mendapatkan pendidikan. Di setiap kampung di Aceh dibangun meunasah yang berfungsi sebagai center of culture (pusat kebudayaan) dan center of education (pusat pendidikan) bagi masyarakat. Dikatakan center of culture, karena meunasah ini memang memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh dan disebutkan center of education, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya di lembaga ini. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan yang berintikan agama Islam. Dengan pengertian ini terkandung makna bahwa sejak dahulu desa-desa di seluruh Aceh telah ada lembaga sekolah.

Makna Universal Meunasah

1. Pengertian Meunasah

 Meunasah, ada yang menyebut meulasah, beunasah, beulasah, seperti dikenal oleh kelompok etnis Aceh. Juga dikenal dengan manasah atau balai, seperti kata orang Aneuk Jameë, dan meurasah (menurut pemukiman etnis Gayo, Alas, dan Kluet). Meunasah merupakan istilah yang asli dari Aceh dan telah lama dikenal di Aceh, tetapi sejak kapan ditemukan belum begitu jelas secara historis. 

Menurut beberapa ahli pengamat Aceh berasal dari kata madrasah (bahasa Arab) , kemudian menjadi meunasah karena masalah dialek orang Aceh yang sulit menyatakan madrasah. Seperti juga kata dayah yang sebenarnya berasal dari bahasa Arab zawiyah.


Meunasah, menurut Snouck Hurgronje identik dengan Langgar, baleë atau tajug, sehingga bangunan ini lebih tua dari nama meunasah yang konon berasal dari bahasa Arab (madrasah). Tetapi menurut Badruzzaman Ismail dan para ahli Aceh sebelumnya dikatakan bahwa kata meunasah, meulasah atau beulasah berasal dari kata madrasah (bahasa Arab) yang mengandung arti lembaga pendidikan.

Menurut pemahaman Taufik Abdullah et..al., meunasah dalam arti terminologis adalah tempat berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan masalah dunia (adat), maupun yang berhubungan dengan masalah agama, yang dikepalai (diampu) teungku meunasah. Pada pengertian lain, meunasah merupakan tempat penggemblengan masyarakat gampông atau desa, agar masyarakat gampông tersebut menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh T. Syamsuddin dalam Jeumala bahwa meunasah adalah tempat yang dibangun sebagai pusat kegiatan masyarakat gampông, karena meunasah merupakan suatu lembaga tradisional yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pendapat tersebut mempunyai alasan fundamental karena meunasah mempunyai multi fungsi, di samping sebagai aspek pendidikan, sosial, ekonomi, juga aspek keagamaan.

Terlepas dari pemahaman yang sempit dan luasnya pengertian meunasah, bergantung pada back-ground dan konteks di mana suatu pengamat membahas meunasah. Meunasah adalah lembaga tradisional Aceh, yang telah menyatu dengan masyarakat Aceh di manapun masyarakat Aceh itu tinggal, karena di mana ada orang Aceh disitu ditemukan meunasah.

2. Bentuk ilustrasi bangunan fisik Meunasah

Meunasah secara fisik, adalah bangunan rumah panggung, yang dibangun pada tiap gampông (desa) yang disekelilingnya dibangun sumur, bak air, dan tempat keperluan buang air. Umumnya meunasah dibangun atau berlokasi di pinggir jalan.

Bangunan yang letaknya (biasanya) di tengah-tengah kampung atau lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Bentuknya seperti rumah tradisional Aceh dengan beratap daun rumbia dan dindingnya dibangun terbuka. Karena terbuat dari kayu, meunasah sering dipenuhi dengan berbagai ukiran yang ada pada rumah tradisional Aceh. Seperti halnya rumah adat atau rumah tradisional Aceh, meunasah dibangun dengan tiang-tiang kayu dan agak tinggi dari tanah atau lantai. Di bagian depan meunasah kadang-kadang dilengkapi dengan beranda yang agak rendah yang sering dipakai sebagai tempat istirahat orang-orang yang datang ke meunasah. Di beranda inilah terjadi suatu proses sosial dalam masyarakat, seperti terjadi komunikasi antar warga masyarakat. Pada tempat beranda inilah, meunasah memiliki fungsi terbuka, karena selalu ada orang yang singgah dan duduk berlama-lama dan menjadikan meunasah sebagai pusat komunikasi sosial yang efektif yang bersifat informal dalam masyarakat Aceh.

Meunasah ini merupakan bangunan yang mirip dengan rumah tradisional Aceh, namun terdapat perbedaan mendasar, antara lain: 1) Pada posisinya, rumah tradisional Aceh membujur ke arah kiblat (Mekkah), sementara meunasah berdiri melintanginya (utara-selatan) atau menghadap menyilangi rumah tradisional; 2) Lantainya, pada meunasah lantainya datar sedang pada rumah tradisional Aceh tampak tinggi di bagian tengahnya; 3) Ruangannya, ruangan pada meunasah terdiri atas ruangan depan (serambi) dan ruangan besar (tungai) sedangkan ruangan rumah Aceh, selain ruangan tersebut masih ada lagi ruangan yang disebut serambi belakang (seramoe likot); 4) Bentuk tiangnya, meunasah bentuknya persegi delapan, sedang tiang rumah Aceh biasanya berbentuk bulat. Pada meunasah tidak terdapat tiang raja dan tiang putri seperti pada rumah Aceh.

3. Makna universal bangunan Meunasah

Salah satu fenomena proses Islamisasi berkembang pesat di suatu daerah adalah terjadinya perubahan besar, baik dari aspek kehidupan sosial, budaya, maupun ideologi. Begitupun yang terjadi di Aceh, proses Islamisasi telah terjadi proses revolusioner di segala bidang kehidupan. Pada bidang kesenian, termasuk seni arsitektur di daerah Aceh terlihat bagaimana terjadi proses revolusioner, pada masa terutama puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, secara transformatif maupun intruksioner dari pihak kerajaan telah terjadi proses Islamisasi arsitektur Islam (dengan sentral tanah Mekkah). Bangunan-bangunan di Aceh, baik dari istana, tempat ibadah, rumah adat, rumah tradisional, lembaga pendidikan, semua telah disinari oleh seni Islam dan kebudayaan Islam.

Lebih-lebih ditemukan fakta bahwa di masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636) telah diintruksikan pada rakyat Aceh agar semua bentuk bangunan diseragamkan, dengan bentuk bangunan yang seragam dalam predikat seni bangunan Islam, persamaan tersebut diantaranya adalah roh tauhid, sebagai landasan setiap bangunan.

Sebagai bentuk yang universal, meunasah tidak dapat dipisahkan dari aspek kesenian Islam dan filosofisnya. Meunasah dalam bentuk fisik adalah rumahnya orang se-gampông dalam berbagai aktifitasnya, karena berfungsi universal, pada aspek keagamaan sebagai tempat ibadah (langgar/mushalla) dan fungsi sosial kemasyarakatan, maka meunasah dapat menjadi pusat (proses kebudayaan). Khususnya sebagai tempat ibadah sebagaimana mesjid, meunasah harus bernafaskan seni Islam, berbagai seni kaligrafi dan ornamen model kesenian turut menjadikan meunasah sebagai bangunan yang berwibawa, yang tidak boleh dipergunakan sebagai tempat maksiat dan asusila.

Rupanya bangunan-bangunan yang di dirikan di Aceh pada masa klasik memang benar-benar memperhatikan aspek budaya Islam, baik dari proses pendiriannya, akhlak mengelolanya dan memaksimalkan aspek fungsional keagamaannya.

Pertama, proses pendiriannya, menurut masyarakat Aceh harus melalui tahap-tahap mengumpulkan bahan-bahan baik dari kayu, bambu, daun rumbia (ôen meuria), pelepah rumbia, dan bahan-bahan lainnya. Setelah bahan-bahan terkumpul dan siap didirikan masyarakat gampông mengadakan kenduri berdo’a kepada Allah agar bangunan ini dapat digunakan untuk peribadatan kepada Allah. Untuk menyempurnakan pendirian, maka segala bentuk upaya agar bangunan yang didirikan dapat tersinari cahaya Ilahi, maka bangunan (meunasah) dihiasi dengan berbagai macam kaligrafi, yang di dalamnya terdapat ajakan dan dakwah Islamiyah, juga petuah-petuah edukatif, agar siapa saja yang masuk ke dalamnya mendapatkan hikmah.

Kedua, aspek pengelolaannya. Pembangunan meunasah akan memiliki nilai universal dan edukatif bagi masyarakat gampông di Aceh bergantung pada Teungku Meunasah-nya. Maka pengelola meunasah dalam hal ini Teungku Meunasah adalah orang yang harus memiliki kemampuan dan memahami masalah-masalah agama, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem atau orang yang ahli/mahir ilmu agama. Ketiga, berfungsinya meunasah secara maksimal di semua aspek kehidupan. Untuk mencapai hal itu maka sebagaimana pandangan hidup orang Aceh perlu adanya kesatuan zat dan sifat antara, pemangku adat, kepala gampông (Keuchik) dengan pemangku agama (Teungku) dalam mengembangkan fungsi dan semangat meunasah dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Fungsi Meunasah dalam Masyarakat Aceh

Meunasah sebagai bagian struktural Kesultanan Aceh merupakan daerah ujung tombak (terendah) yang menjadi bagian masyarakat Aceh. Posisi tersebut memberikan gambaran bahwa segala program pemerintah pusat akan terealisasi dengan mudah, umpamanya raja bertitah tentang peningkatan pangan, maka pelaksanaan terbawah dan ujung tombaknya adalah gampông atau tempat meunasah sebagai pusat komunikasi masyarakat Aceh.

Mengingat kompleksitas fungsi meunasah, maka perlu untuk di indentifikasi satu persatu fungsi tersebut baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, maupun fungsi kelembagaan agama dan pendidikan. Mengambil pendapat dari Abd. Rahman Gani dalam Kerajaan Aceh Darussalam meunasah mempunyai fungsi, antara lain; 1) Sebagai Balai Musyawarah Rakyat; 2) Sebagai lembaga pendidikan; 3) Sebagai taman hiburan yang selaras dengan budaya Islam; 4) Sebagai wisma yang baru aqil baligh (menginjak dewasa); 5) Wisma bagi musafir; 6) Sebagai tempat upacara nikah/ruju’; 7) Sebagai Mahkamah Pengadilan Damai; 8) Sebagai tempat upacara-upacara keagamaan dan ritual lainnya (upacara maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, tadarrus, qasidah, dan sebagainya).

Pendapat tersebut senada dengan Badruzzaman Ismail bahwa meunasah mempunyai berbagai fungsi praktis pada masa dahulu; antara lain: 1) Lembaga musyawarah; 2) Lembaga pendidikan dan pengajian; 3) Lembaga ibadah (shalat/ibadah lainnya); 4) Lembaga hiburan dan kesenian, seperti Dalail Khairat, Meusifeut, Meurukôn, Ratép Duek dan sebagainya; 5) Asah terampil (asah otak) meucabang (catur tradisional Aceh) sambil diskusi; 6) Lembaga buka puasa bersama (dengan “ie bu da peudah”).

Pertama, meunasah sebagai lembaga musyawarah rakyat, artinya desa (gampông) dalam struktur masyarakat di Aceh sebagai kedudukan terbawah dan para penghuni gampông pada saat pemerintahan Aceh Darussalam masih jaya dapat memanfaatkan meunasah sebagai lembaga musyawarah, baik dalam forum pengangkatan Keuchik dan jabatan lain maupun musyawarah lainnya, sehingga masyarakat Aceh menempatkan meunasah sebagai badan sentral pengendalian pemerintah gampông.

Kedua, meunasah sebagai lembaga pendidikan (pengajian) atau madrasah berarti fungsi meunasah yang diampu oleh Teungku Meunasah adalah menyelenggarakan pengajaran (pengajian) pada generasi muda dan generasi dini (anak usia 6-8 tahun) masyarakat gampông (desa) yang berupa membaca dan menulis huruf Arab, membaca al-Qur'an, cara beribadat, rukun Islam, rukun Iman, dan diajarkan pula Kitab Perukunan, Risalah Masailal Muhtadin.

Ketiga, meunasah sebagai lembaga peribadatan, memiliki fungsi sebagaimana tempat ibadah berarti menempatkan meunasah sebagai fungsi mushalla, rumah ibadah, tempat untuk mengabdi pada Allah, atau tempat untuk bersujud, pada realitas lapangan bergantung pada Teungku Meunasah sebagai Imam Meunasah. Biasanya masyarakat gampông dapat maksimal memanfaatkan meunasah untuk tempat ibadah (seumayang) saat matahari terbenam (maghrib) setelah pembantu teungku memukul tambô (bedug) kemudian masyarakat berbondong-bondong menuju meunasah. Juga pada bulan puasa, shalat dilakukan secara teratur, tepat pada waktunya di waktu malam menjelang tarawih. Namun Snouck menambahkan bahwa shalat Jum’at tidak pernah dilaksanakan di meunasah sebagaimana juga di Jawa tidak dilakukan di langgar.

Keempat, meunasah sebagai lembaga kesenian Islam dan hiburan. Beberapa fenomena yang nampak di masyarakat Aceh, terdapat kebiasaan menyanyikan ratéb saman, menurut Snouck (ratib samman sesuai dengan nama wali (aulia) yang hidup beberapa abad lalu di Madinah), juga pemukulan tambô secara ritmis dan berirama, yang lain juga ada pulet, rebana atau rapa’i yang pada umumnya dimainkan malam Jum’at setelah acara inti ibadah. Jumpa dijumpai kesenian seperti dalail khairat, meusifeut, ratéb duek dan sebagainya.

Kelima, menurut Snouck, meunasah juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan aqad nikah (perkawinan). Mendukung pendapat tersebut menurut Abd. Rahman Gani, meunasah juga berfungsi sebagaimana Kantor Urusan Agama, yaitu berfungsi sebagai lembaga nikah dan ruju’, hal itu dimungkinkan karena persoalan kesediaan Teungku Meunasah dan persetujuan Keuchik tentang perlunya kelembagaan nikah/ruju’/fasakh di gampông, agar tidak perlu lagi ke KUA yang tempatnya lebih jauh, maka dapat memanfaatkan meunasah sebagai sekaligus fungsi lembaga KUA.

Masih banyak fungsi meunasah yang secara historis dapat digunakan multi fungsi yang mencakup semua aspek kehidupan antara lain; 1) tempat menginap musafir; 2) tempat transaksi jual beli; 3) tempat mahkamah damai atau mendamaikan jika ada warga masyarakat gampông yang bertikai; 4) tempat berzikir, berdo’a, tempat praktek tarekat (suluk) dan sebagainya.

Kesimpulan

Asal-usul meunasah diketahui setelah terbentuknya masyarakat gampông Islam. Beriringan dengan lahirnya masyarakat gampông Islam itu didirikan pula lembaga gampông yang dikenal dengan nama meunasah (berasal dari bahasa Arab, madrasah). Namun lembaga serupa meunasah sudah dikenal jauh sebelumnya, walaupun namanya tidak diketahui. Perkembangan meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh baru diketahui sejak munculnya sistem pemerintahan pada masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636).

Lembaga ini terdapat di setiap gampông (desa) dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Lembaga meunasah merupakan program pendidikan Islam yang ditransfer dari sistem dan organisasi madrasah Nizamiyah. Hal itu karena sebelum Iskandar Muda hanya ditemukan lembaga pendidikan tradisional yang disebut dayah yang berasal dari z>awiyah, bahkan sudah ada pada masa Kerajaan Peureulak dan Samudera-Pasai. Meunasah sebagai lembaga pendidikan dasar (tingkat rendah) benar-benar eksis dan fenomenal menjadi milik masyarakat Aceh sejak masa kejayaan Islam atau masa Sultan Iskandar Muda. 

Perkembangan tersebut sekaligus berhubungan dengan proses islamisasi lembaga pendidikan dan terpadunya dengan sistem pemerintahan dari; Gampông (Desa) terdapat meunasah sehingga terdapat integrasi adat-agama, antara Keuchik dengan Teungku Meunasah, di mukim ada integrasi antara Imuem Mukim dan Q>ad}i Mukim dan terdapat rangkang dan dayah. Sementara di Nanggroe dan Ibukota Kerajaan juga terdapat kesinambungan antara Ulêê Balang dengan Teungku dan Qadhi.

Sumber : Atjehcyber.net