Mesikhat, Payung Bertuah dari Tanah Alas


BANDA ACEH - Bagi masyarakat Alas di Aceh Tenggara, keberadaan payung tak hanya berfungsi sebagai simbol adat pada upacara-upacara perkawinan, sunat rasul, atau prosesi penyambutan tamu-tamu penting saja.

Lebih dari itu, mereka meyakini payung memiliki "tuah" tersendiri yang sering dijadikan media untuk bernazar. Di wilayah pesisir payung adat umumnya berwarna kuning terang dengan sulaman dari kasab atau manik-manik motif Aceh. Di beberapa tempat seperti Aceh Barat dan Selatan ada juga payung berwarna merah.

Sedangkan di Alas payung adat berwarna hitam dengan bordiran berasal dari warna-warna merah, kuning, dan hijau, yang disebut dengan payung mesikhat.

Uniknya, motif payung mesikhat tidak terbuat dari kasab atau pun manik-manik, melainkan dibordir dengan gambar-gambar khusus yang menceritakan perjalanan masyarakat Alas semasa lajang hingga selesai prosesi perkawinan.

Pembuat mesikhat tak boleh asal-asalan, minimal mereka harus mengetahui budaya masyarakat Alas, dan memiliki ketelatenan serta kesabaran tinggi. Karena tak mudah, di Alas tidak banyak yang bisa membuat payung tersebut.

Di Kecamatan Tanah Alas misalnya, hanya ada satu orang pembuat payung mesikhat, namanya Dasiman. Sedangkan dari total 16 kecamatan di Aceh Tenggara para pembuat payung hanya tersebar di lima kecamatan saja yaitu Lawe Sumur, Lawe Alas, Badar, Bambel, dan Tanah Alas.

Ditemui di Taman Sari Banda Aceh dalam sebuah event pameran produk rumah tangga yang diprakarsai Unit Pelaksana Kegiatan Provinsi Aceh, kepada The Atjeh Post, Dasiman menceritakan hal ihwal ia menjadi pengrajin payung.

 Payung-payung hasil olahan tangan Dasiman tak hanya cantik dan menarik, tetapi juga menunjukkan karakter masyarakat Alas yang kuat melalui padu-padan warnanya yang khas.

Warna-warna yang dipakai melambangkan kebudayaan masyarakat Alas. Seperti hitam yang merepresentasikan sikap rendah hati, merah melambangkan keberanian dalam menegakkan kebenaran. Sedangkan kuning bata sebagai simbol warna tanah yaitu asal-usul manusia dan tempat kembalinya manusia. Adapun hijau adalah simbol kesejukan dan kesuburan.

Profesi sebagai pembuat mesikhat sudah dilakoni Dasiman sejak dua belas tahun silam. Karena hanya itu satu-satunya keahlian yang dipunyai lelaki berusia 47 tahun tersebut. Sebelum menekuni profesi tersebut Dasiman bertani dengan memanfaatkan sawah atau ladang milik orang tuanya.

“Saya nggak punya sawah dan ladang seperti orang lain, jadi tidak ada yang bisa diharapkan dari bertani, lagi pun keahlian saya memang menjahit,” katanya kepada The Atjeh Post, Minggu 18 Maret 2012.

Lelaki lulusan SMEA itu mendapatkan keterampilan membordir secara otodidak. Tak hanya bisa membordir payung, Dasiman juga bisa membordir baju adat dan merangkai bunga.

Penghasilan membuat payung menurutnya sangat lumayan. Satu payung Dasiman bernilai Rp500 ribu. Sedangkan untuk baju adat harga berkisar antara Rp250 ribu sampai Rp300 ribu, dengan persentase keuntungan yang bisa ia dapatkan sekitar 40 persen. Dalam sebulan Dasiman bisa memproduksi antara empat sampai enam payung. Penghasilan yang diperoleh pun berkisar jutaan rupiah.

Dasiman juga menyewakan payung-payungnya dengan harga Rp15 ribu selama 24 jam. Saat ini setidaknya ia mempunyai lima unit payung mesikhat yang sering disewa oleh masyarakat setempat saat proses perkawinan.

Dari hasil jerih payahnya inilah Dasiman menghidupi istri dan ketujuh anaknya. Bahkan anak pertama dan kedua Dasiman kini sudah menjadi polisi dan perawat. Dan dua orang lainnya menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Sejak 2000 sampai sekarang Dasiman sudah memproduksi ratusan payung mesikhat. Ia semakin optimis menjalani hidupnya sebagai pembuat payung. Karena menurutnya membuat mesikhat bukan hanya sebagai sumber mata pencahariannya, tetapi juga untuk mempertahankan kebudayaan Alas itu sendiri.

Payung mesikhat, kata Dasiman, hanya digunakan untuk acara-acara yang bersifat suka cita saja. Selain perkawinan, payung mesikhat juga dipakai pada acara pemberian nama anak dalam upacara mandi bayi yang pertama.

Biasanya proses pemandian bayi dilakukan di sungai. Dalam perjalanan pulang pergi itulah si bayi dipayungi dengan mesikhat.
Menurut cerita Dasiman, beberapa payung itu kini ada di museum Tokyo, Jerman, dan Belanda. "Dibawa oleh Akifumi Iwabuchi, mahasiswa Jepang yang dulu penelitian di Aceh Tenggara tahun 1986 sampai 1987," ujar Dasiman.

Payung ini juga sering dijadikan media untuk melepaskan nazar atau kaul. Dikatakan Dasiman, sebagian masyarakat masih mempercayai jika keberadaan mesikhat memiliki berkah sendiri. Tak heran jika ada anak kecil sakit atau ingin lulus tes tertentu mereka akan bernazar pada payung tersebut.

Diakui Dasiman, membuat mesikhat memang pekerjaan ekslusif karena sedikit orang yang bisa melakukan pekerjaan tersebut. Melalui profesinya itu Dasiman seolah ingin mengatakan bahwa mempertahankan adat istiadat bukanlah penghalang untuk berkembang.[Sumber]