Seperti
halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya sampai
saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk,
berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut
A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang
ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir
ialah Raja Muda Sedia (753-800 H = 1353-1398 M) . Sedang menurut
Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana
ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po
Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa
pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang
digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai
dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang
pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten
Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin
dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara.
Berhubung sumber-sumber yang dapat mengukuhkan pendapat tersebut di
atas sampai saat ini belum diperoleh, maka di bawah ini akan disarikan
serba ringkas data-data yang berkenaan dengan Kerajaan Islam Benua
Tamiang yang didasarkan kepada apa yang telah dikemukakan oleh Majelis
Ulama Kabupaten Aceh Timur dan H.M. Zainuddin. Dengan penyajian ini
diharapkan kiranya akan dapat menjadi bahan informasi pendahuluan bagi
penelitian selanjutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur sekitar
tahun 960 di daerah Tamiang telah berkuasa seorang raja yang bernama
Tan Ganda dengan tempat kedudukannya Bandar Serangjaya. Bandar ini pada
suatu waktu rupanya telah diserang oleh Raja Indra Cola I yang
menyebabkan Raja Tan Ganda tewas. Tetapi anaknya, Tan Penuh, berhasil
menyelamatkan diri dan setelah keadaan aman kembali, ia memindahkan
pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu ke Bandar Bukit Karang di
daerah sungai Simpang kanan. Sejak waktu itu berdirilah Kerajaan Bukit
Karang dengan rajanya berturut-turut sebagai berikut: 1. Tan Penuh
(1023-1044 M); 2. Tan Kelat (1044-1088 M); 3. Tan Indah (1088-1122 M);
4. Tan Banda (1122-1150 M); dan 5. Tan Penok (1150-1190 M).
Setelah Raja tan Penok meninggal, berhubung ia tidak meninggalkan anak,
maka seorang anak angkatnya yang bernama Pucook Sulooh diangkat
sebagai raja untuk menggantikannya. Sejak waktu itu di Kerajaan Bukit
Karang memerintah Dinasti Sulooh dengan raja-rajanya berturut-turut
sebagai berikut:
1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256 M);
2. Raja Po Pala (1256-1278 M);
3. Raja Po Dewangsa (1278-1300 M); dan
4. Raja Po Dinok (1300-1330 M).
Pada masa kedua dinasti tersebut memerintah, rakyat Tamiang belum lagi
memeluk agama Islam. Tetapi diduga besar kemungkinan sekitar abad ke XI
M telah ada orang-orang Islam yang berdomisili di daerah Tamiang.
Mereka yang tinggal di sana, sebagai seorang muslim tentu mereka
berusaha menyiarkan Islam, sehingga tidak mustahil apabila pada awal
abad ke XIII, seperti disebutkan Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur,
telah ada seorang putra asli daerah Tamiang yang bernama Ampuan Tuan
belajar di Dayah Cot Kala (Lembaga Pendidikan Islam di Peureulak).
Pada akhir pemerintahan Po Dinok (tahun 1330 M) satu rombongan angkatan
dakwah yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul
Thahir (1326-1349 M) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Rupa-rupanya
kedatangan misi dakwah islamiyah itu tidak mendapat sambutan dari Raja
Po Dinok, bahkan ia menentangnya sehingga menyebabkan terjadi
pertempuran dan dalam pertempuran tersebut Raja Po Dinok tewas. Menurut
H.M. Zainuddin sejak waktu itulah daerah Tamiang mulai diislamkan; dan
proses pengislaman di sana tampaknya berlangsung dalam waktu yang
relatif singkat.
Kemudian oleh Sultan Ahmad Bahian Syah dengan permufakatan para cerdik
pandai/bangsawan serta rakyat Taming yang telah memeluk agama Islam,
ditunjuk seoang raja yang bernama Raja Muda Sedia (1330-1352 M) untuk
memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama
yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Banua Tamiang (ibu kota
benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).
Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera
bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah
pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk
pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan
ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut:
1.
Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari
mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja
(pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu).
2.
Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh
lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang
Qadhi Besar.
Di tingkat pemerintah daerah terdapat pula:
1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.
2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman.
3. Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.
Selain
itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk
juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang
membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu:
a. Panglima Birin;
b. Panglima Gempal Alam;
c. Panglima Nayan;
d. Panglima Kuntum Menda;
e. Panglima Ranggas;
f. Panglima Megah Burai; dan
g. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut).
Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan
organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung
di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang.
Pada menjelang akhir pemerintahan Muda Sedia, kemungkinan disekitar
tahun 1351 M, terjadi serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan
Benua Tamiang. Untuk sementara tentara Kerajaan Majapahit berhasil
memporakporandakan Kerajaan Tamiang, namun mangkubumi Muda Sedinu dalam
waktu yang relatif singkat dapat menguasai keadaan kembali. Dan sejak
tahun 1352 M Muda Sedinu menggantikan kedudukan Raja Muda Sedia, tetapi
tidak dalam kedudukan sebagai raja penuh, hanya sebagai pemangku sultan
saja.
Dengan
terbentuknya pemerintahan baru itu, pusat kedudukan kerajaan
dipindahkan ke Pagar Alam ( sekitar daerah Simpang Jernih sekarang).
Faktor yang mendorong dipindahkannya ibukota itu, kemungkinan karena
alasan-alasan keamanan dan pertahanan negara, terutama dalam rangka
menghadapi serangan dari luar, seperti yang telah terjadi dengan
serangan Kerajaan Majapahit. Pemangkuan Muda Sedinu berakhir pada tahun
1369 M. sejak saat itu pucuk pimpinan pemerintahan dipegang oleh Raja
Po Malat yang memerintah sampai tahun 1412 M.
Dengan
terjadinya penyerangan tentara Majapahit terhadap Kerajaan Benua
Tamiang, maka kegiatan penyiaran Islam yang selama ini giat
dilaksanakan, terutama di bidang pembangunan pendidikan, dapat
dikatakan tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Pemerintahan
baru di Pagar Alam sampai dengan pengganti Po Malat, ialah Raja Po
Tunggal (1412-1454 M) ternyata tidak mampu melaksanakan tugas suci itu.
Kegiatan mereka pada waktu itu hanya terbatas pada usaha-usaha
mengkoordinir kekuatan dan menyusun pemerintahan kembali. Kedaan baru
berubah setelah negara menjadi stabil kembali, yaitu pada masa
pemerintahan Raja Po Kandis (1454-1490 M). usahanya yang pertama adalah
memindahkan pusat kedudukan pemerintahan dari Pagar Alam ke kota
Menanggini (daerah Karang Baru sekarang). Dari ibu kota baru itu Po
Kandis mulai kembali menggerakkan, terutama ke daerah-daerah pedalaman,
penyiaran agama Islam yang selama ini tidak dapat berjalan dengan
lancar. Dalam kaitan dengan penyiaran Islam Po Kandis juga bergiat
menggerakkan pembangunan pendidikan Islam, seperti pemekaran kembali
Dayah Batu Karang, seruan agar pengajian di meunasah-meunasah
diramaikan kembali. Selain itu usaha pembinaan seni budaya yang
bernapaskan Islam dan mengandung unsur-unsur dakwah juga tidak
dilupakan oleh raja ini.
Raja Po Kandis digantikan oleh anaknya, Raja Po Garang (1490-1528) dan
setelah itu, berhubung Po Garang tidak berputra, Kerajaan Benua Tamiang
diperintah oleh menantu Po Kandis, ipar Po Garang, yang bernama
Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558 M); dan ia berasal dari daerah Alas .
Peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya, ialah
penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam di
bawah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M) yang pada waktu itu giat
berusaha untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu
federasi yang kokoh, terutama dalam rangka menghadapi kemungkinan
serangan Portugis yang sedang berusaha mengokohkan penjajahannya di
perairan Selat Malaka. Dengan demikian sejak waktu itu berakhir pula
Kerajaan Islam Benua Tamiang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. | suara-tamiang.com